Senin, 13 Maret 2017

KHAZANAH PITUTUR SESEPUH GILI
Tragedi Nestapa Gili Iyang di Era Jepang
Membaca judulnya, sahabat pitutur pasti dapat menebak kearah mana tulisan ini akan dibawa. Emmmm so pasti didalamnya terdapat baaanyak cerita-cerita sedih yang memilikun bukan!. Sippp, Cerdas.
Kali ini sahabat Pitutur akan diajak bertamasya ke masa lampau, dimana di dalamnya akan kita temukan tetesan air mata yang tak pernah kering akibat desakan kesedihan dan kepedihan yang terus menerus mengalir tanpa henti. Taukah anda, kapan pristiwa itu terjadi? Ude pada penasaran nich ya!!
Narik nafas, keluarkan secara pelan-pelan, lalu simaklah ulasan berikut ini..
Pada tahun 1363 H/1944 M, begitulah ahli sejarah mencatat, masyarakat Nusantara menghadapi tantangan yang saangat berat. Bala tentara Jepang mencoba menggenggam seluruh wilayah Asia Timur Raya dengan personel militer yang sangat kecil jumlahnya dan mesin perang darat, laut dan udara yang tidak memadai untuk mempertahankannya. Dampak dari kelemahan pertahanan ini, satu persatu wilayah yang akan dijadikan lebensraum-Lahan kehidupan Baru, Guam, Saipan, Tinian, dari Kepulauan Karoin, mulai terlepas dan kembali ketangan Sekutu. Terputuslah hubungan Indonesia dengan Tokio pada juni, juli dan Agustus 1944. Dampaknya, terpukullah beban yang sangat berat bagi seluruh masyarakat Nusantara, khususnya ulama dalam menjadi tumpuan Balatentara Jepang dalam upaya memenangkan perangnya.
Perang membutuhkan pangan atau beras serta logistik lainnya. Ulama’ desa diwajibkan menyerahkan pada miliknya. Perang membutuhkan dana untuk pembangunan kembali mesin perang yang rusak. Umat Islam diwajibkan harta emas intannya. Perang membutuhkan tenaga kerja pembangunan. Dampaknya, rakyat dijadikan obyek kerja paksa atau ROMUSHA.
Selain itu, perang menyebabkan terputusnya hubungan niaga antar negara. Dalam pengadaan beras sebagai makanan pokok, pada masa penjajahan pemerintah kolonial Belanda, masih perlu impor beras dari Thailand. Bagaimana dampaknya bila hubungan niaga dengan Thailand dalam masalah pangan putus ? Bahaya kelaparan mewabah di tanah Jawa dan Madura.  Tercatat sebanyak 20.000 orang di Madura mati kelaparan secara mengenaskan. Wah-wah kasian banget ya sahabat..
Masyarakat Gili Iyang termasuk diantara yang menerima kenyataan pahit itu. Mereka dipaksa tunduk, mengikuti kemauan Jepang tanpa kompromi. Kesaksian mesyarakat Gili Iyang tentang tindakan kebiadaban Rumosa dalam memaksakan kehendak mereka kepada masyarakat Gili Iyang dapat kita lihat dari tindakan-tindakan kejam mereka. Mereka memaksa masyarakat Gili bekerja keras dengan satu konsekwensi yang sangat berat, tidak dikasih makan hingga mati kelapan.
Wah-wah benar-benar kejam ya...
Muajjer berserta kawan-kawannya memberikan kesaksian, bahwa pada masa itu, banyak masyarakat Gili Iyang yang dibawa tentara Nippon -yang pada akhirnya tidak kembali lagi ke Gili Iyang. Dan yang paling menyedihkan, hadirnya Romusha di Gili Iyang dijadikan kesempatan oleh mereka yang tidak memiliki belas kasihan untuk meraup keuntungan, dengan menjual masyarakat Gili Iyang kepada balatentara Jepang untuk dipekerjakan.
Tidak hanya berhenti sampai di sini, tetapi mereka balatentara Jepang memberhentikan penyuplaian makanan untuk masyarakat Gili Iyang sehingga mereka hidup kelaparan. Mahyu, saksi sejarah yang benar-benar menyaksikan kejadian pahit tersebut menggambarkan kondisi masyarakat Gili Iyang yang sangat memprihatinkan. Mereka tidak diperbolehkan membeli beras dan jagung. Bahkan mereka tidak diperkenankan untuk memiliki makanan yang layak. Siapa saja yang memiliki bibit yang pontensial untuk ditanam, baik berupa jagung  ataupun beras, maka akan segera dirampas secara paksa oleh Balatentara Jepang.
 Alam Gili Iyang kala itu benar-benar diselimuti kewatiran dan ketakutan yang kian mencekam, bahkan diantara masyarakat Gili Iyang yang mungkin tidak tahan melihat kepiluan hidup yang kian mencekik itu berkata, ‘’lebih baik mati dari pada harus hidup dengan seribu penderitaan. Terus bagaimana sikap tindakan masyarakat Gili Iyang ketika ada Balatentara Jepang?
Katika ada bala tentara Jepang datang, orang yang melihat akan segara lari kecar kacir. Goa adalah salah satu tempat persembunyian yang dianggap lebih aman dari kejaran bangsa mata sipit itu, meskipun ia harus melawan rasa takut yang lain karena pasa masa itu, di dalam Goa Gili Iyang terdapat banyak ular-ular besar yang ukurannya sebesar pohon palem.
Sementara untuk malam harinya, mereka harus bersempunyi di rimbunan pepohonan (karena takut menjadi korban). Demikian jerit derita masyarakat Gili di era Jepang yang akan terus dikenang sepanjang zaman. Pada akhirnya tragedi diatas semoga bisa menjadi pemompa semangat juang untuk generasi mudanya. Aminn

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHAZANAH PITUTUR SESPUH GILIY SEJARAH PERJUANGAN MASYARAKAT GILI IYANG PADA MASA PENJAJAHAN HINDIA BELANDA. Apa kabar Sahabat Pitutur Bai...