Minggu, 19 Maret 2017

NAPAK TILAS PERJUANGAN DAKWAH DAENG KARAENG MASALLE
Pulau Sulawesi termasuk salah satu kepulaun yang cukup luas (191.800 km2), lebih luas dari gabungan Pulau Jawa dan Madura ( 128.000 km2), serta merupakan salah satu pulau tersebar di Nunsatara. Sulawesi Selatan adalah satu dari 5 Propensi lainnya (Sulawesi Utara, Sulawesi tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Propensi Gorontalo). Suku Bugis, Mandar, T  oraja dan Makasar merupakan empat kelompok etnis terbesar di Sulawesi Selatan. Suku Mandar (dengan populasi sekitar 400.000) bermukim di pantai barat laut, suku Toraja (sekitar 600.000) umumnya mendiami pegunungan di daerah utara, meskupun saat ini sudah banyak yang tinggal  di dataran Luwu’. Orang Bugis (dengan populasi lebih dari tiga juta di Sulawesi Selatan dan mungkin sekitar 600.0000 di perantauan) menghuni hampir seluruh dataran dan perbukitan sebelah selatan, dan sebagian kecil tinggal di dataran Luwu’ di daerah sekitar pantai dan sebelah selatan Palopo. Sedangkan orang Makasar (dengan populasi sekitar dua juta) menetap diujung selatan semenanjung, tersebar di sepanjang pantai maupun pegunungan. Keempat suku tersebut memiliki bahasa yang berbeda, dan setiap suku terbagi lagu menjadi sub-etnis dengan dialek bahasa berbeda. Pada permulaan abad ke XVI, terutama setelah kejatuhan kerajaan Malaka ke tangan Portugis (1511), kerajaan-kerjaan Bugis-Makasar di Sulawesi Selatan, khususnya Goa-Tallo telah membuka hubungan dagang dengan berbagai daerah di kepulauan Nusantara.Perahu-perahu Bugis-Makasar telah mengunjungi kerajaan-kerajaan Melayu dibagian Barat dan kerajaan-kerajaan Maluku di bagian Timur. Puncaknya terjadi pada abad 16 pelabuhan Goa telah menjadi pelabuhan penting di daerah Timur Nusantara. Bandar-bandar Goa ramai di kunjungi berbagai saudagar belahan dunia mulai dari dataran Eropa, Cina, Arab dan India. Awal abad-16 tercatat sebagai masa yang cukup penting dalam perjalanan sejarah di Sulawesi Selatan, pada masalah inilah dakwah Islam tersebar luas, kerajaan Bone (bugis) Goa-Tallo (Makasar) dan kerajaan-kerajaan lainnya.
Perkembangan dakwah Islam ini selain menambah umat Islam secara kuantitatif juga menjadi cikal bakal tumbuhnya bibit ulama’ di daerah Sulawesi Selatan. Tumbuh-kembangnya Islam di Nusantara timur tidak pernah lepas dari peran para da’i serta para Sultan yang ada ditempat tersebut. Adalah Sultan Alauddin yang menjadi peran utama dalam proses Islamisasi di kesultanan Goa-Tallo. Muncul tokoh-tokoh penting, Ulama’ dan pejuang yang dikenal dan dikenang sampai sekarang, seperti Syekh Yusuf al-Mangkasari Taj al-Khalwati, Sultan Alauddin sendiri, Sultan Malakussaid,Sultan Hasanuddin, Karaeng Galesung dan ulama’ serta pejuang-pejuang lainnya dikota Mammiri. Muncul sosok ulama’ visioner-profetik Ia adalah Daeng Karaeng Masalle.Tokoh penting yang memberikan pengaruh besar dalam perkembangan dakwah Islam di belahan bumi Nusantara. Emmm kepengen tahu seperti apa sepak terjang perjuangan dakwahnya….
Tari nafas, keluarkan pelan-pelann end simaklah ulasan berikut ini.



Lahirnya Sang Pencerah
Kareng Masalle dilahirkan sekitar penghujung abad ke-XVI di tengah keluarga bangsawan kerajaan Goa-Tallo. Ia adalah putra sulung dari Karaeng Pattungan seorang kharismatik kota Daeng. Dari silisilah nasab yang tercatat dalam Lontara Goa menyebutkan bahwa Karaeng Masalle memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat dekat dengan keluarga kerajaan Goa-Tallo. Ibundanya, I Bisu Malibba  Karaeng Papelleng, adalah kakak dari Sultan Alauddin. Ia termasuk putri ketiga dari Karaeng Bonto Langkasa i Maggorai Daeng Mammeta Tunijallo Raja Goa ke XII 1565-1590 M, bersama dengan salah seorang istrinya, raja Tallo V Karaeng Bainiya I Sabo Daeng Niassing. Berdasarkan sumber ini (baca: Lontara) Karaeng Masalle masih termasuk keponakan dari Sultan Alauddin. Selain itu, Karaeng Masalle juga mempunyai adik perempuan bernama I Tama Lili. Adiknya yang satu ini kelak menjadi salah satu tokoh perempuan berpengaruh di Sulawesi Selatan. Demikian menurut catatan yang termaktub dalam lontara Goa Tallo ni Parallaka ri Balanda 1883 M.
 Sementara menurut satu sumber lain menyabutkan dengan keterangan yang berbeda. Menurut sumber tersebut Karaeng Masalleh adalah keturunan Sultan Putay, bangsawan kharismatik kota Mammiri. Ia mempunyai tiga saudara, yaitu Sora Pajudhe, Sora Laksana, Sora Saccadiningrat. Namun dari sumber yang kedua ini tidak mempunyai bukti empiris yang menyakinkan, sumber ini berasal dari cerita tutur yang masih dikhilafkan kesahihannya. Menurut penulis kedua sumber tadi sebenarnya tidaklah bertentangan. Kedua-duanya bisa saja sama-sama benar. Sebab, Daeng Putay seperti yang terdapat dalam cerita tutur, tidak disebutkan secara tegas. Apakah nama asli atau sekedar gelar kebangsawan yang disematkan padanya. Sehigga timbullah berbagai persepsi yang berbeda diantara ahli tutur. Bisa saja yang dimaksud Daeng Putay adalah karaeng Pattunga yang telah mengalami perubahan menjadi nama panggilan dengan perubahan dialek. Jelas persoalan semacam ini tidak bisa ditentukan secara pasti, butuh penelitian lebih lanjut untuk menemukan kenyataan obyektif sesuai dengan kenyataan yang ada. Mengenai tiga orang yang bersama Karaeng Masalle dari Makasar  seperti yang disebutkan diatas, kemungkinan besar bukan saudara Kareng Masalleh tetapi adalah kawan atau mungkin juga kerabat dekat dari Karaeng Masalleh yang ikut serta dalam perjalanannya dalam menyebarkan agama Islam kepulau seberang. Penting untuk dicatat bahwa di Sulawesi selatan terdapat empat etnis besar di Sulawesi selatan, Makasar, Mandar, Bugis, Toraja.
 Masing-masing suku tersebut memiliki dialek khas dalam bahasa mereka. Seperti suku-suku lainnya, mereka memberikan penyebutan yang khusus untuk setiap orang yang memiliki kedudukan tinggi ditengah-tengah masyarakat. Suku Makasar kita dikenalkan istilah Daeng dan Karaeng untuk keturunan bangsawan dan taat beragama serta memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dibanding dengan yang lain. Karaeng pada zaman dulu sangat dihormati dan disegani sehingga tidak semua orang bisa menerima gelar Karaeng, karena status ini secara kultural hanya bisa didapatkan oleh keluarga bangsawan atau mereka yang memiliki integritas dan kredibilitas keilmuan yang memadai. Di Bugis untuk menyebut para Raja dan keturunan bangsawan kita kenal istilah Andi. Begitu juga dengan suku Mandar dan Toraja. Sebutan Karaeng (seperti termaktum dalam lontara) ataupun Daeng (sebutan masyarakat Giliyang) merupakan satu bukti bahwa ia terlahir dari keluarga bangsawan.
Perjalanan Intelektual Karaeng Masalleh
Seperti yang disebutkan diatas, bahwa Karaeng Masalle lahir dan dibesarkan ditengah-tengah keluarga bangsawan kesultanan Goa-Tallo Sulawesi selatan. Kultur dalam yang berkembang dalam keluarga besarnya amatlah mendukung dalam membantuk generasi ideal. Mereka adalah keluarga-keluarga yang gandrung akan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang agama. Tradisi yang berkembang tidak hanya dalam istana tetapi juga rakyat-rakyat Goa. Mereka, Masyarakat Goa-Tallo instens dalam mengkaji dan mendalami ilmu pengetahuan khususnya berkenaan dengan ajaran Islam. Kultur ilmiah dan imaniyah ini mampu menghantarkan kesultanan Goa-Tallo menggapai peradaban gemilang dalam riputasi sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara Timur. Karena itu,  untuk memperoleh gambaran utuh tentang pendidikan yang diperoleh Kareng Masalle. Maka kita harus menelusuri sejarah pendidikan Islam yang berkembangd di Sulawesi Selatan.
Para penyelidik sejarah-sejarah mencatat bahwa pendidikan Islamiyah ( at-tarbiyah al-Islamiyah) telah di rintis oleh mereka (mujahid dakwah) pada penghujung abad ke-XVI. Era ini merupakan awal perkembangan pendidikan Islam di Sulawesi Selatan. Pendidikan Islam di kota Daeng tersebut, awalnya banyak diperankan oleh para wirausahawan muslim yang melakukan perniagaan dibandar-bandar pelabuhan. Para saudagar muslim tersebut mulai mengenalkan ajaran Islam melalui jalur niaga laut, dari satu bandar satu kebandar yang lain. Berkat kegigihan, kesabaran dan keistiqomahan para da’i itu, hati masyarakat mulai terbuka untuk menerima Islam, satu persatu diantara mereka masuk Islam secara suka rela. Hingga Islampun berkembang pesat di Sulawesi Selatan. Puncak keberhasilan para da’i ini tampak jelas, tatkala salah seorang rajanya masuk Islam. Tanggal penerimaan resmi Islam ialah malam jumat, 9 jumadil  Ula 1014 H  atau  22 September 1605 M. Raja yang mula-mula masuk Islam sebagai agamanya pada hari tersebut adalah Raja Tallo yang bernama Manglingkaan Daeng Mannyonri. Disamping sebagai Raja Tallo, manglingkaan merangkap sebagai Tumabbicara buta atau mangkubumi kerajaan Goa.  Menyusul sesudah itu, Raja Goa XIV Baginda I Mangngerengi Daeng Manrabbia memeluk Islam, yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Alauddin. Peristiwa ini tercatat sebagai peristiwa besar dalam sejarah kerajaan Goa, Sang Raja merayakannya dengan melaksanakan sholat jumat yang pertama pada tanggal 19 Raja 1016 atau 9 November 1607 yang diselenggarakan di Tallo, perayaan ini sebagai tanda bahwa Islam telah resmi menjadi agama Kerajaan Goa-Tallo.
Menurut Mattulada, Mubaligh yang berjasa mengislamkan seluruh kerajaan ialah Abdul Qadir Khatib tunggal, yang dalam tinta sejarah dikenal dengan sebutan Dato’ Ribandang, berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Dengan masuk Islamnya kedua Raja kerajaan kembar tersebut (Goa-Tallo). Menjadi titik tolak yang sangat menentukan dalam  sejarah dakwah Islam di Sulawesi Selatan. Gelombang dakwah ini, terus menggema  sampai akhirnya agama Islam menjadi agama kesultanan Goa-Tallo pada paruh akhir abad ke-XVI. Penting untuk dicatat bahwa semenjak awal datangnya Islam masyarakat Islam Sulawesi Selatan, telah berhasil menanamkan pendidikan keluarga yang amat kuat. Mereka mengenalkan ajaran Islam melalui pendidikan dasar yang mereka rintis di internal keluarga. Dari pendidikan ini, ditanamkanlah nilai-nilai Islam, keteguhan mental dan intelektual kepada anak-anak mereka. Basis pendidikan macam ini, sangatlah besar pengaruhnya dalam membentuk karakter-jiwa anak-anak muda di Sulawesi Selatan saat itu.
Iklim pendidikan yang kondusif membantu para generasi muda dalam mengembangkan minat bakat mereka sesuai dengan potensi yang mereka miliki.Wajah Pendidikan yang berkembang saat itu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan kepribadian dan intelektual anak-anak muda Sulawesi Selatan. Amatlah beruntung hidup pada masa itu, dimana para generasi muda dapat mengenyam pendidikan seluas-luasnya. Pemerintah kesultanan Goa memberikan keleluasaan kepada siapa saja untuk belajar ilmu tanpa batas. Berbagai fasilitas diberikan kepada mereka guna menunjang keberhasilan pendidikan umat, kesultanan Goa. Para ulama’ didatangkan dari berbagai wilayah, untuk mengajar, mendidik ruhani dan jasmani generasi muda kesultanan Goa. Sehingga terbentuklah lingkungan  yang sarat dengan nilai-nilai keilmuan dan spiritual.
 Karaeng Masalle kecil termasuk diantara anak yang beruntung. Keberuntungan yang pertama Ia dilahirkan dari keluarga bangsawan, dan yang kedua Ia hidup dalam cuaca pendidikan yang mendukung menjadi apa yang ia inginkan. Dan keluarga besarnyapun termasuk orang yang ahli ilmu yang amat cinta kepada ulama’. Dengan demikian dari berbagai sisi ( nasab dan lingkungannya) membantu dirinya untuk mengenyam pendidikan secara maksimal.
Pendidikan Karaeng Masalleh dimulai dari keluarganya. Mulailah ia belajar pengetahuan-pengetahuan dasar kepada keluarganya dengan tekun dan istiqomah, pengetahuan dasar yang ia dapatkan ini, menjadi modal utama dalam menempuh pendidikan jenjang berikutnya.
Para ahli sejarah menulis dalam catatan –catatan mereka, bahwa anak raja ataupun keluarga terdekat (famili dan kerabat kerajaan) sejak kecil sudah ditanamkan ilmu pengetahuan dasar sebagai bekal generasi penerus tatkala mereka dewasa nanti. Mereka juga diajarkan bagaimana bertingkah laku baik sesuai dengan adat istiadat  yang berkembang dimasyarakat Goa. lalu ketika menginjak usia 7 tahun, seorang anak raja juga mulai diajari ilmu beladiri silat yang pilih dari guru-guru silat yang memiliki pilih tanding, juga ilmu ke tatanegaraan. Pendidikan ini sengaja diberikan kepada mereka agar mereka siap mengemban amanah kepemimpinan tatkala mereka dewasa kelak. Tradisi macam ini telah berjalanan ratusan tahun lamanya, sehingga siapa saja yang masih termasuk keturunan anak raja atau bangsawan akan mendapat pendidikan khusus seperti diatas. Masalle kecil yang hidup ditengah masyarakat Sulawesi selatan tidak absen dari kultur yang telah mentradisi ditengah keluarga bangsawan kerajaan. Ia juga belajar silat, dan ilmu kanuragan dengan tekun. Belajar ilmu bela diri menjadi satu kebiasaan yang tak terpisahkan dari hidupnya. Ia sangat tekun dan konsisten belajar silat, bahkan tidak segan-segan ia mengarahkan segenap tenaganya untuk bisa menghantarkan dirinya menjadi pendakar profesional dalam dunia persilitan.
Sekalipun tekun belajar silat tidak membuatnya lupa untuk mempelajari ilmu agama. Ia belajar kepada keluarga. Selain itu ia pelajaran keagamaan dan belajar al-qur’an bersama anak disekitar kediaman sang guru. Dalam bahasa Bugis di sebut ‘’ Puang Anre Guru’’. Mereka adalah guru yang mukhlis mengejarkan agama Islam, membaca al-qur’an kepada anak-anak kecil. Mereka sangat dihormati dan disegani masyarakat dan orang tua murid .
 Menurut Sarbini, mendasarkan sumber yang ia dapatkan dari Daeng Maulana Ishaq, Masalle muda lebih sangat tekun mempelajari ilmu kanugarakan. Bahkan kecendrungan untuk mendalami ilmu bela diri dan kenuragakan tersebut lebih domenan dari pada belajar ilmu agama. Dari ketekunannya itu, membuahkan hasil yang maksimal sehingga mampu menempatkan dirinya sebagai sosok pendekar persilatan profesional yang siap tanding pada masanya. Untungnya, ia segara berbalik arah, menjadi sosok yang tekun mempelajari ilmu agama, politik dan pemerintahan, setelah mendapat nasehat dari ayah-ibunya yang merubah pola hidupnya. Andaikan, tidak segara berbalik arah, ceritanya mungkin tampak lain seperti yang kita kenal sekarang.
Musalle mudapun mulai melanglang buana guna menimbah ilmu kepada Ulama’-Ulama’ di Sulawesi. Hanya saja, belum diketahui dengan pasti berapa lama ia belajar, dan kepada siapa saja ia menimba mutiara ilmu tasawwuf di kota Makasar. Akan tetapi, realitas historis mengungkapkan bahwa mulai abad ke-15 sampai abad ke-17 M bandar  milik kerajaan Goa menjadi persinggahan niaga dunia karena dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas sebagaimana bandar-bandar lainnya di dunia. Masa pada ini, khususnya pada abad ke-15 banyak diantara para da’i (penyebar agama Islam) mendakwahkan ajaran Islam kepada penduduk setempat, mereka banyak berasal dari Minangkabau, Sumatera. Kala itu, banyak para ulama’ yang mendiami tanah Makasar, mereka mengajarkan agama Islam kepada Masyarakat, diantara mereka banyak santri dari wali songo ditanah Jawa. Para da’i ini, selain berdagang juga mereka menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat. Hasilnya, lahirlah ulama’-ulama profesional di bidangnya yang memberikan sumbangan berarti dalam khazanah intelektual Islam di dunia.
Murid-murid  para da’i ini mengembangkan  dakwahnya kepelosok-pelosok desa, mendidik, mengajarkan agama Islam kepada masyarakat setempat. Realitas historis diatas mengisyaratkan bahwa, pada masa itu telah terjadi hubungan yang sangat erat antara masyarakat Goa dengan para da’i di Nusantara, berdasarkan realitas ini memungkinkan Daeng Masalleh belajar kepada para Ulama’ yang datang ke tanah Makasar, sebab secara kultural, keluarga Sultan biasanya mengundang para ahli ilmu ke istana untuk kemudian mengajarkan agama Islam kepada keluarga Sultan. Dilihat dari sisi yang lain perkembangan ilmu pengetahuan di Goa saat itu telah berkembang sedemikian rupa, ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh yang muncul saat itu, seperti Karaeng Pattingolloang, tercatat sebagai sosok intelektual cerdik dan pandai, ahli astronomi dan lihai berbahasa. Ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan bahasa lainnya sejak usianya yang masih muda, 18 tahun. Ia juga sangat peduli terhadap ilmu pengetahuan membuat orang Belanda terkagum-kagum padanya. Joost Van Den Vondel, pendekar penyair Belanda menggubah syair khusus  sebagai berikut:
Wiens Aldoor Anuffelende Brein
Een Gansche Werelt Valt Te Klein
Artinya: orang yang fikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya terlalu sempit baginya.
Selain tokoh ilmu pengetahuan di Makasar muncul tokoh penting dibidang tasawwuf, Syekh Yusuf al-mangkasari Tajul khalwati beserta para muridnya  diantaranya Syekh Abdul Fattah Abd-Al Basir Al-Darir (Orang Buta), Al-Raffani, dan Abdul Qodir Karaeng Jeno’. Munculnya berbagai macam tokoh intelektual profetik diatas tidaklah mengherankan, sebab Sultan Alauddin yang tidak lain adalah paman dari Karaeng Masalleh seringkali mengadakan kajian-kajian keagamaan didalam maupun diluar istana. Semangat intelektual benar-benar terlihat waktu itu, dimana para penguasa (Sultan) memberikan dorongan kepada masyarakat untuk mengakaji ilmu pengetahuan lebih dalam khususnya ilmu agama.
Berada dalam lingkungan ahli ilmu, membantu Karaeng Masalleh untuk mengembangkan semangat intelektualnya, dari sinilah ia belajar  berbagai disiplin ilmu, mulai dari Ushuluddin (aqidah), fiqih, tafsir, dan tasawwuf  kepada Ulama-ulama di kota Daeng. sebagai bagian dari keluarga bangsawan kharismatik, ia juga belajar ilmu kedigjayaan (kanuragan), ilmu kanugarakan dan silat menjadi kebutuhan masyarakat waktu itu khususnya mereka yang seringkali berjihad di medan tempur. Bagi anak seorang raja/Sultan dan kerabatnya, pendidikan kanuragan telah mentradisi dikalangan mereka, sebagai bekal persiapan jika suatu saat nanti terjadi peperangan.
 Dari perjalanan intelektualnya, nampak kegigihannya dalam mencari ilmu. Karaeng Masalle sepertinya tidak pernah puas dengan apa yang ia capai, giat dan monsisten dalam belajar serta tidak cepat berputus asa. Ia sangat gandrung menimba ilmu, kemanapun ia pergi ia selalu membawa catatan untuk menulis hikmah-hikmah yang bertaburan dialam raya. Ia tidak mentafriqkan (membeda-bedakan) antara ilmu umum dengan ilmu agama. Baginya, ilmu merupakan anugrah terbesar tuhan yang diberikan kepada manusia guna dijadikan sebagai lampu penerang hidupnya. Oleh karena itu, setiap ilmu yang menuai manfaat, ia pelajari. Realitas ini menunjukkan kesungguhan Karaeng Masalleh dalam menimba sumber cahaya kehidupan (Ilmu) sekaligus mengisyaratkan bahwa konsepsi ilmu yang ditabanninya bersifat integral (menyatu-padu). Iapun tidak membeda-bedakan antara ilmu umum (saat itu ilmu pemerintahan, ekonomi dan politik) dengan ilmu agama, semua ilmu yang dapat menuai menfaat untuk diri, agama dan negerinya ia pelajari termasuk ilmu yang selama ini ia tekuni, ilmu beladiri.
Penting untuk diperhatikan, pentas politik kesultanan Goa-Tallo pada masa kepemimpinan Sultan Alauddin, Sultan pertama dari kesultanan Goa setelah ia memeluk Islam, lalu ia mendakwahkan Islam kepada kerajaan-kerajaan Bugis, seperti Sindenreng, Sopeng, Wajo, dan Bone yang memeluk islam berturut-turut pada tahun 1609, 1610, dan 1611 M. Tentang strategi politik kekuasaan dan diplomasi yang dipraktekkan langsung oleh paman Karaeng Masalleh sampai pemerintahan sepupunya, Sultan Malikussaid, menjadi pelajaran penting baginya dalam hal politik-diplomasi dan strategi dakwah Islam. Pendidikan politik dan ketatanegaraan ini sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadiannya dimasa depan, kepiawannya dalam hal politik-diplomasi banyak ia dapatkan dari pengalamannya di tanah airnya. Pergolakan politik yang terjadi saat itu tidak hanya memberikan kekayaan staqafah siyasiyah ( pengetahuan perpolitikan) tetapi juga mendidiknya menjadi sosok yang tangguh dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam percaturan hidupnya.
Pada perkembangan selanjutnya, Karaeng Masalleh lebih fokus mempelajari tasawwuf lebih dalam. Pada zamannya, diskursus spiritual (tasawwuf) begitu gencar di Makasar,orang yang hidup di zaman itu mental dan materil yang bertujuan untuk mengimbangi sebagai agama dan kepercayaan yang menjurus ke arah itu.  Tokoh penting yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat di bidang Tasawwuf adalah Syekh Yusuf al-Mangkasari Tajul Khalwati dan para muridnya yang sangat berjasa dalam menyabarkan Tasawwuf Islam, tidak hanya di Sulawesi, tetapi juga belahan Nusantara sampai ke Afrika. Memang, abad ke-XVI merupakan masa yang cukup penting dalam penyebaran tasawwuf-Islam, sekaligus menjadi titik awal perkembangan tasawwuf sosial di Makasar. Suntikan-suntikan spiritual yang dipelopori oleh para sufi ini mampu membangunkan semangat ketauhitan dan spritualitas masyarakat Sulawesi Selatan. Api spiritual yang ditiupkan oleh kalangan Sufi ini, berhasil membangunkan kesadaran ruhaniyah masyarakat yang tertidur dari kegersangan spiritual. Dampaknyapun terlihat dari perubahan dari pola sikap  masyarakat, di kesultanan Goa-Tallo. Sosio-kultural yang yang berkembang saat itu lebih mengarah pada bentuk penyucian batin ini melalui mistisisme-Islam.Iklim kultural ini, membantu Karaeng Masalleh dalam mengambangkan apa yang ia tekuni selama ini (ilmu tasawwuf). Sayangnya, literatur yang ada tidak mengurai sepenuhnya perjalanan sufismenya di Makasar. Riwayat-riwayat yang tersebar belum menjelaskan secara rinci kepada siapa ia belajar tasawwuf. Perkembangan tasawwuf  Daeng Karaeng Masalle sepertinya lebih banyak diinspirasi oleh berbagai macam tasawwuf yang berkembang waktu itu, diskursus dunia spiritual menjadi lebih intens dikaji dan dipelajari oleh Karaeng Masalleh sampai ia hijrah ke Giliyang.
Titik tolak Perjalanan Dakwah Karaeng Masalleh
 Seseorang yang diberikan amanah ilmu oleh Allah mempunyai kewajiban untuk menyampaikan amanah itu kepada ummat. Menyeru kepada kebaikan (al-maruf) dan melarang berbuat munkar (an-nahyu an al-munkar). Dakwah dalam Islam merupakan keharusan universal bagi seorang muslim. Setiap pribadi muslim memiliki tanggungjawab untuk menyampaikan kebenaran Islam (amar ma’ruf  nahi munkar). Dengan dakwah inilah panji-panji Islam berkibar di seluruh penjuru dunia. Dakwah juga merupakan bentuk pengabdian dirinya sebagai seorang hamba kepada Rabnya serta sebagai bentuk perhatian terhadap lingkungan-sosialnya. Karena itu dakwah menjadi nilai prinsip asasi dalam Islam serta menjadi prinsip dasar yang selalu dipegang oleh para ulama’ sebagai pewaris para Nabi (warastah al-anbiya’). Prinsip inilah yang selalu dipegang Karaeng Masalle dalam hidupnya. Sepertinya pendidikan keagamaan dan spritualitas yang ia dapatkan telah mampu membuka tabir kesadaran akan urgensi dakwah Islam yang saat itu menjadi kebutuhan utama ummat yang masih terlelap dalam kejahiliyaan. Jiwanya terpanggil untuk terjun langsung ketengah-tengah masyarakat. Karaeng Masallepun mulai menggegas dakwah ditempat dimana di tinggal di Kesultanan Goa-Tallo, Sulawesi Selatan. Secara Intens ia mendidik, membingbing dan membina ummat. Dalam menjalin interaksi sosialnya dengan masyarakat ia tidak lupa untuk menghiyas diri dengan sifat keteladanan (uswah hasanah). Toleran dan perbedaan serta tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Mungkin karena sifat inilah dakwahnya mudah diterima oleh berbagai macam lapisan masyarakat. Sayangnya, riwayat-riwayat yang lebih rinci tidak banyak terekam dalam sejarah. Padahal peran Karaeng Masalle seperti yang telah disebutkan diatas tidaklah kecil dalam menghidupkan semangat keagamaan dan kemajuan di tempat kelahirannya. Barangkali, karena kiprahnya banyak dihabiskan di negeri rantau, sehingga ia lebih banyak dikenal dinegeri orang dari pada di negeri sendiri.
Mendapat Tugas Mulya
Salah satu prinsip dasar Islam adalah mengemban dakwah keseluruh alam. karakteristik dakwah Islam tidak mengenal batas teritorial, kemanapun dan dimanapun selalu dianjurkan untuk berdakwah. Motivasi dakwah menggelora ini telah ditamsilkan dan dicontohkan oleh baginda Nabi, para shahabat, tabien dan selanjutnya diteruskan oleh para salaf. Ghirah Islamiyahnya  memberikan dorongan yang sangat kuat terhadap Karaeng Masalleh untuk menghibahkan seluruh hidupnya dalam dunia dakwah. Berdakwah, menyampaikan kebenaran Islam (amar ma’ruf nahi munkar) telah menyatu dengan hidup sang Karaeng. Dan ini telah mulai  semenjak berada di kota para Mammiri. Tibalah saatnya ia menyemban tugas dari ayah-bundanya untuk mencari sebuah pulau, jauh disana. Pergi ka arah barat, carilah pulau yang posisinya sejajar dengan garis katulistiwa (madura : malang eare), sebarkan agama Islam, ajarkan kepada mereka tasawwuf Islam yang telah engkau dapatkan. Nasehat itu ia terima dengan sepenuh hati sebagai sebuah amanah dan titah yang suci. Kata-kata kedua orang tuanya itu begitu membekas dalam batinnya yang selalu ia ingat setiap gerak juang yang dilakoninya.
Sebagai seorang manusia bisanya, berpisah dengan kedua orang tua, keluarga dan kampung halaman tentu terasa berat baginya. Ia harus meninggalkan segala pernak-pernik kenangan indah yang telah menghiyasi hidupnya selama di Goa. Namun, sepertinya energi panggilan dakwah, menyiarkan agama Islam yang telah terpatri dalam dirinya jauh lebih kuat, sehingga dengan mantap ia segara menyambut seruan itu dengan penuh keyakinan. Sampai disini kita tentu bertanya, mengapa Karaeng Masalle diperintahkan untuk menyebarkan tasawwuf Islam dan tidak yang lain. Mengapa ia juga diperintahkan untuk berdakwah ke daerah lain dan tidak didaerahnya sendiri?. Mengapa Kraeng Masalle mau menyambut seruan itu?. Bukankah hidup dekat dengan lingkungan istana akan jauh lebih menjanjikan dibanding hidup di negeri orang yang belum tahu nasibnya seperti apa. Andaikan materi yang ia pikirkan, kekuasaan yang ia inginkan tentu Kraeng Masalle akan memilih hidup dekat dengan lingkungan Sultan dibanding hidup ompempa di negeri orang. Tetapi Kraeng Masalle lebih memilih hidup yang lain sebagai mujahid dakwah dan pejuang Islam sejati yang memiliki kepekaan terhadap kondisi umat. Dan semua itu adalah pelajaran  yang amat berharga yang diberikan oleh orang tua Kraeng Masalle kepada anaknya, suatu warisan abadi yang tidak hengkang sepanjang zaman, membuat namanya dikenang sepanjang zaman warisan itu adalah ilmu dan pengalaman. Dengan ilmu yang dimilikinya itu hidupnya menjadi terang, jelas arahnya kemana ia harus mendayung dan sampai batas mana ia akan berlabuh. Ilmu akan membingbingnya menuju jalan yang benar ia akan kekal abadi sepanjang masa.
Ali karramahullahu wajhah berkata : ‘’Kami rela terhadap pemberian al-jabbar ( Allah SWT) kepada kami, kami memiliki ilmu sedangkan musuh memiliki harta, sesungguhnya harta akan musnah dalam waktu dekat sedangkan ilmu akan tetap abadi sepanjang masa’’.
Syekh Hasan bin Ali atau yang lebih dikenal al-Marghibani  pernah menendangkan sebuah syair, ‘’ sesungguhnya orang-orang bodoh itu mati sebelum mereka mati, sedangkan orang-orang alim itu tetap hidup walaupun sebanarnya telah mati’’.
Adapun pengalaman disertai dengan ilmu akan membentuk keteguhan jiwa serta sikap yang selalu siaga dan hati-hati, Experience is the best teacher begitulah pepatah mengatakan. Warisan tersebut merupakan suatu warisan yang amat berharga yang didapatkan Kraeng Masalle dari kedua orang tuanya.
Adalah menarik untuk dikaji prihal titah yang diamanahkan oleh ayah-bunda Karaeng Masalle untuk mencari pulau yang posisinya sejajar dengan garis katulistiwa. Dalam perjalanan itupun ia diberintahkan untuk berjalan ke arah barat. Dilihat dari peta geoogle map posisi Makasar yang saat itu menjadi pusat kesultanan Goa berada di sebalah timur laut. Ini berarti dari arah Makasar posisi Giliyang berada di arah barat-daya seperti yang tampak pada peta disamping. Sedangkan jarak antara kedua wilayah itu sekitar 335, 07 MIL. Mungkinkankah Kedua orang tua Karaeng Masalle mengetahui kondisi pulau yang kelak dikenal pulau oksigen itu. Dari mana kedua orang tuanya itu mendapatkan informasi tentang keberadaan pulau tersebut ( baca: Giliyang).
Di BAB I ( bagian buku ini) telah kita bahas bagaimana hubungan antara masyarakat Madura dengan para pengembara dari suku Bugis, Mandar, Bajhu dan Makasar. Sejak abad 12 sampai 14 bangsa-bangsa Cina, Arab dan suku-suku dari Nusantara (Bugis, Makasar, Bajhu, Mandar, Banjar, Jawa) berdatangan ke Madura. Kedatangan yang paling pesat terjadi ketika Sumenep-Madura berada dibawah kepemimpinan seorang tokoh kharismatik, politikus, diplomat ulang yang arif dan bijaksana, Arya Wiraraja. Ia adalah seorang tokoh yang memiliki pengaruh yang sangat besar pada masanya serta memiliki jalinan hubungan diplomatik yang amat kuat dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tak heran pada masa kepemimpinnya di Madura, banyak diantara bangsa lain datang ke Madura apakah itu untuk  urusan perniagaan ataupun urusan-urusan lainnya. Masa itu pula beragam suku dari Timur datang ke Madura untuk menjalin hubungan dengan pulau ujung timur pulau Jawa tersebut. Seiring berjalanannya waktu, hubungan mereka dengan bangsa Madura semakin akrap. Jalinan tersebut mampu memperkaya pengetahun mereka, khususnya berkenaan dengan kondisi alam daerah kepulauan Sumenep-Madura. Selanjutnya, mereka tidak akrap dengan Masyarakat Madura yang ada didaratan ketika kontak niaga di bandar pelabuhan, tetapi juga dengan kondisi alam yang ada kepulauan Sumenep ketika mereka singgah dipulau tersebut.
Dawiyah, sesepuh Giliyang menuturkan bahwa, suku Mandar sejak dahulu kala seringkali singgah pulau Giliyang. Konon, suku Mandar menyebut pulau yang berada di sebelah timur kecamatan Dungkek itu dengan sebutan SUTAWIL. Mereka menganggap pulau tersebut sebagai tempat keramat yang penuh berkah sehingga ketika mereka makan tiga suapan, salah satu suapan dari makanan tersebut ia berikan ke tanah Giliyang. Begitulah riwayat yang ia terima dari Kyai Mahrean, Murid Kyai Asy’ari.
Melihat dari kenyataan diatas, tampak jelas bagi kita, bahwa amanah untuk mencari pulau yang posisinya sejajar dengan garis katulistiwa (Madura : malang Eare) itu bukan merupakan sesuatu yang asing bagi mereka, masyarakat Goa. Sebab jauh sebelumnya, Suku Bugis, Makasar, Mandar dan Bajhu sejak abad ke 12 sampai abad 14 melalui jalur bahari telah lama menjalin hubungan dengan bangsa pulau Garam tersebut. Sangat mungkin informasi berkenaan dengan adanya sebuah pulau yang dianggap unik dan keramat oleh suku Mandar telah tersebar luas di lingkungan Masyarakat Goa, hingga membuat mereka bertanya-tanya seperti apa pulau yang diperbincangkan para pelaut Mandar itu. Dimana letaknya serta bagaimana kondisi di dalamnya?. Rasa penasaran tersebut sedikit demi sedikit mulai terobati ketika para pengembara palaut Mandar, Bugis, Bajhu menjelaskan banyak hal kepada mereka ikwal keberadaan pulau tersebut. Karena itu, amatlah wajar dan tidak aneh jika orang tua Kraeng Masalle memerintahnya untuk berjalan ke arah barat, karena berdasarkan pengalaman dari para pelaut suku-suku dari Sulawesi Selatan itu, pulau tersebut berada di arah barat (tepat di arah barat daya dari kesultanan Goa).
Sebelum berangkat ke negeri rantau Karaeng Masalleh ia pergi ke pantai Losari, Sulawesi Selatan. Konon, ia tinggal disina selama 40 hari 40 malam. Di tempat tersebut ia banyak menghabiskan waktunya untuk berpuasa, berdzikir dan berdoa. Malamnya harinya, ia tenggelam dalam  lautan ibadah kepada Rab-Nya. Riyadhah ini, terus ia jalani secara konsisten selama tinggal di daerah pantai tersebut. Bagi seorang Salik (orang yang berjalan menuju ma’rifatullah) latihan-latihan rohaniyah (riyadhah) merupakan suatu hal yang amat penting baginya. Berdzikir bermujahadah, berjihad melawan keangkuhan hawa nafsu, dan keaKuan yang dapat menghalangi dirinya sampai (al-ushul) pada-Nya. Latihan-latihan tersebut membutuhkan konsitensi dan keikhlasan hati dalam mengamalkannya. Dengan latihan yang konstensi dengan semangat perjuangan yang menggelora dalam hati, seorang hamba bisa sampai ke hadirat-Nya. Begitulah tradisi yang dianut oleh para sufi. Setelah selesai riyadhah tersebut ia kembali lagi ke Goa untuk bermaitan kepada kedua orang tuanya. Sebagain sumber menyatakan sebaliknya, Kraeng Masalle langsung berangkat tanpa kembali lagi untuk paminan keorang tuanya.
Sebelum memutuskan berangkat Kraeng Masalle selalu mengingat pesan ayah-bundanya untuk berjuang semata-mata hanya untuk mendapatkan ridha Allah. hidup sebagai mujahid sejati, menebarkan kebaikan, menegakkan keadilan, memberantas segala bentuk kezaliman. Satu Nasehat yang mewarnai dalam hidupnya, nantinya membangun karakter sufismenya sang Karaeng. Menyebarkan Tasawwuf-Islam dengan prinsip keteladanan (al-uswah).
Setelah mendapatkan restu sang ayah-bunda itu. Sang Karaeng pun memutuskan untuk berangkat untuk mencari letak pulau yang ia tujuh, ia berjalan ke arah barat menyusuri semenanjung Sulawesi hingga selat Madura. Kami belum memperoleh secara utuh rekam jejak perjalanan Karaeng Masalle dari Pantai Losari (saat ini kota Makasar) menuju tempat tujuan (Giliyang sekarang).  Cerita tutur yang berkembang di masyarakat Giliyang hanya mengungkap perjalanannya ke tempat tujuan (baca: Giliyang) yang menurut cerita itu ia di antar oleh ikan besar. ( BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHAZANAH PITUTUR SESPUH GILIY SEJARAH PERJUANGAN MASYARAKAT GILI IYANG PADA MASA PENJAJAHAN HINDIA BELANDA. Apa kabar Sahabat Pitutur Bai...