[11/3 19:41] Hoidir: GIIYANG DARI ZAMAN WILWATIKTA SAMPAI ZAMAN KEMERDEKAAN Oleh : Ibnu Mu’arif El-Giliy Dalam sejarah terdapat mauidhah-pelajaran dan haq-kebenaran,rahman, dan huna-petunjuk bagi orang-orang yang mengerti dan beriman ( QS 12: 11). Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghat Perhatikan sejarahmu untuk hari esokmu. (QS 59: 18) Pendahuluan Sejarah merupakapan pengalaman hidup manusia pada masa lalu dan akan berlangsung terus menerus sepanjang usia manusia. Mempelajari sejarah, antara lain bertujuan agar pengalaman manusia, baik manusia lain atau dirinya sendiri pada masa lampau dapat menjadi pelajaran, pengingat, inspirasi, sekaligus motivasi dalam menjalani kehidupan di masa sekarang dan mendatang. Mempelajari sejarah meripakan perwujudan dari tanggungjawab manusia akan hal-hal yang telah dilakukannya serta keinginan untuk dapat hidup lebih mulia di masa selanjutnya. Rasa tanggungjawab ini antara lain, terhadap dirinya sendiri, masyarakat serta bangsanya dan juga yang lebih intin, yaitu kepada sang Pencipta. Dari inilah dapat kita melihat urgensitas sejarah dalam berbagai demensi, entah politik, ekonomi, kultur-budaya, sistem sosial dll. Memahami sejarah berarti memahi jati diri, masyarakat dan bangsanya. Ia tahu dari mana ia harus memulai dan kearah batas mana perjuangan itu ia arahkan, sehingga iapun akan mampu menjadi peloporinspiratif yang bergerak dengan visi-misi yang jelas dan revolusioner. Demikian juga sebaloknya, sebuah pergerakan yang tidak disertai dengan kesadaran sejarah, akan mudah goyah terombang-ambing oleh misikan-misikan yang mematahkan semangat juang. Giliyang satu diantara ribuan pulau yang terbentang di bumi Asia Tenggara yang memilik kekayaan sejarah yang sangat luar biasa, tokoh-tokoh inspiratif visioner lahir dari bumi oksigen ini. Lalu bagaimana sebenarnya sejarah dari bumi berkah itu!!! berikut ini, ulasan sekilas historia Giliyang. Selamat membaca semuga bermanfaat
[11/3 19:42] Hoidir: Kilasan Sejarah Awal Para Leluhur Pada kurun antara 4000-2000 SM, terjadi perpindahan bangsa besar-besaran dari Asia Tenggara. Perpindahan itu terjadi, kerena semakin pesatnya perkembangan kebudayaan mereka, sehingga memperluas wilayah kekuasaannya menuju ke arah selatan. Mengalirnya migrasi bangsa Cina itu, mengakibatkan bangsa Burma, Thai dan Vietnam terpakasa menyingkir ke arah selatan1. Perpindahan mereka melahirkan cikal bakal bangsa-bangsa Protomelayu yang pada saat itu bermukim di wilayah Burma, Siam dan Indochina. Perpindahan kelompok bangsa-bangsa tersebut menyebar keberbagai wilayah, sebagian dari mereka terpaksa pindah di daerah pantai. Namun tidak sedikit diantara mereka yang terus menuju ke arah selatan, mengarungi lautan melewati Semenanjung Malaya, kemudian menyeberangi laut hinggamencapai pulau-pulau yang ada di Nusantara2. Proses perpindahan melintas lautan tersebut berlangsung secara bertahap. Umumnya dari mereka berangkat secara berkelompok.Para ahli mencatat, bahwa dalam proses transmigrasi tersebut membutuhkan waktu tang cukup lama, lebih dari 2000 tahun. Mereka meninggalkan tanah asalnya secara bersamaan, maka kelompok-kelompok tersebut tiba diberbagai pulau yang berbeda di kepulauan Nusantara. Pada mulanya mereka serumpun bangsa dan bahasanya, namun kemudian akibat dari perbedaan geografis menyebabkan terjadinya perbedaan yang semakin kentara. Pembauran dengan kelompok-kelompok berbeda (bangsa Deuteromelayu) yang datang belakangan, semakin memperkuat adanya perbedaan-perbedaan bahasa dan dialek3. Namun demikian, diantara perbedaan yang terbentuk masih dapat disaksikan adanya persamaan mendasar diantara mereka. misalnya kesamaan dalam cara menanamkan benda-benda yang ada disekitarnya, padi, pandan, ubi, udang, hujan, batu disekilingnya, atau bentuk penyebutan nama seseorang berdasarkan anama amnak sulungnya. Kesaman itu dapat dijumpai batu penggunaan kata bantu (ekor, batang, lembar, buah) dalam menghitung sesuatu. Kemudian mereka memiliki kesamaan dalam kesukaannya dalam mengkonsumsi ikan kering yang diasinkan dan dibusukkan (terasi, petis) atau makanan yang diragi. Mereka juga sama-sama senang mengadu ayam. Begitu pula warna kulit, bentuk muka, perawakan badan, serta sifat fisik 1 Sejarah sumenep hal: 21 2 Ibid hal: 21 3 Ibid hal: 21-22
[11/3 19:43] Hoidir: lainnya menunjukkan, bahwa orang-orang Nusantara itu berasal dari rumpun bangsa yang sama. Salah satu dari kelompok bangsa yang berpindah dengan mengarungi laut itu terdampar kesuatu pulau kecil yang terletak di utara, ujung timur pulau jawa. Para pendatang itu lalu menetap disana untuk kemudian menjadi nenek moyang bangsa Madura. Seperti bangsa Piah, Campa, dan Jai di Kocincina 4 . Jika dongeng yang berkembang dapat dipercaya, seorang dintara pendatang itu rupanya di lahirkan diatas rakit yang ditumpangi ibunya saat melintasi laut lepas. Sebagai akibatnya berkembanglah legenda bahwa putra laut yang dinamakan Sang Segara inilah yang merupakan penghuni pertama pulau Madura 5 . Giliyang, Sebuah Tinjauan Historis Sekalipun penelitian dan penulisan sejarah Giliyang belum banyak dilakukan orang 6 . Namun berdasarkan eksplorasi data dan informasi yang dapat direkonstruksi suatu lintasan masa lampau sejarah pulau oksigen itu ternyata telah dimulai dari ratusan tahun silam. Berdasarkan cacatan sejarah perkembangan masyarakat daerah kepualaun Madura timur dapat kita ketahui, bahwa Giliyang telah dikenal pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha tempo dulu, jauh sebelum agama Islam berkembang di Sumenep. Pertanyaannya adalah dari manakah mereka mengenal pulau sere elang itu. Siapa yang memperkenalkan kepada mereka. Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita harus melacak lintasan sejarah Madura-Sumenep khususnya. Karena bagaimanapun Giliyang sebagai bagian dari Sumenep tidak dapat dipisahkan dari sejarah kota Sumekar itu. Dari catatan sejarah Madura-Sumenep yang terekam dalam tulisan-tulisan para ahli itu disebutkan bahwa interaksi dan perkenalan itu dimulai saat para saudagar dan wirausahawan bangsa-bangsa asing yang melintasi selat Madura untuk kepentingan bisnis mereka. Para saudagar yang terdiri dari bangsa India, Cina, dan Arab kemudian suku Bugis, Makasar, Mandar dan Bajhu dari Sulawesi Selatan. Mereka sering melintasi selat Madura ketika mereka mengadakan kontak niaga dengan beragam suku bangsa di Nusantara. Bangsa India adalah yang 4Ibid hal: 22 5Tentang kisah Raden Segara bisa dibaca dalam buku sejarah Madura selayang Pandang, ditulis oleh Drs. Abdurrahman, juga dapat dibaca dalam buku The Histori of Madura, Sejarah Panjang Madura Dari Kerajaan Kolonialisem Dampai Kemerdekaan, hak: 19-20). ( lihat: Abdurrahman, cetakan kedua, terbit tahun 1971. Hal: 2-4 ) 6Penelitian seputar sejarah Giliyang masih jauh dari kata sempurna, hal tersebut disebabkan tidak adanya sumber yang memadai, sebagian sumber yang ada terbatas pada sejarah lisan (oral histori) dan tradisi lisan yang diwariskan dari generasi kegenerasi yang seiring usia zaman perhatian terhadap sejarah mulai memudar di kalangan generasi muda
[11/3 19:44] Hoidir: oleh sejarawan disebut sebagai bangsa pertama yang mengadakan interaksi dengan Nusantara dengan misi yang spektakuler. Datangnya bangsa India telah membawa satu perubahan yang cukup mendasar dalam tatanan kehidupan sosial-kemasyarakat maupun dalam aspek kepercayaan. Hindu dan Budha lahir yang menggantikan kepercayaan animis yang memucatkan perhatian pada pemujaan roh nenek moyang dan benda-benda magis yang dianggap superior dari dirinya. Di susul bangsa Cina, Arab dan bangsa-bangsa lain di dunia yang membawa semangat perubahan dalam gerakan-gerakan sosial. Dari peninggalan purbakala, berupa kapak dan perunggu (sebagai ujud peradaban Dongson) yang ditemukan di Madura oleh para arkeolog-arkeolog terkemuka ternyata memiliki tipe yang sama dengan yang ada di daratan Cina Selatan dan Asia Tenggara. Dan bukti tersebut menjadi dalil penguat terjalinnya hubungan masyarakat Madura dengan daratan Asia. Bangsa Madura dengan bekal keberanian dan kepiayawan mereka dalam seni berlayar telah sampai kedaratan Cina, India, dan Arab untuk melakukan proses niaga. Dalam buku ‘’Sejarah Sumenep’’ disebutkan bahwa para pelaut-pelaut Madura menyediakan parahunya untuk membawa pedagang dari bangsa lain mengarungi lautan lepas7. Sejak saat itulah Madura mulai dikenal oleh suku bangsa di dunia, yang akhirnya mendorong mereka untuk melakukan kontrak niaga lebih inten dengan bangsa yang berada di ujung timur pulau Jawa itu. Pada sekitar tahun 1017 M, Kegiatan perdagangan luar Negeri dengan Cina dan Negara Asia lainnya pada masa pemerintahan raja Erlangga kembali ramai. Dampaknyapun sangat serius terhadap perkembangan kebudayaan dan peradaban bangsa Madura. Pengalaman yang luas dalam dunia laut menjadi jalan utama bangsa Madura mengenal bangsa-bangsa lain di di dunia. Ketika interaksi semakin inten, bangsa-bangsa lain mulai ramai mendatangi Madura. Puncaknya terjadi sekitar abad 12 sampai abad ke-13 M, ketika Madura-Sumenp dipimpin oleh Aria Wira Raja (1269-1292 M), Sumenep telah menjadi satu pelabuhan penting yang banyak disinggahi perahu-perahu dan kapal-kapal baik dalam maupun luar negeri. Pelabuhan Sumenep saat itu termasuk pelabuhan translit, bagi kapal yang berlayar dari segala jurusan, misalnya India, Cina, dan negeri-negeri lainnya8. Penting untuk dicatat bahwa untuk menuju pelabuhan wilayah Sumenep (saat itu di Kaleanget dan Kertasada (tepatnya di muara sungai Kali Marengan) jalan yang biasa ditempuh adalah selat pulau Poteran dan Giliyang9. Dari arah Selatan selat yang 7 Sejarah Sumenep Hal: 23 8 Sejarah Sumenep Hal: 43, Lihat Juga The Histori Of Madura Hal: 53-56 9 Lihat Sejarah Sumenep Hal: 35
[11/3 19:46] Hoidir: ditempuh adalah selat Poteran sementara kalau dari arah utara, melewati selat Giliyang. Letaknya yang stategis tersebut Giliyang salah satu pulau yang banyak dilihat oleh para saudar ataupu pelaut yang ingin berlabuh di pelabuhan Kalenget dan Kertasada. Interaksi mereka dengan daearah kepulauan Sumeneppun cukup inten, apalagi ketika ada gelombang besar dan cuaca yang tidak bersahabat, mereka lebih memilih singgah dikepulauan daripada melanjutkan perjalanan yang beresiko dan berbahaya itu, sehingga lama-kelamaan mereka tambah akrap dengan suasana yang ada di daratan kepulauan Madura khususnya Sumenep. Dari sekian banyak bangsa asing yang berlayar melintasi selat Gili Iyang dan yang sering singgah dipulau tersebut dan berhasil tercatat dalam ingataan para sesepuh Giliyang adalah suku Bugis dan Mandar. Suku Mandar dengan rahu layarnya yang khas, mampu berlayar dan mengarungi ganasnya lautan sampai mancanegara. Ketika mereka berlayar, mereka seringkali singgah di Giliyang. Menurut Dawiyah bersumber dari Kyai Mahrean 10 dan Kyai Asy’ari 11, suku Mandar dahulu kala menyebut giliyang ‘’Sutawil’’. Dan merekapun menyakini, bahwa Giliyang memiliki tanah yang berkah lagi keramat. Karenanya, setiap orang Mandar makan tiga suapan, maka salah satu suapan tadi ia berikan ketanah Giliyang yang mereka yakini keberkahannya 12 Suku Bugis dan suku Mandar termasuk dua suku di Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai pelaut ulung yang tangguh. Orang Mandar dan Bugis sejak dahulu kala dengan perahu layarnya telah sampai kedaratan mancanegara. Ketangguhan dan keberanian mereka dalam mengarungi lautan lepas dapat disejajarkan dengan bangsa Cina dan Melayu. yang disebut oleh Raffles dalam bukunya ‘’The History of Java’’ sebagai ‘’ the life and soul of the commerce of the country (nyawa dan jiwa dari perdagangan negara). Mereka adalah ‘’..... maritime and commercial, devoted to speculations of gain, animeted by spirit of adventure, and accustomed to distand and hazardous enterprizes’’ (maritim yang komersial, tekun dalam spekulasi keuntungan, digerakkan oleh semangat petualangan, dan terbiasa pada usaha yang jauh dan berbahaya). Tak ketinggalan sastrawan dan ulama’ besar Indonesia, Buya Hamka ikut memuji 10 Kyai Mahrean adalah tokoh Gili Iyang yang berada di di desa Banra’as. Ia termasuk murid dari Kyai Asy’ari panggung. 11 Kyai Asy’ari adalah salah satu Ulama’ Gili Iyang yang gemar berdakwah dari satu daerah-kedaerah lain. Ia merupakan Putra dari Kyai Abdul Hamid Sora Laksana, seorang tokoh, ulama’ dan pejuang pulau Gili Iyang. 12 Kalau kita hubungkan kisah cerita mutawatir tersebut dengan doktrin Animisme dan dinamisme maka akan tampak bagi kita bahwa orang-orang pertama singgah di Giliyang terjadi pada kepercayaan animisme dan dinamisme masih melekat ditengah-tengah masyarakat, kalau fakta ini dapat dibenarkan maka kita dapat mengimpulkan bahwa Giliyang yang kita kenal sekarang telah dikenal sebelum berkembangnya kepercayaan Hindu-Budha di Indonesia
[11/3 19:47] Hoidir: suku Bugis. Ia menyebutnya sebagai kaum petualang yang gagah berani mengadu nasib diatas ganasnya ombak dan gelombang tegas penulis buku ‘’Tenggelamnya kapal Vanderwi’’j itu dalam ‘’Perbendaharaan Lama’’. Riwayat perjalanan suku Bugis, dan Mandar dapat kita ketahui melalui penelusuran sejarah migrasi suku Bugis, Makasar dan Mandar ke kepulauan Madura. Menurut Mien Ahmad Rifa’i dalam ‘’Manusia Madura’’, penduduk yang menempati daerah kepulauan terdiri dari ragam suku bangsa seperti Bugis, Banjar, Cina, Arab, dan Jawa 13. Perpindahan mereka dari daerah asalnya telah dimulai ratusan tahun yang lalu. Proses mingrasi ini dilatar belakangi adanya berbagai macam kebutuhan, seperti kebutuhan dalam sektor prekonomian, sosial-kemasyarakatan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. H. Daeng Sultani menuturkan bahwa orang-orang Bugis Sulawesi pindah dari tanah asalnya kerena beberapa hal, seperti desakan kebutuhan hidup, mencari wilayah pertanahan dan pertanian yang lebih luas, atau mungkin juga wilayah bahari yang dianggap lebih menjanjikan dibanding daerah asalnya. Mereka pindah dengan bergelombang dan berkelompok diantara mereka adalah yang berjumlah 40 orang lalu menyebar satu persatu didaerah Pepulauan. Jejak orang Bugis di kepulauan Sumenep sampai sekarang tetap ada, seperti adanya kampung Bugis di daerah Cellong Kangean. Dari segi bahasa, walaupun mereka telah berbahasa Madura, tetapi dialek dan intonasi tetap memakai intonasi yang sama (Sulawesi) seperti di daerah Bentelan dan Cellong Kengean. Perpindahan masyarakat Bugis dan Makasar itu semakin besar pasca jatuhnya benteng Sumba Opu dan ditandatangi perjanjian Bongaya di tahun 1667 oleh Sultan Hasanudin. Temuan yang menarik yang patut dikaji dan diteliti adalah kuburan-kuburan Cina yang ada dusun Malengen desa Bancamara. Di salah satu pemakaman terluas dan tertua di Giliyang itu ditemukan makam-makam Cina dengan jumlah yang tidak sedikit. Salah satu kuburan yang belum jelas identitasnya, bertarikh tahun 1500-an. Dari temuan tersebut mengisyaratkan, bahwa yang singgah di Giliyang tidak hanya orang Mandar atau Bugis saja, melainkan terdiri berbagai macam ragam suku bangsa, seperti bangsa Cina, Arab atau mungkin juga India. Kalau melihat pada bukti nisan tersebut, sangat mungkin pada masa ini Giliyang telah dihuni dan ditempati, tetapi mungkin dengan jumlah yang sangat terbatas. Sebab, kendatipun dalam batu nisan tersebut tidak tertulis secara jelas, tetapi jenis batu nisan yang memiliki corak dan bentuk yang sama dengan yang bertarikh 1500-an ternyata sukup banyak ditempat tersebut. Di daerah pinggir 13 Lihat Manusia Madura hal: 30
[11/3 19:49] Hoidir: pantai tajungan desa Bancamara, juga terdapat pemakaman yang besar, seperti di dusun Malengan. Di pemakanan yang berada di pinggir pantai berpasir putih itu juga ditemukan beberapa batu nisan yang bentuknya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Malengen. Satu batu nisan lagi mirip dengan kuburan Cina dengan tarikh dan identitas yang belum jelas. Selain itu, berdasarkan keterangan para sesepuh bahwa orang-orang Arab terdiri dari para sayyid seringkali singgah di kepulaun Sumenep, mereka juga sering singgah dipulau Giliyang. Barangkali selain tujuan perniagaan mereka juga bertujuan untuk berdakwah, mensyiarkan agama Islam. Seorang sayyid keturunan Arab bersama rombongannya berlayar dari semenanjung laut Jawa menuju Madura hingga sampai ke Giliyang, menurut Aqil 14 namanya adalah sayyid Sulaiman sekarang kuburannya di kenal sebagai Asta Keramat. Diri pantai dusun raas ada makam seorang sayyid, masyarakat Giliyang menyebutnya dengan Se Toan. Toan adalah terjemahan dari sayyid dalam Bahasa arab. Gelar sayyid sendiri merupakan gelar khusus yang diberikan kepada orang yang memiliki hubungan nasab dengan baginda Nabi. Dalam tradisi masyarakat Madura-Giliyang gelar tersebut biasanya diberikan kepada orang yang dituakan atau orang yang dijadikan sebagai tokoh pembimbing masyarakat. Sedangkan nama aslinya adalah Sayyid Ali. Makamnya sekarang ada di desa Banra’as. Perkembangan masyarakat semakin pesat pasca abad ke-15. Bukti empiris, berupa batu nisan berbentuk seperti tombak dan ukiran kembang telah tersebar di berbagai titik di Giliyang. Di daerah pantai sendiri banyak kuburan- kuburan kuno yang menggunakan batu nisan yang sama, hanya kerena tidak terawat akhirnya banyak yang di telan ombak dan badai, Seperti daerah Leggun, Raas, Benassem, Melengen, Somor Taman, Coet, Beneteng, dan sejumlah titik lain di Giliyang. Bertolak dari batu nisan pemakaman umum daerah pantai. Diduga kuat, era awal masyarakat Giliyang menetap di pinggiran pantai, pulau oksigen. Mereka berbentuk kelompokkelompok dengan jumlah yang masih sangat terbatas. Tahap awal kehidupan masyarakat Giliyang kuno bergantung pada penghasilan laut dan sebagian dari alam dengan kadar yang masih terbatas. Ini dapat kita lihat dari penghuni pertama pulau tersebut di dominasi oleh mereka yang hidupnya malang melintang dilautan. Suku Bugis dan Mandar begitu juga Bajhu sebagaimana telah disebutkan di awal merupakan masyarakat pelaut yang tangguh yang 14 Yang dimaksud Aqil adalah Raden Muhammad Aqil, masyarakat Giliyang memanggilnya Agung atau Gung Aqil, ia termasuk salah satu sesepuh Giliyang yang berpengaruh serta memiliki kedalaman ilmu Tasawwuf
[11/3 19:50] Hoidir: kehidupannya di daerah rantau khususnya di Madura-Sumenep. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mereka banyak bergantung pada kekayaan laut. Kehidupan masyarakat awal Giliyang cukup terjal dengan berliku. Tantangan baru berupa kebutuhan-kebutuhan hidup yang semakin kompleks mengharuskan mereka untuk berfikir lebih jauh dalam melakukan upaya-upaya yang strategis guna mempertahankan hidupnya. Maka langkah yang mereka lakukan adalah melakukawan perluasan wilayah tempat tinggal, yang mulanya hanya terbatas di pinggiran pantai Giliyang, kemudian mereka perluas hingga sampai kedaratan perbukitan 15. Proses permindahan mereka dari daerah pinggir pantai tampaknya tidak hanya didesak oleh kebutuhan akan tempat tinggal, tetapi kebutuhan-kebutuhan lain seperti kebutuhan akan lahan pertanian, peternakan dan kebutuhan hidup mereka sendiri. Pembabatan Giliyang, Awal Perkembangan Pulau Oksigen Di awal saya telah menyebutkan, bahwa perkenalan bangsa-bangsa asing terhadap Giliyang yang waktu masih belum ditempati orang (untuk berdomisi) telah di mulai ratusan tahun yang lalu. Para sudagar asing dan pelaut yang mengadu nasib diantara ganasnya ombak dan gelombang seringkali melintasi selat Giliyang. Giliyang yang oleh orang Mandar disebut sutawil mulai dikenal orang timur (masyarakat Sulawesi), sebagai pulau yang posisinya tegak lurus dengan garis katulistiwa (malang eare). Tanahnya mengandung berkah, keramat serta angker. Melalui mereka, para saudagar dan pelaut Bugis, Mandar, Makasar, Baju dari Sulawesi Selatan, serta para pengembara dari Pulau Binongko, Sulawesi Tenggara. Pulau yang ada di sebelah timur kecamatan dungkek itu, mulai akrap dalam pembicaraan mereka. Mungkin karena sering disinggung dan di bicarakan tentang adanya pulau berkah dan keramat tersebut oleh mereka yang pernah singgah di Giliyang, membuat mereka tergugah untuk segara sampai di pulau yang kelak memiliki kadar oksigen tertinggi di dunia itu. Sekitar abad ke 12 sampai abad 14, Giliyang hanya di jadikan sebagai tempat singgah mereka sedang melakukan perniagaan melalui jalur laut di daerah Madura. Memang tujuan mereka adalah hanya singgah dan berlabuh di daratan pulau Giliyang apabila terjadi gelombang besar yang tidak memungkin untuk melanjutkan perjalanan. Ini menjadi awal perkenalan mereka terhadap Giliyang sekaligus menjadikan pulau tersebut, dikenal oleh Masyarakat pelaut Nusantara. Penting untuk dicatat bahwa abad ke 12 sampai abad ke 14 belum ada orang yang 15 Masyarakat Giliyang menyebut perbukitan itu sama dengan Gunung dalam pemahaman banyak orang
[11/3 19:51] Hoidir: secara serius menggarap Giliyang untuk dijadikan sebagai pemikiman penduduk. Baru sekitar abad ke 15 mulai pembukaan lahan sebagai wahana tempat tinggal nenek moyang masyarakat Giliyang. Bukti-bukti empiris berupa batu nisan bertarih 15 di dusun Benmalengan menjadi salah satu bukti bahwa proses pembabatan Giliyang berjalan dengan rentan waktu yang cukup lama. Proses pembatatan Giliyang itu tidak mulus, banyak tantangan-tantangan yang harsu dihadapi oleh mereka, para insprirator pembabat Giliyang. Kondisi geografis alamnya yan belumnya banyak terjamah manusia menjadi tantangan tersendiri bagi mereka. proses yang rumit itu Namun dari sekian dari tokoh-tokoh yang dikenal sebagai pembabat Giliyang terbatas pada tiga tokoh saja. Tiga tokoh tersebut adalah Daeng Kareng Masalle, Jhu’ sanga’ , dan Jhu’ Tarona ( Andang Taruna). Ke tiga tokoh tersebut berasal dari latar belakang yang berbeda. Menurut cerita tutur yang dianggap valid, jhu’ sanga’ sendiri berasal dari barat ( mungkin dari Sumenep). Ia datang ke Giliyang dengan naik sebatang kayu besar. Ia membawa gentong ( Madura: pelteng) , lenggis (Madura: Rajheng), dekko semacam Lesung. Alat-alat yang di ia bawa itu kemudian dijadikan sebagai sarana untuk membabat hutan belantara Giliyang yang penuh dengan misteri dan angker itu. tidak ada catatan yang pasti pada tahun berapa Jhu’ Sanga’ datang untuk pembabat Giliyang. Tetapi, dari alat-alat tradisional itu kita dapat memahaminya bahwa zaman di mana Ju’ sanga’ membuka jalan pembabatan Giliyang, termasuk zaman dimana teknologi dan peralatan yang mapan belum lahir. Dari pembatan yang digagas oleh jhu’ sanga’ ini, terbentuklah satu pemukiman kecil di Giliyang dan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Tokoh kedua yaitu Ju’ Tarona (Andang Taruna) yang dikenal masyarakat adalah berasal dari pulau Binongko (sekarang termasuk kebupaten Wakatobi) Sulawesi Tenggara. Semenjak berada di tanah kelahirannya (baca : pulau Binongko) Ju’ Tarona sering berfikir untuk bisa sampai ke pulau yang menempati posisi tegak lurus dengan garis Katulis tiwa ( Madura: malang Eare). Rasa ingin tahu akan terhadap pulau keramat itu terus bergejolak dalam hatinya. Sangat mungkin rasa perasaan yang terlukis dialam batinnya dibentuk oleh informasi terus bergulir tentang adanya pulau yang unik di kepualauan Madura timur. Setelah melalui perjuangan yang cukup terjal dari daerah asalnya, akhirnya ia sampai di tempat yang menjadi berbincangan para pengembara waktu itu. Datang ke Giliyang bersama dua orang lainnya, yang
[11/3 19:52] Hoidir: satu adalah mendiang istrinya dan satu lagi sosok yang tak dikenal 16. Disusul adiknya Jejhep Prana, dan dibantu para pengikut dan kerabatnya yang datang dari pulau Binongko. Dan tidak absen pula, murid Jhu’ Tarona yang awalnya berasal dari orang-orang yang gila yang ia obati, ikut serta membantu sang guru dalam menjalankan misi pembabatan tersebut. M isi Ju’ Tarona dalam membabat Giliyang tidak sampai selesai. Kerena tiga tahun setelah proses pembabatan berjalan, Jhu’ Taronapun akhirnya wafat. Makamnya sekarang ada di Buchel Giliyang Banra’as. Tokoh ketiga pembabat Giliyang adalah Daeng Karaeng Masalle, yang lebih akrap disapa Datu’ Daeng. Daeng Masalle adalah seorang ulama’ yang masih memiliki pertalian darah dengan kasultanan Goa-Tallo dan masih termasuk keponakan dari Sultan Alauddin. Latar belakang kehijrahan Karaeng Masalle ke Giliyang, diawali oleh adanya sebuah tugas mulya dari ke dua orang tuanya, mengemban dakwah, menyabarkan agama Islam di bumi seberang, serta mencari sebuah pulau yang posisinya tegak lurus dengan garis katulistiwa (Madura: malang eare). Tita mulya itupun ia laksanakan sebuah hati, seraya penuh harap semuga apa yang ia jalani menjadi jalan untuk menggapai ridha Ilahi. Karaeng Masalle datang dua kali ke Giliyang. Kedatangannya yang pertama dalam rangka survei tempat, sedangkan yang kedua kalinya bertujuan untuk berdomisili bersama keluarganya di Giliyang. Dalam proses pembabatan Giliyang Karaeng Masalle mendapat dukungan penuh dari Adipati Sumenep. Dalam proses pembabatan tersebut , Karaeng Masalle banyak mendapat bantuan dari Kadipaten Sumenep. Bantuan tersebut, dikirim langsung oleh sang Adipati guna ikut serta membantu menyukseskan pembabatan Giliyang. Kalau sebelumnya hanya terbatas pada beberapa titik saja tetapi pada masa Karaeng Masalle telah digarap secara serius sehingga hasilnyapun sangat maksimal. Upaya maksimalisasi pembabatan pada tahapan berikutnya tidak hanya pada perluasan wilayah tetapi juga pengisian penduduk yang berasal dari berbagai macam tempat dengan latar belakang yang berbeda. Asimilasi penduduk Giliyang melalui perkawinan terus berlangsung dan berkembang dengan cepat.(bersambung). 16 Bagaimana proses an perjalanan Andang Taruna dalam membabat Giliyang, akan diuraikan dalam bab selanjutkan
Sabtu, 11 Maret 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KHAZANAH PITUTUR SESPUH GILIY SEJARAH PERJUANGAN MASYARAKAT GILI IYANG PADA MASA PENJAJAHAN HINDIA BELANDA. Apa kabar Sahabat Pitutur Bai...
-
KHAZANAH PITUTUR SESEPUH GILI Para Pembabat GILI-IYANG Tahukah anda, siapa yang telah berjasa membuka hutan belantara di pulau sere Elang ...
-
NAPAK TILAS PERJUANGAN DAKWAH DAENG KARAENG MASALLE Pulau Sulawesi termasuk salah satu kepulaun yang cukup luas (191.800 km2), lebih luas...
-
KHAZANAH PITUTUR SESEPUH GILI Asal usul Desa Bancamara Kalau sahabat pitutur berkeliling di seluruh daerah Nusantara, dari sabang sampai M...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar