KHAZANAH PITUTUR SESPUH GILIY
SEJARAH PERJUANGAN MASYARAKAT GILI IYANG PADA MASA PENJAJAHAN HINDIA BELANDA.
Apa kabar Sahabat Pitutur
Baik kan..
Hemmmm…
Kali ini sahabat pitutur akan diajak untuk mengenal sejarah perjuangan masyarakat Gili Iyang pada masa pemerintah Hindia Belanda.
Seperti apa sich sejarahnya!!!
Udah pada penasaran nich yaach hehehehe!!!
Awal Pergerakan di Gili Iyang
Tidak banyak cacatan yang dapat mengurai secara utuh sejak kapan tumbuh pergerakan di Gili Iyang. Menurut tradisi lisan masyarakat Gili, pergerakan tu SAHABAT, mulai nampak semenjak kedatangan Kraeng Masalleh yang kemudian hari disebut sebut oleh masyarakat sebagai salah satu pembabat pulau Sere Elang (wuihh pulau apa tu yach hehehe).
Ada tiga cacatan penting yang berkaitan dengan sejarah pergerakan di Gili Iyang. Pertama sejarah pergerakan masyarakat Gili Iyang malawan Lanon dan Jhu’ur. Kedua sejarah pergerakan pada masa pemerintahan VOC sampai kerajaan Protestan Hindia Belanda. Dan keempat sejarah pergerakan pada masa pemerintah Sinto Jepang. Hemmm ternyata sejarah pergerakan di Gili Iyang panjang dan berliku juga yachhh sahabat.
Kalau gitu kapan yach dimulai !!!
Seperti yang telah disebutkan perlawanan Karaeng Masalleh tercatat sebagai salah seorang tokoh yang amt getol terhadap kekejaman imprealis barat. Gerakan ini, termasuk gerakan yang berumur panjang sahabat. Sebab gerakan tersebut terus berlanjut dari generasi-kegenerasi, yaitu mulai abad ke-16 sampai dengan kemerdekaan Republik Indonesia.1945. Perlawanan yang sangat dasyat itu sahabat, tercatat dalam sejarah dan ingatan masyarakat Gili iyang.
Nah yang manarik untuk dikaji, pemberontaan Karaeng Masalleh terhadap imprelisme barat yang saat itu diwakili oleh VOC sampai dengan berdirinya kerajaan Hindia Belanda tahun. Padahal di satu sisi antara kerajaan Sumenep dengan VOC-Kerajaan Hindia Belanda sangatlah dekat sahabat pitutur. Apalagi penghujung abad XVII wilayah Sumenep-Pamekasan resmi merada di bawah VOC. Kendatipun Kerajaan Sumenep diberi kebebasan untuk mengelola kerajaan secara otonom (baca: pemerintahan tidak langsung), tetapi VOC melalui kebijakan dan kontrak politiknya memang otoritas dibalik layar terhadap kebijakan pemerintah Sumenep. Ini dapat dibaca dari kontrak yang disepakati dengan kompeni tertulis sebagai berikut:
Menjamin bahwa tidak ada suatu peristiwa di Sumenep yang mengganggu kegiatan perdagangan di kepulaun Indonesia.
Rute perdagangan ke Maluku melalui sepanjang pantai utara dan selatan pulau ini, harus di lindungi.
Mengumpulkan barang-barang yang secara ekonomis penting dari daerah itu dalam bentuk upeti.
Tiga pokok diatas, jelas memaksa pemerintah Sumenep untuk tunduk pada VOC dalam bidang ekonomi, politik dan kekuasaan. Ragen (raja) Sumenep menjadi tidak berdaya di bawah cengkraman kekuasaan VOC, kondisi ini, bagi Ragen (raja) Sumenep menjadi serta delematis. Memberontak terhadap VOC jelas akan menimbulkan persoalan yang sangat serius, iapun harus berhadapan dengan dua cengkraman raksasa sekaligus. VOC dan Mataram. Tiada pilihan lain, kecuali menuruti apa yang tertulis dan termaktub dalam perjanjian.
Politik hegemoni kaum penjajah ini, tidak hanya menimbulkan kerugian bagi kerajaan tetapi rakyatlah yang banyak menjadi korban. Mereka harus menuruti apa yang dikehendaki oleh VOC, berupa menyerahkan kontengen yang sangat memberatkan dan menyengsarakan. Pasalnya pemberian upeti yang disebut kontengen tidak hanya berupa hasil bumi sahabat, melainkan berupa kontingen hidup yang kemudian dinamakan ‘’Barisan ‘’ yaitu semacam wajib meliter yang harus dikenakan kepada petani jika VOC membutuhkan bantuan tentara ( pasukan perang) wihhh ngeri banget ya sahabat. Meletuslah gerakan perlawan buruh Tani dan Nelayan melawan pemerintah setempat. Orang-orang Makasar, Bugis, dan Madura yang tinggal di pulau-pulau Kangean, Sepudi termasuk juga Giliyang yang saat itu di motori oleh Karaeng Masalleh mengadakan perlawanan yang sangat dasyat. Dari pulau-pulau ini kapal-kapal Kompeni yang berlayar ke Maluku sering dirampas dan tempat-tempat lain di pantai Sumenep diserang. Disamping itu, ada motif lain, membangkitkan semangat perlawanan Karaeng Masalleh, yaitu adanya Politik kaum kafirin yang mempunyai misi yang amat jahat, memadamkan cahaya Islam di bumi Nusantara. Sebagai seorang pemimpin ummat, Karaeng Masalleh menangkap realitas yang ada di sekitarnya sebagai bentuk alarm, tanda bahaya. Peta politik kolonial ternyata tidak hanya menginginkan keuntungan materi, melainkan juga keuntungan dalam menjalankan misi suci ( mission secre) mereka, yaitu mengkristenkan penduduk pribumi. Strategi politik kristenisasi ini, diungkapkan oleh J.P.G. Westhoff.
‘’ Menurut pendapat kami untuk memiliki jajahan-jajahan kita, sebagian besar di tentukan oleh keberhasilan pengkristenan rakyat yang sebagian besar sebelum beragama atau yang telah beragama islam.’’
Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, dalam bukunya,’’ Sejarah Perkebunan Di Indonesia Kajian Ekonomi,’’ ada tiga prinsip dasar kolonialisme barat yaitu dominasi, eksploitasi, diskriminasi, dan dependensi. Prinsip dominasi timbul dari proses ekspansi kekuasaan imprealisme kolonialisme suatu bangsa ke bangsa yang lain. Berpangkal pada doktrin pengejaran (glory), kekayaan (gold) dan penyebaran ajaran baru penguasa (gospel), gerakan kolonialisme barat (eropa) pada tahap awal telah melancarkan kegiatan ekspansi kekuasaan teritorial di dunia baru, untuk membangun kekuasaan kolonial. Karaeng Masalleh mengerti betul, sepak terjang Kolonialisme Barat. Gerakan-gerakan yang dilancarkan penjajah barat di berbagai wilayah di Nusantara selalu melakukan upaya nista, yakni mematahkan gerakan pendidikan yang berupaya mencerdaskan anak bangsa atau umat Islam oleh ulama’. Dari berbagai macam kebijakan politik penjajah, dapat dibaca melalui mengkondisian pribumi sebagai bangsa terjajah tetaplah bodoh. Dengan target hilangnya kesadaran sebagai bangsa yang miskin dan bodoh serta terjajah menjadi merasa tidak perlu melakukan perlawanan terhadap kebodohannya menjadikan penderitanya, tidak menyadari bahwa kemiskinan dan kebodohannya sebagai produk stategi penjajah, the real truth is that the Ducth desired and still desire to establish their suporiority on a basis of native iqnorance’’ tutur Bousquet dalam, ‘’A French View of the Nederlends Indies’’.
Maka langkah yang diambil oleh Karaeng Masalleh di Gili Iyang dalam menghadapi Imprealisme barat cukup jitu. Tantangan yang dalam menghadapi penjajah menurutnya adalah kebodohon, kejahilan masyarakat akan dimanfaatkan oleh penjajah untuk menipu, mengeksploitasi mereka. Kerena itu, jihad dengan ilmu dan intelektual harus digalakkan selain jihad dalam arti qital (perang fisik). Dapatkah kita lihat bagaimana bentuk perjuangannya yang begetu membara dalam mendidik ummat. Seakan tiada kata henti baginya untuk menjadikan ummat paham terhadap agama, sadar akan tanggungjawabnya sebagai seorang manusia (al-insan), memiliki kesadaran sebagai seorang hamba ( mengabdi, beribadah dengan ikhlas kepada-Nya), juga sebagai makhluk sosial yang berarti mempunyai tanggungjawab jama’i (sosial) untuk membela dan memperjuangkan kemakmuran dan keadilan terhadap kemanusiaan. Mengajarkan tafsir, fiqih, hadist, dan cabang ilmu agama lainnya adalah pondasi yang di bangun oleh Karaeng Masalleh agar ummat tidak mudah terpedaya oleh politik-picik kaum penjajah. Hingga terbangun kesadaran bersama untuk melawan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang di plopori oleh penjajah barat.
Setelah Kraeng Masalle wafat, perjuangan selanjutnya diemban oleh para tokoh dan ulama’ di Gili Iyang. Termasuk diantara tokoh yang getol berjuang melawan Imprealis barat adalah Kyai Muhammad Husein (Daeng Sora Difa), Kyai Kyai Konyong Baneteng, Kyai Abdul Hamid Sora Laksana dll. Sebelum kedatangan Jepang tahun 1942 M. Sudah banyak orang-orang Belanda yang datang ke Gili Iyang. Kedatangan mereka memiliki tujuan dan maksud tertentu yang terselubung dapat dicaba oleh para ulama’ Gili Iyang sebagai alarm tanda bahaya bagi masyarakat Gili Iyang. Pertempuranpun tidak dapat dihindari. Dalam pertempuran tersebut banyak menelan korban dari kedua belah pihak. Pasukan Belanda yang tewas, mayatnya banyak yang dipanggal lalu dibuang ke laut. Menurut persaksian masyarakat Gili Iyang. Mayat-mayat tersebut banyak yang terdampar di Gili Iyang dengan kepala terpisah dari Badan. Kepada-kepada mayat tersebut ditusuk dengan bambu dengan pandangan yang sangat mengerikan. Tidak kurang dari 9 hingga puluan mayat Belanda setiap harinya yang terdampar di Gili Iyang dengan kondisi yang mulai membusuk.
Menurut persaksikan Abdu (makna Mahrumo), pertempuran yang terjadi saat itu cukup sengit. Orang-orang Komedi membabat habis laki-laki dan perempuan kaum kolonial yang saat itu telah banyak membunuh ulama’ dan santri. Alasan mereka membunuh kaum kolonial karena perbuatan mereka yang telah menyiksa rakyat, membunuh para ulama’ serta mewariskan budaya kolonialisme yang sangat membahayakan bagi kelangsungan masyarakat Nusantara. Perjuangan melawan kekejaman Belanda terus berlangsung hingga bangsa tersebut terusir dari Nusantara di tahun 1942 M.
Nah begitulah sejarah seingkat perjuangan ulama’ dan masyarakat Gili Iyang sahabat pitutur. Semuga kita bisa meneladani semangat perjuangan mereka. amin
Rabu, 31 Mei 2017
Senin, 03 April 2017
KHAZANAH PITUTUR SESEPUH GILI
Apa kabar sahabat pitutur semua, baik kan!!!
So pasti.!!!
Kali ini redaksi pitutur akan menyuguhkan satu informasi penting seputar tempat atawa situs bersejarah di Gili Iyang....
Kira-kira situs apa yaa yang akan redaksi pitutur sajikan...
SUMUR
Sumur merupakan salah satu tempat/situs bersejarah di Gili Iyang. Kok bisa begitu? Ya kerena secara historis keberadaan sumur tempo dulu sangat dibutuhkan oleh masyarakat, bukan karena sumurnya sahabat, tapi karena air yang dalam sumur tersebut hehehe. Apatahlagi untuk mendapatkan air minum saat itu sangaaat sulit, masyarakat Gili iyang harus bekerja keras dengan cara membuat sumber air buatan yang kita kenal sekarang dengan istilah sumur...
Menurut cerita tutur, sebelum teknologi sumur ditemukan, untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat Gili Iyang kuno masih bergantung pada air hujan. Ketika air hujan turun, mereka biasanya menyimpan air tersebut di kelmok/begung mereka sahabat.
So keberadaan sumber air tawar atawa sumur itu merupakan nikmat yang sangat besar yang Allah berikan sertatelah menyisakan kenangan yang tak terlupakan bagi mereka, masyarakat Gili Iyang.
Nah sekarang sahabat akan dikenalkan dengan sumur kuno yang memiliki nilai historis di Gili Iyang sahabat.
Kita mulai dari yang pertama ya..
Sumur Abit
Di lihat dari namanya saja sahabat pitutur dapat menabak bahwa sumur yang berada di dusun Katapang itu termasuk diantara sumur kuno di Gili Iyang. Kok bisa disebut somor abit dimana ceritanya!
Emmm... begini ceritanya sahabat..
Pada zaman dahulu kala ketika Gili Iyang masih belum dihuni banyak orang, datanglah seorang kakek tua-mungkin seorang da’i yang diutus untuk mengajarkan agama Islam di Gili Iyang- ketempat tersebut (sekarang masuk perbatasan desa Banra’as dan Bancamara). Di tempat itu, ia entah karena alasan apa sang kakek itu tiba-tiba menancapkan tongkatnya ke atas tanah, lalu seketika itu juga tanah tersebut memancarkan air yang amat melimpah. Konon katanya, sumber air yang baru memancar itu memberikan manfaat besar kepada penduduk yang ada di Gili Iyang serta burung-burung yang ada di tempat tersebut. Dari sinilah timbul persepsi masyarakat bahwa sumber somor abit itu dibikin oleh burung-burung yang ada ditempat tersebut.
Nah karena pristiwa tersebut sangat lama serta tidak ada yang tahu kapan pristiwa itu terjadi, maka somor itu disebut somor abit yang berarti sumur kuno alis sumur lama, gitu ceritanya sahabat.
Nah yang kedua, Sumur Taman
Tahu somor taman kan...!!!
Sumur taman itu sahabat terletak di desa bancamara tepatnya sebelah kiri jalan menuju pelabuhan Somor taman sekarang. Konon sumur tersebut berasal dari hasil galian segorombolan burung. Wah hebat ya...sekerombolan burung bisa gali sumur!!! HEBATTT
Kalo’ karang masih ada mungkin kita bisa mengundangnya untuk gali sumur-sumur di Gili Iyang sahabat hehehehe.
Sumur tersebut termasuk termasuk diantara sumur bersejarah di Gili Iyang. Iabat pahlawan yang telah menyegarkan dagaha masyarakat Gili Iyang khususnya yang ada di desa Bancamara sahabat hehehe. Konon katanya, meriam dan bedil Kyai Abdul Hamid disimpan di tempat tersebut setelah beliau usai bertempur dengan Lanon.
Somor taman lama tak di pakai, lalau sekitar 9 tahun lalu, sumur yang ada di pesisir pantai itu digali kembali dan airnya dimanfaatkan kembali oleh masyarakat sekitar.
Sumur Bhegung
Sumur Bhegung....
Dimana tempat sumur itu ya...!!!
Sumur bhegung itu sahabat terletak di desa banra’as, sebelah utara masjid baru pelabuhan. Di sebut somor bagung karena alat yang digunakan oleh masyarakat tempo dulu untuk menimba air adalah begung (kulit dalam pohon kelapa alias betok). Sumur tersebut termasuk diantara sumur tertua di Gili Iyang yang masih ada sampai sekarang sahabat. Menurut penuturan masyarakat setempat sumber air sumur itu dapat dijadikan obat untuk menyembuhkan penyakit. Emmmm airnya mengandung apa ya kira-kira, kok bisa menjadi obatnya bagi orang yang sakit!!!
Wallahu’lam (mungkin ini bisa menjadi rekomendasi penelitian untuk menguji kandungan air di sumur tersebut).
Nah begitulah sekilas situs-situs sumur bersejarah di Gili Iyang sahabat pitutur. Ude pada tahu kan!!!
Moga bermanfaat dan menginspirasi
Apa kabar sahabat pitutur semua, baik kan!!!
So pasti.!!!
Kali ini redaksi pitutur akan menyuguhkan satu informasi penting seputar tempat atawa situs bersejarah di Gili Iyang....
Kira-kira situs apa yaa yang akan redaksi pitutur sajikan...
SUMUR
Sumur merupakan salah satu tempat/situs bersejarah di Gili Iyang. Kok bisa begitu? Ya kerena secara historis keberadaan sumur tempo dulu sangat dibutuhkan oleh masyarakat, bukan karena sumurnya sahabat, tapi karena air yang dalam sumur tersebut hehehe. Apatahlagi untuk mendapatkan air minum saat itu sangaaat sulit, masyarakat Gili iyang harus bekerja keras dengan cara membuat sumber air buatan yang kita kenal sekarang dengan istilah sumur...
Menurut cerita tutur, sebelum teknologi sumur ditemukan, untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat Gili Iyang kuno masih bergantung pada air hujan. Ketika air hujan turun, mereka biasanya menyimpan air tersebut di kelmok/begung mereka sahabat.
So keberadaan sumber air tawar atawa sumur itu merupakan nikmat yang sangat besar yang Allah berikan sertatelah menyisakan kenangan yang tak terlupakan bagi mereka, masyarakat Gili Iyang.
Nah sekarang sahabat akan dikenalkan dengan sumur kuno yang memiliki nilai historis di Gili Iyang sahabat.
Kita mulai dari yang pertama ya..
Sumur Abit
Di lihat dari namanya saja sahabat pitutur dapat menabak bahwa sumur yang berada di dusun Katapang itu termasuk diantara sumur kuno di Gili Iyang. Kok bisa disebut somor abit dimana ceritanya!
Emmm... begini ceritanya sahabat..
Pada zaman dahulu kala ketika Gili Iyang masih belum dihuni banyak orang, datanglah seorang kakek tua-mungkin seorang da’i yang diutus untuk mengajarkan agama Islam di Gili Iyang- ketempat tersebut (sekarang masuk perbatasan desa Banra’as dan Bancamara). Di tempat itu, ia entah karena alasan apa sang kakek itu tiba-tiba menancapkan tongkatnya ke atas tanah, lalu seketika itu juga tanah tersebut memancarkan air yang amat melimpah. Konon katanya, sumber air yang baru memancar itu memberikan manfaat besar kepada penduduk yang ada di Gili Iyang serta burung-burung yang ada di tempat tersebut. Dari sinilah timbul persepsi masyarakat bahwa sumber somor abit itu dibikin oleh burung-burung yang ada ditempat tersebut.
Nah karena pristiwa tersebut sangat lama serta tidak ada yang tahu kapan pristiwa itu terjadi, maka somor itu disebut somor abit yang berarti sumur kuno alis sumur lama, gitu ceritanya sahabat.
Nah yang kedua, Sumur Taman
Tahu somor taman kan...!!!
Sumur taman itu sahabat terletak di desa bancamara tepatnya sebelah kiri jalan menuju pelabuhan Somor taman sekarang. Konon sumur tersebut berasal dari hasil galian segorombolan burung. Wah hebat ya...sekerombolan burung bisa gali sumur!!! HEBATTT
Kalo’ karang masih ada mungkin kita bisa mengundangnya untuk gali sumur-sumur di Gili Iyang sahabat hehehehe.
Sumur tersebut termasuk termasuk diantara sumur bersejarah di Gili Iyang. Iabat pahlawan yang telah menyegarkan dagaha masyarakat Gili Iyang khususnya yang ada di desa Bancamara sahabat hehehe. Konon katanya, meriam dan bedil Kyai Abdul Hamid disimpan di tempat tersebut setelah beliau usai bertempur dengan Lanon.
Somor taman lama tak di pakai, lalau sekitar 9 tahun lalu, sumur yang ada di pesisir pantai itu digali kembali dan airnya dimanfaatkan kembali oleh masyarakat sekitar.
Sumur Bhegung
Sumur Bhegung....
Dimana tempat sumur itu ya...!!!
Sumur bhegung itu sahabat terletak di desa banra’as, sebelah utara masjid baru pelabuhan. Di sebut somor bagung karena alat yang digunakan oleh masyarakat tempo dulu untuk menimba air adalah begung (kulit dalam pohon kelapa alias betok). Sumur tersebut termasuk diantara sumur tertua di Gili Iyang yang masih ada sampai sekarang sahabat. Menurut penuturan masyarakat setempat sumber air sumur itu dapat dijadikan obat untuk menyembuhkan penyakit. Emmmm airnya mengandung apa ya kira-kira, kok bisa menjadi obatnya bagi orang yang sakit!!!
Wallahu’lam (mungkin ini bisa menjadi rekomendasi penelitian untuk menguji kandungan air di sumur tersebut).
Nah begitulah sekilas situs-situs sumur bersejarah di Gili Iyang sahabat pitutur. Ude pada tahu kan!!!
Moga bermanfaat dan menginspirasi
Sabtu, 25 Maret 2017
KHAZANAH PITUTUR SESEPUH GILI
Sejarah Pemerintahan di desa Banra’as
Ada yang tahu da’ ya sejarah pemerintahan di desa Banra’as!!! saya yakin sahabat pasti tahu walau mungkin dikit...It is no problem.
So... kali ini redaksi pitutur akan berbagi info bin pengetahuan seputar sejarah singkat pemerintahan desa Banra’as sahabat....
Kepengean tahu....
Simak ulasan berikut ini.
Para Pemimpin di Desa Banra’as
Kepemimpinan di desa Banra’as itu sahabat dimulai pasca Kyai Abd. Syahid, penghujung akhir abad XIX. Berdasarkan perhitungan tahun Kalebun Banra’as dapat diketahui bahwa Kades desa tersebut bermula dari masa penjajahan kerajaan protestan Hindia Belanda, sekitar tahun 1897 M wahh ude lama ya. Pak Limbang tercatat sebagai Kalebun Banra’as pertama. Menurut sepepuh Gili Pak Limbang menjabat sebagai Kalebun dalam rentan waktu yang cukup lama sahabat, 18 tahun. Setelah itu ia diganti Sitrap, beliau menjabat sebagai Lura di desa Banra’as selama 15 tahun yaitu mulai dari tahun 1915-1930 M.
Dua kepemimpinan pertama desa Banra’as, Gili Iyang berada dalam satu masa yang amat rumit bin sulit. Kok bisa!!! Ya sahabat, soalnya di zaman itu pergerakan bin perjuangan masyarakat, ulama’ dan santri Sumenep melawan penindasan dan kekejaman kerajaan Hindia Belanda berkobar dimana-manaa. Di Gili Iyang sendiri pada masa masa kemepimipinan dua tokoh tersebut juga tidak lepas dari kibaran semangat perjuangan dalam mengusir penjajah dari bumi Nusantara sahabat. Para ulama’ dan masyarakat Gili berjuang dengan gigih mengusir kaum kolonial penjajah Hindia Belanda. Implikasinyapun sangat serius, tatanan struktural pemerintahan tidak banyak mendapat sentuhan karena pergerakan masyarakat di Gili Iyang (Bancamara dan Banra’as) kala itu lebih fokus mengusir penjajah Hindia Belanda dari pada menertibkan administrasi pemerintah yang masih dini itu.
Lalu bagaimana selanjutnya. Emmm..selanjutnya pada tahun 1930 M sejarah baru di mulai di Gili Iyang. Waah sejarah baru apa tu ya!!!
Ude pada penasaran kan..
Su’iyah tampil dalam kencah politik di desa Banra’as. Dia itu tercatat sebagai perempuan pertama Gili Iyang yang menjabat sebagai kepada desa di Banr’aas.
Wah ternyata yang jadi Kades tidak hanya yang laki saja ya..
So pasti sahabat. Akan tetapi dibanding dengan preode sebelumnya, masa kepemimpinan Su’iyah terbilang sangat singkat. Ia hanya menjabat sebagai Kelabun Banra’as kurang lebih tiga tahun yaitu mulai tahun 1930-1933 M. Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Musa alias Rama Seliyati, beliau menjabat kepala desa selama 18 tahun, 1933-1951. Preode kepemimpinan rama Seleati berada dalam masa peralihan dua penjajah asing yaitu kerajaan Hindia Belanda-yang telah menguasai Madura-Sumenep semenjak tahun 1702 M sampai dengan tahun 1942 masa penjajahan Sinto Jepang. Tantangan-tantangan yang muncul pada masa kepemimpinan rama Seleati ini tidak kalah rumit lho dengan problem yang muncul pada preode sebelumnya. Kalau masa sebelumnya tantanganya yang paling berat adalah eksploitasi penduduk serta kristenisasi terselubung yang dihembuskan oleh pemerintah Hindia Belanda, maka pada masa kepemimpinan Musa (rama Seleati) dua tantangan sekaligus berkumpul menjadi satu yaitu penjajahan Belanda dan Sinto Jepang. Rumosa sebuah politik eksploitatif pemerintah Jepang pada masa kepemimpinannya benar-benar telah menyiksa masyarakat Gili Iyang. Dan para pemimpinan Gili Iyang (Banra’as dan Bancamara) kala itu harus bekerja keras guna mengambalikan stabilitas masyarakat yang lagi kacau.
Rama Seleati tercatat sebagai Kalibun dengan tiga peralihan kekuasaan, pertama kerajaan Hindia Belanda, lalu Jepang dan terakhir pasca kemerdekaan yang kita kenal sekarang dengan istilah zaman orde lama.
Setelah rama Seleati turun dari jabatannya sebagai Kades Banra’as, Rama Kasdu naik menjabat sebagai Kades di desa tersebut selama rentan waktu yang cukup lama, 17 tahun (1951 – 1968).
Lalu pada tahun 1968 Rama Kasdu diganti Bukaha’,/ Pak Alki. Ia menjabat kepala desa selama 22 th 1968 – 1990 tepatnya pada masa pemerintahan orde baru (era Suharto). Setelah 22 tahun menjabat sebagai kepada desa, Rakso Jakfar naik menjadi Kalibun Banra’as yang ke-9. Ia menjabat kepala desa selama 8 tahun, mulai 1990 – 1998 M.
Sejak pemerintahan Rakso jakfat struktur organisasi desa mengalami perubahan, kepala desa di bantu oleh :
Carik
Modin
Apel
Setelah 8 tahun menjabar Kades, pada tahunn 1998 ia diganti oleh H Masdawi. ia menjabat kepala desa selama 15 tahun, 1998 – 2013 H. Pada tahun 1998 struktur organisasi desa mengalami perubahan, kalau pada masa pemerintahan Rakso Jakfar kepada desa dibantu oleh Carik, Modin dan Apel, namun pada masa kepemimpinan H. Masdawi berubah menjadi Kepala desa di bantu:
Sekretaris desa
5 kaur (kaur keungan, kaur umum, kaur kesra, kaur pembangunan )
6 kepala dusun
Selain perlengkapan-perlengkapan diatas pada akhir tahun 2005 terbentuklah RT untuk membantu kepala Dusun di lingkungan Rumah Tangga yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah penduduk yang berjumlah 33 RT.
Pasca kepemimpinan H. Masdawi, pada tahun 2013 kemimpinan selanjutnya di teruskan oleh Mathor, SH (Adik kandung dari H. Masdawi). Ia menjabat kepala desa Banra’as mulai dari tahun 2013 yang lalu hingga sekarang.
Nah begitulah sejarah singkat pemerintahan di desa Banra’as sahabat pitutur ude pada tahu kan...
SEMUGA BERMANFAAT DAN MENGINSPIRASI
Sejarah Pemerintahan di desa Banra’as
Ada yang tahu da’ ya sejarah pemerintahan di desa Banra’as!!! saya yakin sahabat pasti tahu walau mungkin dikit...It is no problem.
So... kali ini redaksi pitutur akan berbagi info bin pengetahuan seputar sejarah singkat pemerintahan desa Banra’as sahabat....
Kepengean tahu....
Simak ulasan berikut ini.
Para Pemimpin di Desa Banra’as
Kepemimpinan di desa Banra’as itu sahabat dimulai pasca Kyai Abd. Syahid, penghujung akhir abad XIX. Berdasarkan perhitungan tahun Kalebun Banra’as dapat diketahui bahwa Kades desa tersebut bermula dari masa penjajahan kerajaan protestan Hindia Belanda, sekitar tahun 1897 M wahh ude lama ya. Pak Limbang tercatat sebagai Kalebun Banra’as pertama. Menurut sepepuh Gili Pak Limbang menjabat sebagai Kalebun dalam rentan waktu yang cukup lama sahabat, 18 tahun. Setelah itu ia diganti Sitrap, beliau menjabat sebagai Lura di desa Banra’as selama 15 tahun yaitu mulai dari tahun 1915-1930 M.
Dua kepemimpinan pertama desa Banra’as, Gili Iyang berada dalam satu masa yang amat rumit bin sulit. Kok bisa!!! Ya sahabat, soalnya di zaman itu pergerakan bin perjuangan masyarakat, ulama’ dan santri Sumenep melawan penindasan dan kekejaman kerajaan Hindia Belanda berkobar dimana-manaa. Di Gili Iyang sendiri pada masa masa kemepimipinan dua tokoh tersebut juga tidak lepas dari kibaran semangat perjuangan dalam mengusir penjajah dari bumi Nusantara sahabat. Para ulama’ dan masyarakat Gili berjuang dengan gigih mengusir kaum kolonial penjajah Hindia Belanda. Implikasinyapun sangat serius, tatanan struktural pemerintahan tidak banyak mendapat sentuhan karena pergerakan masyarakat di Gili Iyang (Bancamara dan Banra’as) kala itu lebih fokus mengusir penjajah Hindia Belanda dari pada menertibkan administrasi pemerintah yang masih dini itu.
Lalu bagaimana selanjutnya. Emmm..selanjutnya pada tahun 1930 M sejarah baru di mulai di Gili Iyang. Waah sejarah baru apa tu ya!!!
Ude pada penasaran kan..
Su’iyah tampil dalam kencah politik di desa Banra’as. Dia itu tercatat sebagai perempuan pertama Gili Iyang yang menjabat sebagai kepada desa di Banr’aas.
Wah ternyata yang jadi Kades tidak hanya yang laki saja ya..
So pasti sahabat. Akan tetapi dibanding dengan preode sebelumnya, masa kepemimpinan Su’iyah terbilang sangat singkat. Ia hanya menjabat sebagai Kelabun Banra’as kurang lebih tiga tahun yaitu mulai tahun 1930-1933 M. Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Musa alias Rama Seliyati, beliau menjabat kepala desa selama 18 tahun, 1933-1951. Preode kepemimpinan rama Seleati berada dalam masa peralihan dua penjajah asing yaitu kerajaan Hindia Belanda-yang telah menguasai Madura-Sumenep semenjak tahun 1702 M sampai dengan tahun 1942 masa penjajahan Sinto Jepang. Tantangan-tantangan yang muncul pada masa kepemimpinan rama Seleati ini tidak kalah rumit lho dengan problem yang muncul pada preode sebelumnya. Kalau masa sebelumnya tantanganya yang paling berat adalah eksploitasi penduduk serta kristenisasi terselubung yang dihembuskan oleh pemerintah Hindia Belanda, maka pada masa kepemimpinan Musa (rama Seleati) dua tantangan sekaligus berkumpul menjadi satu yaitu penjajahan Belanda dan Sinto Jepang. Rumosa sebuah politik eksploitatif pemerintah Jepang pada masa kepemimpinannya benar-benar telah menyiksa masyarakat Gili Iyang. Dan para pemimpinan Gili Iyang (Banra’as dan Bancamara) kala itu harus bekerja keras guna mengambalikan stabilitas masyarakat yang lagi kacau.
Rama Seleati tercatat sebagai Kalibun dengan tiga peralihan kekuasaan, pertama kerajaan Hindia Belanda, lalu Jepang dan terakhir pasca kemerdekaan yang kita kenal sekarang dengan istilah zaman orde lama.
Setelah rama Seleati turun dari jabatannya sebagai Kades Banra’as, Rama Kasdu naik menjabat sebagai Kades di desa tersebut selama rentan waktu yang cukup lama, 17 tahun (1951 – 1968).
Lalu pada tahun 1968 Rama Kasdu diganti Bukaha’,/ Pak Alki. Ia menjabat kepala desa selama 22 th 1968 – 1990 tepatnya pada masa pemerintahan orde baru (era Suharto). Setelah 22 tahun menjabat sebagai kepada desa, Rakso Jakfar naik menjadi Kalibun Banra’as yang ke-9. Ia menjabat kepala desa selama 8 tahun, mulai 1990 – 1998 M.
Sejak pemerintahan Rakso jakfat struktur organisasi desa mengalami perubahan, kepala desa di bantu oleh :
Carik
Modin
Apel
Setelah 8 tahun menjabar Kades, pada tahunn 1998 ia diganti oleh H Masdawi. ia menjabat kepala desa selama 15 tahun, 1998 – 2013 H. Pada tahun 1998 struktur organisasi desa mengalami perubahan, kalau pada masa pemerintahan Rakso Jakfar kepada desa dibantu oleh Carik, Modin dan Apel, namun pada masa kepemimpinan H. Masdawi berubah menjadi Kepala desa di bantu:
Sekretaris desa
5 kaur (kaur keungan, kaur umum, kaur kesra, kaur pembangunan )
6 kepala dusun
Selain perlengkapan-perlengkapan diatas pada akhir tahun 2005 terbentuklah RT untuk membantu kepala Dusun di lingkungan Rumah Tangga yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah penduduk yang berjumlah 33 RT.
Pasca kepemimpinan H. Masdawi, pada tahun 2013 kemimpinan selanjutnya di teruskan oleh Mathor, SH (Adik kandung dari H. Masdawi). Ia menjabat kepala desa Banra’as mulai dari tahun 2013 yang lalu hingga sekarang.
Nah begitulah sejarah singkat pemerintahan di desa Banra’as sahabat pitutur ude pada tahu kan...
SEMUGA BERMANFAAT DAN MENGINSPIRASI
Minggu, 19 Maret 2017
NAPAK TILAS PERJUANGAN DAKWAH DAENG KARAENG MASALLE
Pulau Sulawesi termasuk salah satu kepulaun yang cukup luas (191.800 km2), lebih luas dari gabungan Pulau Jawa dan Madura ( 128.000 km2), serta merupakan salah satu pulau tersebar di Nunsatara. Sulawesi Selatan adalah satu dari 5 Propensi lainnya (Sulawesi Utara, Sulawesi tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Propensi Gorontalo). Suku Bugis, Mandar, T oraja dan Makasar merupakan empat kelompok etnis terbesar di Sulawesi Selatan. Suku Mandar (dengan populasi sekitar 400.000) bermukim di pantai barat laut, suku Toraja (sekitar 600.000) umumnya mendiami pegunungan di daerah utara, meskupun saat ini sudah banyak yang tinggal di dataran Luwu’. Orang Bugis (dengan populasi lebih dari tiga juta di Sulawesi Selatan dan mungkin sekitar 600.0000 di perantauan) menghuni hampir seluruh dataran dan perbukitan sebelah selatan, dan sebagian kecil tinggal di dataran Luwu’ di daerah sekitar pantai dan sebelah selatan Palopo. Sedangkan orang Makasar (dengan populasi sekitar dua juta) menetap diujung selatan semenanjung, tersebar di sepanjang pantai maupun pegunungan. Keempat suku tersebut memiliki bahasa yang berbeda, dan setiap suku terbagi lagu menjadi sub-etnis dengan dialek bahasa berbeda. Pada permulaan abad ke XVI, terutama setelah kejatuhan kerajaan Malaka ke tangan Portugis (1511), kerajaan-kerjaan Bugis-Makasar di Sulawesi Selatan, khususnya Goa-Tallo telah membuka hubungan dagang dengan berbagai daerah di kepulauan Nusantara.Perahu-perahu Bugis-Makasar telah mengunjungi kerajaan-kerajaan Melayu dibagian Barat dan kerajaan-kerajaan Maluku di bagian Timur. Puncaknya terjadi pada abad 16 pelabuhan Goa telah menjadi pelabuhan penting di daerah Timur Nusantara. Bandar-bandar Goa ramai di kunjungi berbagai saudagar belahan dunia mulai dari dataran Eropa, Cina, Arab dan India. Awal abad-16 tercatat sebagai masa yang cukup penting dalam perjalanan sejarah di Sulawesi Selatan, pada masalah inilah dakwah Islam tersebar luas, kerajaan Bone (bugis) Goa-Tallo (Makasar) dan kerajaan-kerajaan lainnya.
Perkembangan dakwah Islam ini selain menambah umat Islam secara kuantitatif juga menjadi cikal bakal tumbuhnya bibit ulama’ di daerah Sulawesi Selatan. Tumbuh-kembangnya Islam di Nusantara timur tidak pernah lepas dari peran para da’i serta para Sultan yang ada ditempat tersebut. Adalah Sultan Alauddin yang menjadi peran utama dalam proses Islamisasi di kesultanan Goa-Tallo. Muncul tokoh-tokoh penting, Ulama’ dan pejuang yang dikenal dan dikenang sampai sekarang, seperti Syekh Yusuf al-Mangkasari Taj al-Khalwati, Sultan Alauddin sendiri, Sultan Malakussaid,Sultan Hasanuddin, Karaeng Galesung dan ulama’ serta pejuang-pejuang lainnya dikota Mammiri. Muncul sosok ulama’ visioner-profetik Ia adalah Daeng Karaeng Masalle.Tokoh penting yang memberikan pengaruh besar dalam perkembangan dakwah Islam di belahan bumi Nusantara. Emmm kepengen tahu seperti apa sepak terjang perjuangan dakwahnya….
Tari nafas, keluarkan pelan-pelann end simaklah ulasan berikut ini.
Lahirnya Sang Pencerah
Kareng Masalle dilahirkan sekitar penghujung abad ke-XVI di tengah keluarga bangsawan kerajaan Goa-Tallo. Ia adalah putra sulung dari Karaeng Pattungan seorang kharismatik kota Daeng. Dari silisilah nasab yang tercatat dalam Lontara Goa menyebutkan bahwa Karaeng Masalle memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat dekat dengan keluarga kerajaan Goa-Tallo. Ibundanya, I Bisu Malibba Karaeng Papelleng, adalah kakak dari Sultan Alauddin. Ia termasuk putri ketiga dari Karaeng Bonto Langkasa i Maggorai Daeng Mammeta Tunijallo Raja Goa ke XII 1565-1590 M, bersama dengan salah seorang istrinya, raja Tallo V Karaeng Bainiya I Sabo Daeng Niassing. Berdasarkan sumber ini (baca: Lontara) Karaeng Masalle masih termasuk keponakan dari Sultan Alauddin. Selain itu, Karaeng Masalle juga mempunyai adik perempuan bernama I Tama Lili. Adiknya yang satu ini kelak menjadi salah satu tokoh perempuan berpengaruh di Sulawesi Selatan. Demikian menurut catatan yang termaktub dalam lontara Goa Tallo ni Parallaka ri Balanda 1883 M.
Sementara menurut satu sumber lain menyabutkan dengan keterangan yang berbeda. Menurut sumber tersebut Karaeng Masalleh adalah keturunan Sultan Putay, bangsawan kharismatik kota Mammiri. Ia mempunyai tiga saudara, yaitu Sora Pajudhe, Sora Laksana, Sora Saccadiningrat. Namun dari sumber yang kedua ini tidak mempunyai bukti empiris yang menyakinkan, sumber ini berasal dari cerita tutur yang masih dikhilafkan kesahihannya. Menurut penulis kedua sumber tadi sebenarnya tidaklah bertentangan. Kedua-duanya bisa saja sama-sama benar. Sebab, Daeng Putay seperti yang terdapat dalam cerita tutur, tidak disebutkan secara tegas. Apakah nama asli atau sekedar gelar kebangsawan yang disematkan padanya. Sehigga timbullah berbagai persepsi yang berbeda diantara ahli tutur. Bisa saja yang dimaksud Daeng Putay adalah karaeng Pattunga yang telah mengalami perubahan menjadi nama panggilan dengan perubahan dialek. Jelas persoalan semacam ini tidak bisa ditentukan secara pasti, butuh penelitian lebih lanjut untuk menemukan kenyataan obyektif sesuai dengan kenyataan yang ada. Mengenai tiga orang yang bersama Karaeng Masalle dari Makasar seperti yang disebutkan diatas, kemungkinan besar bukan saudara Kareng Masalleh tetapi adalah kawan atau mungkin juga kerabat dekat dari Karaeng Masalleh yang ikut serta dalam perjalanannya dalam menyebarkan agama Islam kepulau seberang. Penting untuk dicatat bahwa di Sulawesi selatan terdapat empat etnis besar di Sulawesi selatan, Makasar, Mandar, Bugis, Toraja.
Masing-masing suku tersebut memiliki dialek khas dalam bahasa mereka. Seperti suku-suku lainnya, mereka memberikan penyebutan yang khusus untuk setiap orang yang memiliki kedudukan tinggi ditengah-tengah masyarakat. Suku Makasar kita dikenalkan istilah Daeng dan Karaeng untuk keturunan bangsawan dan taat beragama serta memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dibanding dengan yang lain. Karaeng pada zaman dulu sangat dihormati dan disegani sehingga tidak semua orang bisa menerima gelar Karaeng, karena status ini secara kultural hanya bisa didapatkan oleh keluarga bangsawan atau mereka yang memiliki integritas dan kredibilitas keilmuan yang memadai. Di Bugis untuk menyebut para Raja dan keturunan bangsawan kita kenal istilah Andi. Begitu juga dengan suku Mandar dan Toraja. Sebutan Karaeng (seperti termaktum dalam lontara) ataupun Daeng (sebutan masyarakat Giliyang) merupakan satu bukti bahwa ia terlahir dari keluarga bangsawan.
Perjalanan Intelektual Karaeng Masalleh
Seperti yang disebutkan diatas, bahwa Karaeng Masalle lahir dan dibesarkan ditengah-tengah keluarga bangsawan kesultanan Goa-Tallo Sulawesi selatan. Kultur dalam yang berkembang dalam keluarga besarnya amatlah mendukung dalam membantuk generasi ideal. Mereka adalah keluarga-keluarga yang gandrung akan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang agama. Tradisi yang berkembang tidak hanya dalam istana tetapi juga rakyat-rakyat Goa. Mereka, Masyarakat Goa-Tallo instens dalam mengkaji dan mendalami ilmu pengetahuan khususnya berkenaan dengan ajaran Islam. Kultur ilmiah dan imaniyah ini mampu menghantarkan kesultanan Goa-Tallo menggapai peradaban gemilang dalam riputasi sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara Timur. Karena itu, untuk memperoleh gambaran utuh tentang pendidikan yang diperoleh Kareng Masalle. Maka kita harus menelusuri sejarah pendidikan Islam yang berkembangd di Sulawesi Selatan.
Para penyelidik sejarah-sejarah mencatat bahwa pendidikan Islamiyah ( at-tarbiyah al-Islamiyah) telah di rintis oleh mereka (mujahid dakwah) pada penghujung abad ke-XVI. Era ini merupakan awal perkembangan pendidikan Islam di Sulawesi Selatan. Pendidikan Islam di kota Daeng tersebut, awalnya banyak diperankan oleh para wirausahawan muslim yang melakukan perniagaan dibandar-bandar pelabuhan. Para saudagar muslim tersebut mulai mengenalkan ajaran Islam melalui jalur niaga laut, dari satu bandar satu kebandar yang lain. Berkat kegigihan, kesabaran dan keistiqomahan para da’i itu, hati masyarakat mulai terbuka untuk menerima Islam, satu persatu diantara mereka masuk Islam secara suka rela. Hingga Islampun berkembang pesat di Sulawesi Selatan. Puncak keberhasilan para da’i ini tampak jelas, tatkala salah seorang rajanya masuk Islam. Tanggal penerimaan resmi Islam ialah malam jumat, 9 jumadil Ula 1014 H atau 22 September 1605 M. Raja yang mula-mula masuk Islam sebagai agamanya pada hari tersebut adalah Raja Tallo yang bernama Manglingkaan Daeng Mannyonri. Disamping sebagai Raja Tallo, manglingkaan merangkap sebagai Tumabbicara buta atau mangkubumi kerajaan Goa. Menyusul sesudah itu, Raja Goa XIV Baginda I Mangngerengi Daeng Manrabbia memeluk Islam, yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Alauddin. Peristiwa ini tercatat sebagai peristiwa besar dalam sejarah kerajaan Goa, Sang Raja merayakannya dengan melaksanakan sholat jumat yang pertama pada tanggal 19 Raja 1016 atau 9 November 1607 yang diselenggarakan di Tallo, perayaan ini sebagai tanda bahwa Islam telah resmi menjadi agama Kerajaan Goa-Tallo.
Menurut Mattulada, Mubaligh yang berjasa mengislamkan seluruh kerajaan ialah Abdul Qadir Khatib tunggal, yang dalam tinta sejarah dikenal dengan sebutan Dato’ Ribandang, berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Dengan masuk Islamnya kedua Raja kerajaan kembar tersebut (Goa-Tallo). Menjadi titik tolak yang sangat menentukan dalam sejarah dakwah Islam di Sulawesi Selatan. Gelombang dakwah ini, terus menggema sampai akhirnya agama Islam menjadi agama kesultanan Goa-Tallo pada paruh akhir abad ke-XVI. Penting untuk dicatat bahwa semenjak awal datangnya Islam masyarakat Islam Sulawesi Selatan, telah berhasil menanamkan pendidikan keluarga yang amat kuat. Mereka mengenalkan ajaran Islam melalui pendidikan dasar yang mereka rintis di internal keluarga. Dari pendidikan ini, ditanamkanlah nilai-nilai Islam, keteguhan mental dan intelektual kepada anak-anak mereka. Basis pendidikan macam ini, sangatlah besar pengaruhnya dalam membentuk karakter-jiwa anak-anak muda di Sulawesi Selatan saat itu.
Iklim pendidikan yang kondusif membantu para generasi muda dalam mengembangkan minat bakat mereka sesuai dengan potensi yang mereka miliki.Wajah Pendidikan yang berkembang saat itu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan kepribadian dan intelektual anak-anak muda Sulawesi Selatan. Amatlah beruntung hidup pada masa itu, dimana para generasi muda dapat mengenyam pendidikan seluas-luasnya. Pemerintah kesultanan Goa memberikan keleluasaan kepada siapa saja untuk belajar ilmu tanpa batas. Berbagai fasilitas diberikan kepada mereka guna menunjang keberhasilan pendidikan umat, kesultanan Goa. Para ulama’ didatangkan dari berbagai wilayah, untuk mengajar, mendidik ruhani dan jasmani generasi muda kesultanan Goa. Sehingga terbentuklah lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai keilmuan dan spiritual.
Karaeng Masalle kecil termasuk diantara anak yang beruntung. Keberuntungan yang pertama Ia dilahirkan dari keluarga bangsawan, dan yang kedua Ia hidup dalam cuaca pendidikan yang mendukung menjadi apa yang ia inginkan. Dan keluarga besarnyapun termasuk orang yang ahli ilmu yang amat cinta kepada ulama’. Dengan demikian dari berbagai sisi ( nasab dan lingkungannya) membantu dirinya untuk mengenyam pendidikan secara maksimal.
Pendidikan Karaeng Masalleh dimulai dari keluarganya. Mulailah ia belajar pengetahuan-pengetahuan dasar kepada keluarganya dengan tekun dan istiqomah, pengetahuan dasar yang ia dapatkan ini, menjadi modal utama dalam menempuh pendidikan jenjang berikutnya.
Para ahli sejarah menulis dalam catatan –catatan mereka, bahwa anak raja ataupun keluarga terdekat (famili dan kerabat kerajaan) sejak kecil sudah ditanamkan ilmu pengetahuan dasar sebagai bekal generasi penerus tatkala mereka dewasa nanti. Mereka juga diajarkan bagaimana bertingkah laku baik sesuai dengan adat istiadat yang berkembang dimasyarakat Goa. lalu ketika menginjak usia 7 tahun, seorang anak raja juga mulai diajari ilmu beladiri silat yang pilih dari guru-guru silat yang memiliki pilih tanding, juga ilmu ke tatanegaraan. Pendidikan ini sengaja diberikan kepada mereka agar mereka siap mengemban amanah kepemimpinan tatkala mereka dewasa kelak. Tradisi macam ini telah berjalanan ratusan tahun lamanya, sehingga siapa saja yang masih termasuk keturunan anak raja atau bangsawan akan mendapat pendidikan khusus seperti diatas. Masalle kecil yang hidup ditengah masyarakat Sulawesi selatan tidak absen dari kultur yang telah mentradisi ditengah keluarga bangsawan kerajaan. Ia juga belajar silat, dan ilmu kanuragan dengan tekun. Belajar ilmu bela diri menjadi satu kebiasaan yang tak terpisahkan dari hidupnya. Ia sangat tekun dan konsisten belajar silat, bahkan tidak segan-segan ia mengarahkan segenap tenaganya untuk bisa menghantarkan dirinya menjadi pendakar profesional dalam dunia persilitan.
Sekalipun tekun belajar silat tidak membuatnya lupa untuk mempelajari ilmu agama. Ia belajar kepada keluarga. Selain itu ia pelajaran keagamaan dan belajar al-qur’an bersama anak disekitar kediaman sang guru. Dalam bahasa Bugis di sebut ‘’ Puang Anre Guru’’. Mereka adalah guru yang mukhlis mengejarkan agama Islam, membaca al-qur’an kepada anak-anak kecil. Mereka sangat dihormati dan disegani masyarakat dan orang tua murid .
Menurut Sarbini, mendasarkan sumber yang ia dapatkan dari Daeng Maulana Ishaq, Masalle muda lebih sangat tekun mempelajari ilmu kanugarakan. Bahkan kecendrungan untuk mendalami ilmu bela diri dan kenuragakan tersebut lebih domenan dari pada belajar ilmu agama. Dari ketekunannya itu, membuahkan hasil yang maksimal sehingga mampu menempatkan dirinya sebagai sosok pendekar persilatan profesional yang siap tanding pada masanya. Untungnya, ia segara berbalik arah, menjadi sosok yang tekun mempelajari ilmu agama, politik dan pemerintahan, setelah mendapat nasehat dari ayah-ibunya yang merubah pola hidupnya. Andaikan, tidak segara berbalik arah, ceritanya mungkin tampak lain seperti yang kita kenal sekarang.
Musalle mudapun mulai melanglang buana guna menimbah ilmu kepada Ulama’-Ulama’ di Sulawesi. Hanya saja, belum diketahui dengan pasti berapa lama ia belajar, dan kepada siapa saja ia menimba mutiara ilmu tasawwuf di kota Makasar. Akan tetapi, realitas historis mengungkapkan bahwa mulai abad ke-15 sampai abad ke-17 M bandar milik kerajaan Goa menjadi persinggahan niaga dunia karena dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas sebagaimana bandar-bandar lainnya di dunia. Masa pada ini, khususnya pada abad ke-15 banyak diantara para da’i (penyebar agama Islam) mendakwahkan ajaran Islam kepada penduduk setempat, mereka banyak berasal dari Minangkabau, Sumatera. Kala itu, banyak para ulama’ yang mendiami tanah Makasar, mereka mengajarkan agama Islam kepada Masyarakat, diantara mereka banyak santri dari wali songo ditanah Jawa. Para da’i ini, selain berdagang juga mereka menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat. Hasilnya, lahirlah ulama’-ulama profesional di bidangnya yang memberikan sumbangan berarti dalam khazanah intelektual Islam di dunia.
Murid-murid para da’i ini mengembangkan dakwahnya kepelosok-pelosok desa, mendidik, mengajarkan agama Islam kepada masyarakat setempat. Realitas historis diatas mengisyaratkan bahwa, pada masa itu telah terjadi hubungan yang sangat erat antara masyarakat Goa dengan para da’i di Nusantara, berdasarkan realitas ini memungkinkan Daeng Masalleh belajar kepada para Ulama’ yang datang ke tanah Makasar, sebab secara kultural, keluarga Sultan biasanya mengundang para ahli ilmu ke istana untuk kemudian mengajarkan agama Islam kepada keluarga Sultan. Dilihat dari sisi yang lain perkembangan ilmu pengetahuan di Goa saat itu telah berkembang sedemikian rupa, ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh yang muncul saat itu, seperti Karaeng Pattingolloang, tercatat sebagai sosok intelektual cerdik dan pandai, ahli astronomi dan lihai berbahasa. Ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan bahasa lainnya sejak usianya yang masih muda, 18 tahun. Ia juga sangat peduli terhadap ilmu pengetahuan membuat orang Belanda terkagum-kagum padanya. Joost Van Den Vondel, pendekar penyair Belanda menggubah syair khusus sebagai berikut:
Wiens Aldoor Anuffelende Brein
Een Gansche Werelt Valt Te Klein
Artinya: orang yang fikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya terlalu sempit baginya.
Selain tokoh ilmu pengetahuan di Makasar muncul tokoh penting dibidang tasawwuf, Syekh Yusuf al-mangkasari Tajul khalwati beserta para muridnya diantaranya Syekh Abdul Fattah Abd-Al Basir Al-Darir (Orang Buta), Al-Raffani, dan Abdul Qodir Karaeng Jeno’. Munculnya berbagai macam tokoh intelektual profetik diatas tidaklah mengherankan, sebab Sultan Alauddin yang tidak lain adalah paman dari Karaeng Masalleh seringkali mengadakan kajian-kajian keagamaan didalam maupun diluar istana. Semangat intelektual benar-benar terlihat waktu itu, dimana para penguasa (Sultan) memberikan dorongan kepada masyarakat untuk mengakaji ilmu pengetahuan lebih dalam khususnya ilmu agama.
Berada dalam lingkungan ahli ilmu, membantu Karaeng Masalleh untuk mengembangkan semangat intelektualnya, dari sinilah ia belajar berbagai disiplin ilmu, mulai dari Ushuluddin (aqidah), fiqih, tafsir, dan tasawwuf kepada Ulama-ulama di kota Daeng. sebagai bagian dari keluarga bangsawan kharismatik, ia juga belajar ilmu kedigjayaan (kanuragan), ilmu kanugarakan dan silat menjadi kebutuhan masyarakat waktu itu khususnya mereka yang seringkali berjihad di medan tempur. Bagi anak seorang raja/Sultan dan kerabatnya, pendidikan kanuragan telah mentradisi dikalangan mereka, sebagai bekal persiapan jika suatu saat nanti terjadi peperangan.
Dari perjalanan intelektualnya, nampak kegigihannya dalam mencari ilmu. Karaeng Masalle sepertinya tidak pernah puas dengan apa yang ia capai, giat dan monsisten dalam belajar serta tidak cepat berputus asa. Ia sangat gandrung menimba ilmu, kemanapun ia pergi ia selalu membawa catatan untuk menulis hikmah-hikmah yang bertaburan dialam raya. Ia tidak mentafriqkan (membeda-bedakan) antara ilmu umum dengan ilmu agama. Baginya, ilmu merupakan anugrah terbesar tuhan yang diberikan kepada manusia guna dijadikan sebagai lampu penerang hidupnya. Oleh karena itu, setiap ilmu yang menuai manfaat, ia pelajari. Realitas ini menunjukkan kesungguhan Karaeng Masalleh dalam menimba sumber cahaya kehidupan (Ilmu) sekaligus mengisyaratkan bahwa konsepsi ilmu yang ditabanninya bersifat integral (menyatu-padu). Iapun tidak membeda-bedakan antara ilmu umum (saat itu ilmu pemerintahan, ekonomi dan politik) dengan ilmu agama, semua ilmu yang dapat menuai menfaat untuk diri, agama dan negerinya ia pelajari termasuk ilmu yang selama ini ia tekuni, ilmu beladiri.
Penting untuk diperhatikan, pentas politik kesultanan Goa-Tallo pada masa kepemimpinan Sultan Alauddin, Sultan pertama dari kesultanan Goa setelah ia memeluk Islam, lalu ia mendakwahkan Islam kepada kerajaan-kerajaan Bugis, seperti Sindenreng, Sopeng, Wajo, dan Bone yang memeluk islam berturut-turut pada tahun 1609, 1610, dan 1611 M. Tentang strategi politik kekuasaan dan diplomasi yang dipraktekkan langsung oleh paman Karaeng Masalleh sampai pemerintahan sepupunya, Sultan Malikussaid, menjadi pelajaran penting baginya dalam hal politik-diplomasi dan strategi dakwah Islam. Pendidikan politik dan ketatanegaraan ini sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadiannya dimasa depan, kepiawannya dalam hal politik-diplomasi banyak ia dapatkan dari pengalamannya di tanah airnya. Pergolakan politik yang terjadi saat itu tidak hanya memberikan kekayaan staqafah siyasiyah ( pengetahuan perpolitikan) tetapi juga mendidiknya menjadi sosok yang tangguh dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam percaturan hidupnya.
Pada perkembangan selanjutnya, Karaeng Masalleh lebih fokus mempelajari tasawwuf lebih dalam. Pada zamannya, diskursus spiritual (tasawwuf) begitu gencar di Makasar,orang yang hidup di zaman itu mental dan materil yang bertujuan untuk mengimbangi sebagai agama dan kepercayaan yang menjurus ke arah itu. Tokoh penting yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat di bidang Tasawwuf adalah Syekh Yusuf al-Mangkasari Tajul Khalwati dan para muridnya yang sangat berjasa dalam menyabarkan Tasawwuf Islam, tidak hanya di Sulawesi, tetapi juga belahan Nusantara sampai ke Afrika. Memang, abad ke-XVI merupakan masa yang cukup penting dalam penyebaran tasawwuf-Islam, sekaligus menjadi titik awal perkembangan tasawwuf sosial di Makasar. Suntikan-suntikan spiritual yang dipelopori oleh para sufi ini mampu membangunkan semangat ketauhitan dan spritualitas masyarakat Sulawesi Selatan. Api spiritual yang ditiupkan oleh kalangan Sufi ini, berhasil membangunkan kesadaran ruhaniyah masyarakat yang tertidur dari kegersangan spiritual. Dampaknyapun terlihat dari perubahan dari pola sikap masyarakat, di kesultanan Goa-Tallo. Sosio-kultural yang yang berkembang saat itu lebih mengarah pada bentuk penyucian batin ini melalui mistisisme-Islam.Iklim kultural ini, membantu Karaeng Masalleh dalam mengambangkan apa yang ia tekuni selama ini (ilmu tasawwuf). Sayangnya, literatur yang ada tidak mengurai sepenuhnya perjalanan sufismenya di Makasar. Riwayat-riwayat yang tersebar belum menjelaskan secara rinci kepada siapa ia belajar tasawwuf. Perkembangan tasawwuf Daeng Karaeng Masalle sepertinya lebih banyak diinspirasi oleh berbagai macam tasawwuf yang berkembang waktu itu, diskursus dunia spiritual menjadi lebih intens dikaji dan dipelajari oleh Karaeng Masalleh sampai ia hijrah ke Giliyang.
Titik tolak Perjalanan Dakwah Karaeng Masalleh
Seseorang yang diberikan amanah ilmu oleh Allah mempunyai kewajiban untuk menyampaikan amanah itu kepada ummat. Menyeru kepada kebaikan (al-maruf) dan melarang berbuat munkar (an-nahyu an al-munkar). Dakwah dalam Islam merupakan keharusan universal bagi seorang muslim. Setiap pribadi muslim memiliki tanggungjawab untuk menyampaikan kebenaran Islam (amar ma’ruf nahi munkar). Dengan dakwah inilah panji-panji Islam berkibar di seluruh penjuru dunia. Dakwah juga merupakan bentuk pengabdian dirinya sebagai seorang hamba kepada Rabnya serta sebagai bentuk perhatian terhadap lingkungan-sosialnya. Karena itu dakwah menjadi nilai prinsip asasi dalam Islam serta menjadi prinsip dasar yang selalu dipegang oleh para ulama’ sebagai pewaris para Nabi (warastah al-anbiya’). Prinsip inilah yang selalu dipegang Karaeng Masalle dalam hidupnya. Sepertinya pendidikan keagamaan dan spritualitas yang ia dapatkan telah mampu membuka tabir kesadaran akan urgensi dakwah Islam yang saat itu menjadi kebutuhan utama ummat yang masih terlelap dalam kejahiliyaan. Jiwanya terpanggil untuk terjun langsung ketengah-tengah masyarakat. Karaeng Masallepun mulai menggegas dakwah ditempat dimana di tinggal di Kesultanan Goa-Tallo, Sulawesi Selatan. Secara Intens ia mendidik, membingbing dan membina ummat. Dalam menjalin interaksi sosialnya dengan masyarakat ia tidak lupa untuk menghiyas diri dengan sifat keteladanan (uswah hasanah). Toleran dan perbedaan serta tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Mungkin karena sifat inilah dakwahnya mudah diterima oleh berbagai macam lapisan masyarakat. Sayangnya, riwayat-riwayat yang lebih rinci tidak banyak terekam dalam sejarah. Padahal peran Karaeng Masalle seperti yang telah disebutkan diatas tidaklah kecil dalam menghidupkan semangat keagamaan dan kemajuan di tempat kelahirannya. Barangkali, karena kiprahnya banyak dihabiskan di negeri rantau, sehingga ia lebih banyak dikenal dinegeri orang dari pada di negeri sendiri.
Mendapat Tugas Mulya
Salah satu prinsip dasar Islam adalah mengemban dakwah keseluruh alam. karakteristik dakwah Islam tidak mengenal batas teritorial, kemanapun dan dimanapun selalu dianjurkan untuk berdakwah. Motivasi dakwah menggelora ini telah ditamsilkan dan dicontohkan oleh baginda Nabi, para shahabat, tabien dan selanjutnya diteruskan oleh para salaf. Ghirah Islamiyahnya memberikan dorongan yang sangat kuat terhadap Karaeng Masalleh untuk menghibahkan seluruh hidupnya dalam dunia dakwah. Berdakwah, menyampaikan kebenaran Islam (amar ma’ruf nahi munkar) telah menyatu dengan hidup sang Karaeng. Dan ini telah mulai semenjak berada di kota para Mammiri. Tibalah saatnya ia menyemban tugas dari ayah-bundanya untuk mencari sebuah pulau, jauh disana. Pergi ka arah barat, carilah pulau yang posisinya sejajar dengan garis katulistiwa (madura : malang eare), sebarkan agama Islam, ajarkan kepada mereka tasawwuf Islam yang telah engkau dapatkan. Nasehat itu ia terima dengan sepenuh hati sebagai sebuah amanah dan titah yang suci. Kata-kata kedua orang tuanya itu begitu membekas dalam batinnya yang selalu ia ingat setiap gerak juang yang dilakoninya.
Sebagai seorang manusia bisanya, berpisah dengan kedua orang tua, keluarga dan kampung halaman tentu terasa berat baginya. Ia harus meninggalkan segala pernak-pernik kenangan indah yang telah menghiyasi hidupnya selama di Goa. Namun, sepertinya energi panggilan dakwah, menyiarkan agama Islam yang telah terpatri dalam dirinya jauh lebih kuat, sehingga dengan mantap ia segara menyambut seruan itu dengan penuh keyakinan. Sampai disini kita tentu bertanya, mengapa Karaeng Masalle diperintahkan untuk menyebarkan tasawwuf Islam dan tidak yang lain. Mengapa ia juga diperintahkan untuk berdakwah ke daerah lain dan tidak didaerahnya sendiri?. Mengapa Kraeng Masalle mau menyambut seruan itu?. Bukankah hidup dekat dengan lingkungan istana akan jauh lebih menjanjikan dibanding hidup di negeri orang yang belum tahu nasibnya seperti apa. Andaikan materi yang ia pikirkan, kekuasaan yang ia inginkan tentu Kraeng Masalle akan memilih hidup dekat dengan lingkungan Sultan dibanding hidup ompempa di negeri orang. Tetapi Kraeng Masalle lebih memilih hidup yang lain sebagai mujahid dakwah dan pejuang Islam sejati yang memiliki kepekaan terhadap kondisi umat. Dan semua itu adalah pelajaran yang amat berharga yang diberikan oleh orang tua Kraeng Masalle kepada anaknya, suatu warisan abadi yang tidak hengkang sepanjang zaman, membuat namanya dikenang sepanjang zaman warisan itu adalah ilmu dan pengalaman. Dengan ilmu yang dimilikinya itu hidupnya menjadi terang, jelas arahnya kemana ia harus mendayung dan sampai batas mana ia akan berlabuh. Ilmu akan membingbingnya menuju jalan yang benar ia akan kekal abadi sepanjang masa.
Ali karramahullahu wajhah berkata : ‘’Kami rela terhadap pemberian al-jabbar ( Allah SWT) kepada kami, kami memiliki ilmu sedangkan musuh memiliki harta, sesungguhnya harta akan musnah dalam waktu dekat sedangkan ilmu akan tetap abadi sepanjang masa’’.
Syekh Hasan bin Ali atau yang lebih dikenal al-Marghibani pernah menendangkan sebuah syair, ‘’ sesungguhnya orang-orang bodoh itu mati sebelum mereka mati, sedangkan orang-orang alim itu tetap hidup walaupun sebanarnya telah mati’’.
Adapun pengalaman disertai dengan ilmu akan membentuk keteguhan jiwa serta sikap yang selalu siaga dan hati-hati, Experience is the best teacher begitulah pepatah mengatakan. Warisan tersebut merupakan suatu warisan yang amat berharga yang didapatkan Kraeng Masalle dari kedua orang tuanya.
Adalah menarik untuk dikaji prihal titah yang diamanahkan oleh ayah-bunda Karaeng Masalle untuk mencari pulau yang posisinya sejajar dengan garis katulistiwa. Dalam perjalanan itupun ia diberintahkan untuk berjalan ke arah barat. Dilihat dari peta geoogle map posisi Makasar yang saat itu menjadi pusat kesultanan Goa berada di sebalah timur laut. Ini berarti dari arah Makasar posisi Giliyang berada di arah barat-daya seperti yang tampak pada peta disamping. Sedangkan jarak antara kedua wilayah itu sekitar 335, 07 MIL. Mungkinkankah Kedua orang tua Karaeng Masalle mengetahui kondisi pulau yang kelak dikenal pulau oksigen itu. Dari mana kedua orang tuanya itu mendapatkan informasi tentang keberadaan pulau tersebut ( baca: Giliyang).
Di BAB I ( bagian buku ini) telah kita bahas bagaimana hubungan antara masyarakat Madura dengan para pengembara dari suku Bugis, Mandar, Bajhu dan Makasar. Sejak abad 12 sampai 14 bangsa-bangsa Cina, Arab dan suku-suku dari Nusantara (Bugis, Makasar, Bajhu, Mandar, Banjar, Jawa) berdatangan ke Madura. Kedatangan yang paling pesat terjadi ketika Sumenep-Madura berada dibawah kepemimpinan seorang tokoh kharismatik, politikus, diplomat ulang yang arif dan bijaksana, Arya Wiraraja. Ia adalah seorang tokoh yang memiliki pengaruh yang sangat besar pada masanya serta memiliki jalinan hubungan diplomatik yang amat kuat dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tak heran pada masa kepemimpinnya di Madura, banyak diantara bangsa lain datang ke Madura apakah itu untuk urusan perniagaan ataupun urusan-urusan lainnya. Masa itu pula beragam suku dari Timur datang ke Madura untuk menjalin hubungan dengan pulau ujung timur pulau Jawa tersebut. Seiring berjalanannya waktu, hubungan mereka dengan bangsa Madura semakin akrap. Jalinan tersebut mampu memperkaya pengetahun mereka, khususnya berkenaan dengan kondisi alam daerah kepulauan Sumenep-Madura. Selanjutnya, mereka tidak akrap dengan Masyarakat Madura yang ada didaratan ketika kontak niaga di bandar pelabuhan, tetapi juga dengan kondisi alam yang ada kepulauan Sumenep ketika mereka singgah dipulau tersebut.
Dawiyah, sesepuh Giliyang menuturkan bahwa, suku Mandar sejak dahulu kala seringkali singgah pulau Giliyang. Konon, suku Mandar menyebut pulau yang berada di sebelah timur kecamatan Dungkek itu dengan sebutan SUTAWIL. Mereka menganggap pulau tersebut sebagai tempat keramat yang penuh berkah sehingga ketika mereka makan tiga suapan, salah satu suapan dari makanan tersebut ia berikan ke tanah Giliyang. Begitulah riwayat yang ia terima dari Kyai Mahrean, Murid Kyai Asy’ari.
Melihat dari kenyataan diatas, tampak jelas bagi kita, bahwa amanah untuk mencari pulau yang posisinya sejajar dengan garis katulistiwa (Madura : malang Eare) itu bukan merupakan sesuatu yang asing bagi mereka, masyarakat Goa. Sebab jauh sebelumnya, Suku Bugis, Makasar, Mandar dan Bajhu sejak abad ke 12 sampai abad 14 melalui jalur bahari telah lama menjalin hubungan dengan bangsa pulau Garam tersebut. Sangat mungkin informasi berkenaan dengan adanya sebuah pulau yang dianggap unik dan keramat oleh suku Mandar telah tersebar luas di lingkungan Masyarakat Goa, hingga membuat mereka bertanya-tanya seperti apa pulau yang diperbincangkan para pelaut Mandar itu. Dimana letaknya serta bagaimana kondisi di dalamnya?. Rasa penasaran tersebut sedikit demi sedikit mulai terobati ketika para pengembara palaut Mandar, Bugis, Bajhu menjelaskan banyak hal kepada mereka ikwal keberadaan pulau tersebut. Karena itu, amatlah wajar dan tidak aneh jika orang tua Kraeng Masalle memerintahnya untuk berjalan ke arah barat, karena berdasarkan pengalaman dari para pelaut suku-suku dari Sulawesi Selatan itu, pulau tersebut berada di arah barat (tepat di arah barat daya dari kesultanan Goa).
Sebelum berangkat ke negeri rantau Karaeng Masalleh ia pergi ke pantai Losari, Sulawesi Selatan. Konon, ia tinggal disina selama 40 hari 40 malam. Di tempat tersebut ia banyak menghabiskan waktunya untuk berpuasa, berdzikir dan berdoa. Malamnya harinya, ia tenggelam dalam lautan ibadah kepada Rab-Nya. Riyadhah ini, terus ia jalani secara konsisten selama tinggal di daerah pantai tersebut. Bagi seorang Salik (orang yang berjalan menuju ma’rifatullah) latihan-latihan rohaniyah (riyadhah) merupakan suatu hal yang amat penting baginya. Berdzikir bermujahadah, berjihad melawan keangkuhan hawa nafsu, dan keaKuan yang dapat menghalangi dirinya sampai (al-ushul) pada-Nya. Latihan-latihan tersebut membutuhkan konsitensi dan keikhlasan hati dalam mengamalkannya. Dengan latihan yang konstensi dengan semangat perjuangan yang menggelora dalam hati, seorang hamba bisa sampai ke hadirat-Nya. Begitulah tradisi yang dianut oleh para sufi. Setelah selesai riyadhah tersebut ia kembali lagi ke Goa untuk bermaitan kepada kedua orang tuanya. Sebagain sumber menyatakan sebaliknya, Kraeng Masalle langsung berangkat tanpa kembali lagi untuk paminan keorang tuanya.
Sebelum memutuskan berangkat Kraeng Masalle selalu mengingat pesan ayah-bundanya untuk berjuang semata-mata hanya untuk mendapatkan ridha Allah. hidup sebagai mujahid sejati, menebarkan kebaikan, menegakkan keadilan, memberantas segala bentuk kezaliman. Satu Nasehat yang mewarnai dalam hidupnya, nantinya membangun karakter sufismenya sang Karaeng. Menyebarkan Tasawwuf-Islam dengan prinsip keteladanan (al-uswah).
Setelah mendapatkan restu sang ayah-bunda itu. Sang Karaeng pun memutuskan untuk berangkat untuk mencari letak pulau yang ia tujuh, ia berjalan ke arah barat menyusuri semenanjung Sulawesi hingga selat Madura. Kami belum memperoleh secara utuh rekam jejak perjalanan Karaeng Masalle dari Pantai Losari (saat ini kota Makasar) menuju tempat tujuan (Giliyang sekarang). Cerita tutur yang berkembang di masyarakat Giliyang hanya mengungkap perjalanannya ke tempat tujuan (baca: Giliyang) yang menurut cerita itu ia di antar oleh ikan besar. ( BERSAMBUNG)
Pulau Sulawesi termasuk salah satu kepulaun yang cukup luas (191.800 km2), lebih luas dari gabungan Pulau Jawa dan Madura ( 128.000 km2), serta merupakan salah satu pulau tersebar di Nunsatara. Sulawesi Selatan adalah satu dari 5 Propensi lainnya (Sulawesi Utara, Sulawesi tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Propensi Gorontalo). Suku Bugis, Mandar, T oraja dan Makasar merupakan empat kelompok etnis terbesar di Sulawesi Selatan. Suku Mandar (dengan populasi sekitar 400.000) bermukim di pantai barat laut, suku Toraja (sekitar 600.000) umumnya mendiami pegunungan di daerah utara, meskupun saat ini sudah banyak yang tinggal di dataran Luwu’. Orang Bugis (dengan populasi lebih dari tiga juta di Sulawesi Selatan dan mungkin sekitar 600.0000 di perantauan) menghuni hampir seluruh dataran dan perbukitan sebelah selatan, dan sebagian kecil tinggal di dataran Luwu’ di daerah sekitar pantai dan sebelah selatan Palopo. Sedangkan orang Makasar (dengan populasi sekitar dua juta) menetap diujung selatan semenanjung, tersebar di sepanjang pantai maupun pegunungan. Keempat suku tersebut memiliki bahasa yang berbeda, dan setiap suku terbagi lagu menjadi sub-etnis dengan dialek bahasa berbeda. Pada permulaan abad ke XVI, terutama setelah kejatuhan kerajaan Malaka ke tangan Portugis (1511), kerajaan-kerjaan Bugis-Makasar di Sulawesi Selatan, khususnya Goa-Tallo telah membuka hubungan dagang dengan berbagai daerah di kepulauan Nusantara.Perahu-perahu Bugis-Makasar telah mengunjungi kerajaan-kerajaan Melayu dibagian Barat dan kerajaan-kerajaan Maluku di bagian Timur. Puncaknya terjadi pada abad 16 pelabuhan Goa telah menjadi pelabuhan penting di daerah Timur Nusantara. Bandar-bandar Goa ramai di kunjungi berbagai saudagar belahan dunia mulai dari dataran Eropa, Cina, Arab dan India. Awal abad-16 tercatat sebagai masa yang cukup penting dalam perjalanan sejarah di Sulawesi Selatan, pada masalah inilah dakwah Islam tersebar luas, kerajaan Bone (bugis) Goa-Tallo (Makasar) dan kerajaan-kerajaan lainnya.
Perkembangan dakwah Islam ini selain menambah umat Islam secara kuantitatif juga menjadi cikal bakal tumbuhnya bibit ulama’ di daerah Sulawesi Selatan. Tumbuh-kembangnya Islam di Nusantara timur tidak pernah lepas dari peran para da’i serta para Sultan yang ada ditempat tersebut. Adalah Sultan Alauddin yang menjadi peran utama dalam proses Islamisasi di kesultanan Goa-Tallo. Muncul tokoh-tokoh penting, Ulama’ dan pejuang yang dikenal dan dikenang sampai sekarang, seperti Syekh Yusuf al-Mangkasari Taj al-Khalwati, Sultan Alauddin sendiri, Sultan Malakussaid,Sultan Hasanuddin, Karaeng Galesung dan ulama’ serta pejuang-pejuang lainnya dikota Mammiri. Muncul sosok ulama’ visioner-profetik Ia adalah Daeng Karaeng Masalle.Tokoh penting yang memberikan pengaruh besar dalam perkembangan dakwah Islam di belahan bumi Nusantara. Emmm kepengen tahu seperti apa sepak terjang perjuangan dakwahnya….
Tari nafas, keluarkan pelan-pelann end simaklah ulasan berikut ini.
Lahirnya Sang Pencerah
Kareng Masalle dilahirkan sekitar penghujung abad ke-XVI di tengah keluarga bangsawan kerajaan Goa-Tallo. Ia adalah putra sulung dari Karaeng Pattungan seorang kharismatik kota Daeng. Dari silisilah nasab yang tercatat dalam Lontara Goa menyebutkan bahwa Karaeng Masalle memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat dekat dengan keluarga kerajaan Goa-Tallo. Ibundanya, I Bisu Malibba Karaeng Papelleng, adalah kakak dari Sultan Alauddin. Ia termasuk putri ketiga dari Karaeng Bonto Langkasa i Maggorai Daeng Mammeta Tunijallo Raja Goa ke XII 1565-1590 M, bersama dengan salah seorang istrinya, raja Tallo V Karaeng Bainiya I Sabo Daeng Niassing. Berdasarkan sumber ini (baca: Lontara) Karaeng Masalle masih termasuk keponakan dari Sultan Alauddin. Selain itu, Karaeng Masalle juga mempunyai adik perempuan bernama I Tama Lili. Adiknya yang satu ini kelak menjadi salah satu tokoh perempuan berpengaruh di Sulawesi Selatan. Demikian menurut catatan yang termaktub dalam lontara Goa Tallo ni Parallaka ri Balanda 1883 M.
Sementara menurut satu sumber lain menyabutkan dengan keterangan yang berbeda. Menurut sumber tersebut Karaeng Masalleh adalah keturunan Sultan Putay, bangsawan kharismatik kota Mammiri. Ia mempunyai tiga saudara, yaitu Sora Pajudhe, Sora Laksana, Sora Saccadiningrat. Namun dari sumber yang kedua ini tidak mempunyai bukti empiris yang menyakinkan, sumber ini berasal dari cerita tutur yang masih dikhilafkan kesahihannya. Menurut penulis kedua sumber tadi sebenarnya tidaklah bertentangan. Kedua-duanya bisa saja sama-sama benar. Sebab, Daeng Putay seperti yang terdapat dalam cerita tutur, tidak disebutkan secara tegas. Apakah nama asli atau sekedar gelar kebangsawan yang disematkan padanya. Sehigga timbullah berbagai persepsi yang berbeda diantara ahli tutur. Bisa saja yang dimaksud Daeng Putay adalah karaeng Pattunga yang telah mengalami perubahan menjadi nama panggilan dengan perubahan dialek. Jelas persoalan semacam ini tidak bisa ditentukan secara pasti, butuh penelitian lebih lanjut untuk menemukan kenyataan obyektif sesuai dengan kenyataan yang ada. Mengenai tiga orang yang bersama Karaeng Masalle dari Makasar seperti yang disebutkan diatas, kemungkinan besar bukan saudara Kareng Masalleh tetapi adalah kawan atau mungkin juga kerabat dekat dari Karaeng Masalleh yang ikut serta dalam perjalanannya dalam menyebarkan agama Islam kepulau seberang. Penting untuk dicatat bahwa di Sulawesi selatan terdapat empat etnis besar di Sulawesi selatan, Makasar, Mandar, Bugis, Toraja.
Masing-masing suku tersebut memiliki dialek khas dalam bahasa mereka. Seperti suku-suku lainnya, mereka memberikan penyebutan yang khusus untuk setiap orang yang memiliki kedudukan tinggi ditengah-tengah masyarakat. Suku Makasar kita dikenalkan istilah Daeng dan Karaeng untuk keturunan bangsawan dan taat beragama serta memiliki kelebihan-kelebihan tertentu dibanding dengan yang lain. Karaeng pada zaman dulu sangat dihormati dan disegani sehingga tidak semua orang bisa menerima gelar Karaeng, karena status ini secara kultural hanya bisa didapatkan oleh keluarga bangsawan atau mereka yang memiliki integritas dan kredibilitas keilmuan yang memadai. Di Bugis untuk menyebut para Raja dan keturunan bangsawan kita kenal istilah Andi. Begitu juga dengan suku Mandar dan Toraja. Sebutan Karaeng (seperti termaktum dalam lontara) ataupun Daeng (sebutan masyarakat Giliyang) merupakan satu bukti bahwa ia terlahir dari keluarga bangsawan.
Perjalanan Intelektual Karaeng Masalleh
Seperti yang disebutkan diatas, bahwa Karaeng Masalle lahir dan dibesarkan ditengah-tengah keluarga bangsawan kesultanan Goa-Tallo Sulawesi selatan. Kultur dalam yang berkembang dalam keluarga besarnya amatlah mendukung dalam membantuk generasi ideal. Mereka adalah keluarga-keluarga yang gandrung akan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang agama. Tradisi yang berkembang tidak hanya dalam istana tetapi juga rakyat-rakyat Goa. Mereka, Masyarakat Goa-Tallo instens dalam mengkaji dan mendalami ilmu pengetahuan khususnya berkenaan dengan ajaran Islam. Kultur ilmiah dan imaniyah ini mampu menghantarkan kesultanan Goa-Tallo menggapai peradaban gemilang dalam riputasi sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara Timur. Karena itu, untuk memperoleh gambaran utuh tentang pendidikan yang diperoleh Kareng Masalle. Maka kita harus menelusuri sejarah pendidikan Islam yang berkembangd di Sulawesi Selatan.
Para penyelidik sejarah-sejarah mencatat bahwa pendidikan Islamiyah ( at-tarbiyah al-Islamiyah) telah di rintis oleh mereka (mujahid dakwah) pada penghujung abad ke-XVI. Era ini merupakan awal perkembangan pendidikan Islam di Sulawesi Selatan. Pendidikan Islam di kota Daeng tersebut, awalnya banyak diperankan oleh para wirausahawan muslim yang melakukan perniagaan dibandar-bandar pelabuhan. Para saudagar muslim tersebut mulai mengenalkan ajaran Islam melalui jalur niaga laut, dari satu bandar satu kebandar yang lain. Berkat kegigihan, kesabaran dan keistiqomahan para da’i itu, hati masyarakat mulai terbuka untuk menerima Islam, satu persatu diantara mereka masuk Islam secara suka rela. Hingga Islampun berkembang pesat di Sulawesi Selatan. Puncak keberhasilan para da’i ini tampak jelas, tatkala salah seorang rajanya masuk Islam. Tanggal penerimaan resmi Islam ialah malam jumat, 9 jumadil Ula 1014 H atau 22 September 1605 M. Raja yang mula-mula masuk Islam sebagai agamanya pada hari tersebut adalah Raja Tallo yang bernama Manglingkaan Daeng Mannyonri. Disamping sebagai Raja Tallo, manglingkaan merangkap sebagai Tumabbicara buta atau mangkubumi kerajaan Goa. Menyusul sesudah itu, Raja Goa XIV Baginda I Mangngerengi Daeng Manrabbia memeluk Islam, yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Alauddin. Peristiwa ini tercatat sebagai peristiwa besar dalam sejarah kerajaan Goa, Sang Raja merayakannya dengan melaksanakan sholat jumat yang pertama pada tanggal 19 Raja 1016 atau 9 November 1607 yang diselenggarakan di Tallo, perayaan ini sebagai tanda bahwa Islam telah resmi menjadi agama Kerajaan Goa-Tallo.
Menurut Mattulada, Mubaligh yang berjasa mengislamkan seluruh kerajaan ialah Abdul Qadir Khatib tunggal, yang dalam tinta sejarah dikenal dengan sebutan Dato’ Ribandang, berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Dengan masuk Islamnya kedua Raja kerajaan kembar tersebut (Goa-Tallo). Menjadi titik tolak yang sangat menentukan dalam sejarah dakwah Islam di Sulawesi Selatan. Gelombang dakwah ini, terus menggema sampai akhirnya agama Islam menjadi agama kesultanan Goa-Tallo pada paruh akhir abad ke-XVI. Penting untuk dicatat bahwa semenjak awal datangnya Islam masyarakat Islam Sulawesi Selatan, telah berhasil menanamkan pendidikan keluarga yang amat kuat. Mereka mengenalkan ajaran Islam melalui pendidikan dasar yang mereka rintis di internal keluarga. Dari pendidikan ini, ditanamkanlah nilai-nilai Islam, keteguhan mental dan intelektual kepada anak-anak mereka. Basis pendidikan macam ini, sangatlah besar pengaruhnya dalam membentuk karakter-jiwa anak-anak muda di Sulawesi Selatan saat itu.
Iklim pendidikan yang kondusif membantu para generasi muda dalam mengembangkan minat bakat mereka sesuai dengan potensi yang mereka miliki.Wajah Pendidikan yang berkembang saat itu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan kepribadian dan intelektual anak-anak muda Sulawesi Selatan. Amatlah beruntung hidup pada masa itu, dimana para generasi muda dapat mengenyam pendidikan seluas-luasnya. Pemerintah kesultanan Goa memberikan keleluasaan kepada siapa saja untuk belajar ilmu tanpa batas. Berbagai fasilitas diberikan kepada mereka guna menunjang keberhasilan pendidikan umat, kesultanan Goa. Para ulama’ didatangkan dari berbagai wilayah, untuk mengajar, mendidik ruhani dan jasmani generasi muda kesultanan Goa. Sehingga terbentuklah lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai keilmuan dan spiritual.
Karaeng Masalle kecil termasuk diantara anak yang beruntung. Keberuntungan yang pertama Ia dilahirkan dari keluarga bangsawan, dan yang kedua Ia hidup dalam cuaca pendidikan yang mendukung menjadi apa yang ia inginkan. Dan keluarga besarnyapun termasuk orang yang ahli ilmu yang amat cinta kepada ulama’. Dengan demikian dari berbagai sisi ( nasab dan lingkungannya) membantu dirinya untuk mengenyam pendidikan secara maksimal.
Pendidikan Karaeng Masalleh dimulai dari keluarganya. Mulailah ia belajar pengetahuan-pengetahuan dasar kepada keluarganya dengan tekun dan istiqomah, pengetahuan dasar yang ia dapatkan ini, menjadi modal utama dalam menempuh pendidikan jenjang berikutnya.
Para ahli sejarah menulis dalam catatan –catatan mereka, bahwa anak raja ataupun keluarga terdekat (famili dan kerabat kerajaan) sejak kecil sudah ditanamkan ilmu pengetahuan dasar sebagai bekal generasi penerus tatkala mereka dewasa nanti. Mereka juga diajarkan bagaimana bertingkah laku baik sesuai dengan adat istiadat yang berkembang dimasyarakat Goa. lalu ketika menginjak usia 7 tahun, seorang anak raja juga mulai diajari ilmu beladiri silat yang pilih dari guru-guru silat yang memiliki pilih tanding, juga ilmu ke tatanegaraan. Pendidikan ini sengaja diberikan kepada mereka agar mereka siap mengemban amanah kepemimpinan tatkala mereka dewasa kelak. Tradisi macam ini telah berjalanan ratusan tahun lamanya, sehingga siapa saja yang masih termasuk keturunan anak raja atau bangsawan akan mendapat pendidikan khusus seperti diatas. Masalle kecil yang hidup ditengah masyarakat Sulawesi selatan tidak absen dari kultur yang telah mentradisi ditengah keluarga bangsawan kerajaan. Ia juga belajar silat, dan ilmu kanuragan dengan tekun. Belajar ilmu bela diri menjadi satu kebiasaan yang tak terpisahkan dari hidupnya. Ia sangat tekun dan konsisten belajar silat, bahkan tidak segan-segan ia mengarahkan segenap tenaganya untuk bisa menghantarkan dirinya menjadi pendakar profesional dalam dunia persilitan.
Sekalipun tekun belajar silat tidak membuatnya lupa untuk mempelajari ilmu agama. Ia belajar kepada keluarga. Selain itu ia pelajaran keagamaan dan belajar al-qur’an bersama anak disekitar kediaman sang guru. Dalam bahasa Bugis di sebut ‘’ Puang Anre Guru’’. Mereka adalah guru yang mukhlis mengejarkan agama Islam, membaca al-qur’an kepada anak-anak kecil. Mereka sangat dihormati dan disegani masyarakat dan orang tua murid .
Menurut Sarbini, mendasarkan sumber yang ia dapatkan dari Daeng Maulana Ishaq, Masalle muda lebih sangat tekun mempelajari ilmu kanugarakan. Bahkan kecendrungan untuk mendalami ilmu bela diri dan kenuragakan tersebut lebih domenan dari pada belajar ilmu agama. Dari ketekunannya itu, membuahkan hasil yang maksimal sehingga mampu menempatkan dirinya sebagai sosok pendekar persilatan profesional yang siap tanding pada masanya. Untungnya, ia segara berbalik arah, menjadi sosok yang tekun mempelajari ilmu agama, politik dan pemerintahan, setelah mendapat nasehat dari ayah-ibunya yang merubah pola hidupnya. Andaikan, tidak segara berbalik arah, ceritanya mungkin tampak lain seperti yang kita kenal sekarang.
Musalle mudapun mulai melanglang buana guna menimbah ilmu kepada Ulama’-Ulama’ di Sulawesi. Hanya saja, belum diketahui dengan pasti berapa lama ia belajar, dan kepada siapa saja ia menimba mutiara ilmu tasawwuf di kota Makasar. Akan tetapi, realitas historis mengungkapkan bahwa mulai abad ke-15 sampai abad ke-17 M bandar milik kerajaan Goa menjadi persinggahan niaga dunia karena dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas sebagaimana bandar-bandar lainnya di dunia. Masa pada ini, khususnya pada abad ke-15 banyak diantara para da’i (penyebar agama Islam) mendakwahkan ajaran Islam kepada penduduk setempat, mereka banyak berasal dari Minangkabau, Sumatera. Kala itu, banyak para ulama’ yang mendiami tanah Makasar, mereka mengajarkan agama Islam kepada Masyarakat, diantara mereka banyak santri dari wali songo ditanah Jawa. Para da’i ini, selain berdagang juga mereka menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat. Hasilnya, lahirlah ulama’-ulama profesional di bidangnya yang memberikan sumbangan berarti dalam khazanah intelektual Islam di dunia.
Murid-murid para da’i ini mengembangkan dakwahnya kepelosok-pelosok desa, mendidik, mengajarkan agama Islam kepada masyarakat setempat. Realitas historis diatas mengisyaratkan bahwa, pada masa itu telah terjadi hubungan yang sangat erat antara masyarakat Goa dengan para da’i di Nusantara, berdasarkan realitas ini memungkinkan Daeng Masalleh belajar kepada para Ulama’ yang datang ke tanah Makasar, sebab secara kultural, keluarga Sultan biasanya mengundang para ahli ilmu ke istana untuk kemudian mengajarkan agama Islam kepada keluarga Sultan. Dilihat dari sisi yang lain perkembangan ilmu pengetahuan di Goa saat itu telah berkembang sedemikian rupa, ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh yang muncul saat itu, seperti Karaeng Pattingolloang, tercatat sebagai sosok intelektual cerdik dan pandai, ahli astronomi dan lihai berbahasa. Ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Itali, Perancis, Belanda, Arab, dan bahasa lainnya sejak usianya yang masih muda, 18 tahun. Ia juga sangat peduli terhadap ilmu pengetahuan membuat orang Belanda terkagum-kagum padanya. Joost Van Den Vondel, pendekar penyair Belanda menggubah syair khusus sebagai berikut:
Wiens Aldoor Anuffelende Brein
Een Gansche Werelt Valt Te Klein
Artinya: orang yang fikirannya selalu dan terus menerus mencari sehingga seluruh dunia rasanya terlalu sempit baginya.
Selain tokoh ilmu pengetahuan di Makasar muncul tokoh penting dibidang tasawwuf, Syekh Yusuf al-mangkasari Tajul khalwati beserta para muridnya diantaranya Syekh Abdul Fattah Abd-Al Basir Al-Darir (Orang Buta), Al-Raffani, dan Abdul Qodir Karaeng Jeno’. Munculnya berbagai macam tokoh intelektual profetik diatas tidaklah mengherankan, sebab Sultan Alauddin yang tidak lain adalah paman dari Karaeng Masalleh seringkali mengadakan kajian-kajian keagamaan didalam maupun diluar istana. Semangat intelektual benar-benar terlihat waktu itu, dimana para penguasa (Sultan) memberikan dorongan kepada masyarakat untuk mengakaji ilmu pengetahuan lebih dalam khususnya ilmu agama.
Berada dalam lingkungan ahli ilmu, membantu Karaeng Masalleh untuk mengembangkan semangat intelektualnya, dari sinilah ia belajar berbagai disiplin ilmu, mulai dari Ushuluddin (aqidah), fiqih, tafsir, dan tasawwuf kepada Ulama-ulama di kota Daeng. sebagai bagian dari keluarga bangsawan kharismatik, ia juga belajar ilmu kedigjayaan (kanuragan), ilmu kanugarakan dan silat menjadi kebutuhan masyarakat waktu itu khususnya mereka yang seringkali berjihad di medan tempur. Bagi anak seorang raja/Sultan dan kerabatnya, pendidikan kanuragan telah mentradisi dikalangan mereka, sebagai bekal persiapan jika suatu saat nanti terjadi peperangan.
Dari perjalanan intelektualnya, nampak kegigihannya dalam mencari ilmu. Karaeng Masalle sepertinya tidak pernah puas dengan apa yang ia capai, giat dan monsisten dalam belajar serta tidak cepat berputus asa. Ia sangat gandrung menimba ilmu, kemanapun ia pergi ia selalu membawa catatan untuk menulis hikmah-hikmah yang bertaburan dialam raya. Ia tidak mentafriqkan (membeda-bedakan) antara ilmu umum dengan ilmu agama. Baginya, ilmu merupakan anugrah terbesar tuhan yang diberikan kepada manusia guna dijadikan sebagai lampu penerang hidupnya. Oleh karena itu, setiap ilmu yang menuai manfaat, ia pelajari. Realitas ini menunjukkan kesungguhan Karaeng Masalleh dalam menimba sumber cahaya kehidupan (Ilmu) sekaligus mengisyaratkan bahwa konsepsi ilmu yang ditabanninya bersifat integral (menyatu-padu). Iapun tidak membeda-bedakan antara ilmu umum (saat itu ilmu pemerintahan, ekonomi dan politik) dengan ilmu agama, semua ilmu yang dapat menuai menfaat untuk diri, agama dan negerinya ia pelajari termasuk ilmu yang selama ini ia tekuni, ilmu beladiri.
Penting untuk diperhatikan, pentas politik kesultanan Goa-Tallo pada masa kepemimpinan Sultan Alauddin, Sultan pertama dari kesultanan Goa setelah ia memeluk Islam, lalu ia mendakwahkan Islam kepada kerajaan-kerajaan Bugis, seperti Sindenreng, Sopeng, Wajo, dan Bone yang memeluk islam berturut-turut pada tahun 1609, 1610, dan 1611 M. Tentang strategi politik kekuasaan dan diplomasi yang dipraktekkan langsung oleh paman Karaeng Masalleh sampai pemerintahan sepupunya, Sultan Malikussaid, menjadi pelajaran penting baginya dalam hal politik-diplomasi dan strategi dakwah Islam. Pendidikan politik dan ketatanegaraan ini sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadiannya dimasa depan, kepiawannya dalam hal politik-diplomasi banyak ia dapatkan dari pengalamannya di tanah airnya. Pergolakan politik yang terjadi saat itu tidak hanya memberikan kekayaan staqafah siyasiyah ( pengetahuan perpolitikan) tetapi juga mendidiknya menjadi sosok yang tangguh dalam menghadapi tantangan-tantangan dalam percaturan hidupnya.
Pada perkembangan selanjutnya, Karaeng Masalleh lebih fokus mempelajari tasawwuf lebih dalam. Pada zamannya, diskursus spiritual (tasawwuf) begitu gencar di Makasar,orang yang hidup di zaman itu mental dan materil yang bertujuan untuk mengimbangi sebagai agama dan kepercayaan yang menjurus ke arah itu. Tokoh penting yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat di bidang Tasawwuf adalah Syekh Yusuf al-Mangkasari Tajul Khalwati dan para muridnya yang sangat berjasa dalam menyabarkan Tasawwuf Islam, tidak hanya di Sulawesi, tetapi juga belahan Nusantara sampai ke Afrika. Memang, abad ke-XVI merupakan masa yang cukup penting dalam penyebaran tasawwuf-Islam, sekaligus menjadi titik awal perkembangan tasawwuf sosial di Makasar. Suntikan-suntikan spiritual yang dipelopori oleh para sufi ini mampu membangunkan semangat ketauhitan dan spritualitas masyarakat Sulawesi Selatan. Api spiritual yang ditiupkan oleh kalangan Sufi ini, berhasil membangunkan kesadaran ruhaniyah masyarakat yang tertidur dari kegersangan spiritual. Dampaknyapun terlihat dari perubahan dari pola sikap masyarakat, di kesultanan Goa-Tallo. Sosio-kultural yang yang berkembang saat itu lebih mengarah pada bentuk penyucian batin ini melalui mistisisme-Islam.Iklim kultural ini, membantu Karaeng Masalleh dalam mengambangkan apa yang ia tekuni selama ini (ilmu tasawwuf). Sayangnya, literatur yang ada tidak mengurai sepenuhnya perjalanan sufismenya di Makasar. Riwayat-riwayat yang tersebar belum menjelaskan secara rinci kepada siapa ia belajar tasawwuf. Perkembangan tasawwuf Daeng Karaeng Masalle sepertinya lebih banyak diinspirasi oleh berbagai macam tasawwuf yang berkembang waktu itu, diskursus dunia spiritual menjadi lebih intens dikaji dan dipelajari oleh Karaeng Masalleh sampai ia hijrah ke Giliyang.
Titik tolak Perjalanan Dakwah Karaeng Masalleh
Seseorang yang diberikan amanah ilmu oleh Allah mempunyai kewajiban untuk menyampaikan amanah itu kepada ummat. Menyeru kepada kebaikan (al-maruf) dan melarang berbuat munkar (an-nahyu an al-munkar). Dakwah dalam Islam merupakan keharusan universal bagi seorang muslim. Setiap pribadi muslim memiliki tanggungjawab untuk menyampaikan kebenaran Islam (amar ma’ruf nahi munkar). Dengan dakwah inilah panji-panji Islam berkibar di seluruh penjuru dunia. Dakwah juga merupakan bentuk pengabdian dirinya sebagai seorang hamba kepada Rabnya serta sebagai bentuk perhatian terhadap lingkungan-sosialnya. Karena itu dakwah menjadi nilai prinsip asasi dalam Islam serta menjadi prinsip dasar yang selalu dipegang oleh para ulama’ sebagai pewaris para Nabi (warastah al-anbiya’). Prinsip inilah yang selalu dipegang Karaeng Masalle dalam hidupnya. Sepertinya pendidikan keagamaan dan spritualitas yang ia dapatkan telah mampu membuka tabir kesadaran akan urgensi dakwah Islam yang saat itu menjadi kebutuhan utama ummat yang masih terlelap dalam kejahiliyaan. Jiwanya terpanggil untuk terjun langsung ketengah-tengah masyarakat. Karaeng Masallepun mulai menggegas dakwah ditempat dimana di tinggal di Kesultanan Goa-Tallo, Sulawesi Selatan. Secara Intens ia mendidik, membingbing dan membina ummat. Dalam menjalin interaksi sosialnya dengan masyarakat ia tidak lupa untuk menghiyas diri dengan sifat keteladanan (uswah hasanah). Toleran dan perbedaan serta tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Mungkin karena sifat inilah dakwahnya mudah diterima oleh berbagai macam lapisan masyarakat. Sayangnya, riwayat-riwayat yang lebih rinci tidak banyak terekam dalam sejarah. Padahal peran Karaeng Masalle seperti yang telah disebutkan diatas tidaklah kecil dalam menghidupkan semangat keagamaan dan kemajuan di tempat kelahirannya. Barangkali, karena kiprahnya banyak dihabiskan di negeri rantau, sehingga ia lebih banyak dikenal dinegeri orang dari pada di negeri sendiri.
Mendapat Tugas Mulya
Salah satu prinsip dasar Islam adalah mengemban dakwah keseluruh alam. karakteristik dakwah Islam tidak mengenal batas teritorial, kemanapun dan dimanapun selalu dianjurkan untuk berdakwah. Motivasi dakwah menggelora ini telah ditamsilkan dan dicontohkan oleh baginda Nabi, para shahabat, tabien dan selanjutnya diteruskan oleh para salaf. Ghirah Islamiyahnya memberikan dorongan yang sangat kuat terhadap Karaeng Masalleh untuk menghibahkan seluruh hidupnya dalam dunia dakwah. Berdakwah, menyampaikan kebenaran Islam (amar ma’ruf nahi munkar) telah menyatu dengan hidup sang Karaeng. Dan ini telah mulai semenjak berada di kota para Mammiri. Tibalah saatnya ia menyemban tugas dari ayah-bundanya untuk mencari sebuah pulau, jauh disana. Pergi ka arah barat, carilah pulau yang posisinya sejajar dengan garis katulistiwa (madura : malang eare), sebarkan agama Islam, ajarkan kepada mereka tasawwuf Islam yang telah engkau dapatkan. Nasehat itu ia terima dengan sepenuh hati sebagai sebuah amanah dan titah yang suci. Kata-kata kedua orang tuanya itu begitu membekas dalam batinnya yang selalu ia ingat setiap gerak juang yang dilakoninya.
Sebagai seorang manusia bisanya, berpisah dengan kedua orang tua, keluarga dan kampung halaman tentu terasa berat baginya. Ia harus meninggalkan segala pernak-pernik kenangan indah yang telah menghiyasi hidupnya selama di Goa. Namun, sepertinya energi panggilan dakwah, menyiarkan agama Islam yang telah terpatri dalam dirinya jauh lebih kuat, sehingga dengan mantap ia segara menyambut seruan itu dengan penuh keyakinan. Sampai disini kita tentu bertanya, mengapa Karaeng Masalle diperintahkan untuk menyebarkan tasawwuf Islam dan tidak yang lain. Mengapa ia juga diperintahkan untuk berdakwah ke daerah lain dan tidak didaerahnya sendiri?. Mengapa Kraeng Masalle mau menyambut seruan itu?. Bukankah hidup dekat dengan lingkungan istana akan jauh lebih menjanjikan dibanding hidup di negeri orang yang belum tahu nasibnya seperti apa. Andaikan materi yang ia pikirkan, kekuasaan yang ia inginkan tentu Kraeng Masalle akan memilih hidup dekat dengan lingkungan Sultan dibanding hidup ompempa di negeri orang. Tetapi Kraeng Masalle lebih memilih hidup yang lain sebagai mujahid dakwah dan pejuang Islam sejati yang memiliki kepekaan terhadap kondisi umat. Dan semua itu adalah pelajaran yang amat berharga yang diberikan oleh orang tua Kraeng Masalle kepada anaknya, suatu warisan abadi yang tidak hengkang sepanjang zaman, membuat namanya dikenang sepanjang zaman warisan itu adalah ilmu dan pengalaman. Dengan ilmu yang dimilikinya itu hidupnya menjadi terang, jelas arahnya kemana ia harus mendayung dan sampai batas mana ia akan berlabuh. Ilmu akan membingbingnya menuju jalan yang benar ia akan kekal abadi sepanjang masa.
Ali karramahullahu wajhah berkata : ‘’Kami rela terhadap pemberian al-jabbar ( Allah SWT) kepada kami, kami memiliki ilmu sedangkan musuh memiliki harta, sesungguhnya harta akan musnah dalam waktu dekat sedangkan ilmu akan tetap abadi sepanjang masa’’.
Syekh Hasan bin Ali atau yang lebih dikenal al-Marghibani pernah menendangkan sebuah syair, ‘’ sesungguhnya orang-orang bodoh itu mati sebelum mereka mati, sedangkan orang-orang alim itu tetap hidup walaupun sebanarnya telah mati’’.
Adapun pengalaman disertai dengan ilmu akan membentuk keteguhan jiwa serta sikap yang selalu siaga dan hati-hati, Experience is the best teacher begitulah pepatah mengatakan. Warisan tersebut merupakan suatu warisan yang amat berharga yang didapatkan Kraeng Masalle dari kedua orang tuanya.
Adalah menarik untuk dikaji prihal titah yang diamanahkan oleh ayah-bunda Karaeng Masalle untuk mencari pulau yang posisinya sejajar dengan garis katulistiwa. Dalam perjalanan itupun ia diberintahkan untuk berjalan ke arah barat. Dilihat dari peta geoogle map posisi Makasar yang saat itu menjadi pusat kesultanan Goa berada di sebalah timur laut. Ini berarti dari arah Makasar posisi Giliyang berada di arah barat-daya seperti yang tampak pada peta disamping. Sedangkan jarak antara kedua wilayah itu sekitar 335, 07 MIL. Mungkinkankah Kedua orang tua Karaeng Masalle mengetahui kondisi pulau yang kelak dikenal pulau oksigen itu. Dari mana kedua orang tuanya itu mendapatkan informasi tentang keberadaan pulau tersebut ( baca: Giliyang).
Di BAB I ( bagian buku ini) telah kita bahas bagaimana hubungan antara masyarakat Madura dengan para pengembara dari suku Bugis, Mandar, Bajhu dan Makasar. Sejak abad 12 sampai 14 bangsa-bangsa Cina, Arab dan suku-suku dari Nusantara (Bugis, Makasar, Bajhu, Mandar, Banjar, Jawa) berdatangan ke Madura. Kedatangan yang paling pesat terjadi ketika Sumenep-Madura berada dibawah kepemimpinan seorang tokoh kharismatik, politikus, diplomat ulang yang arif dan bijaksana, Arya Wiraraja. Ia adalah seorang tokoh yang memiliki pengaruh yang sangat besar pada masanya serta memiliki jalinan hubungan diplomatik yang amat kuat dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tak heran pada masa kepemimpinnya di Madura, banyak diantara bangsa lain datang ke Madura apakah itu untuk urusan perniagaan ataupun urusan-urusan lainnya. Masa itu pula beragam suku dari Timur datang ke Madura untuk menjalin hubungan dengan pulau ujung timur pulau Jawa tersebut. Seiring berjalanannya waktu, hubungan mereka dengan bangsa Madura semakin akrap. Jalinan tersebut mampu memperkaya pengetahun mereka, khususnya berkenaan dengan kondisi alam daerah kepulauan Sumenep-Madura. Selanjutnya, mereka tidak akrap dengan Masyarakat Madura yang ada didaratan ketika kontak niaga di bandar pelabuhan, tetapi juga dengan kondisi alam yang ada kepulauan Sumenep ketika mereka singgah dipulau tersebut.
Dawiyah, sesepuh Giliyang menuturkan bahwa, suku Mandar sejak dahulu kala seringkali singgah pulau Giliyang. Konon, suku Mandar menyebut pulau yang berada di sebelah timur kecamatan Dungkek itu dengan sebutan SUTAWIL. Mereka menganggap pulau tersebut sebagai tempat keramat yang penuh berkah sehingga ketika mereka makan tiga suapan, salah satu suapan dari makanan tersebut ia berikan ke tanah Giliyang. Begitulah riwayat yang ia terima dari Kyai Mahrean, Murid Kyai Asy’ari.
Melihat dari kenyataan diatas, tampak jelas bagi kita, bahwa amanah untuk mencari pulau yang posisinya sejajar dengan garis katulistiwa (Madura : malang Eare) itu bukan merupakan sesuatu yang asing bagi mereka, masyarakat Goa. Sebab jauh sebelumnya, Suku Bugis, Makasar, Mandar dan Bajhu sejak abad ke 12 sampai abad 14 melalui jalur bahari telah lama menjalin hubungan dengan bangsa pulau Garam tersebut. Sangat mungkin informasi berkenaan dengan adanya sebuah pulau yang dianggap unik dan keramat oleh suku Mandar telah tersebar luas di lingkungan Masyarakat Goa, hingga membuat mereka bertanya-tanya seperti apa pulau yang diperbincangkan para pelaut Mandar itu. Dimana letaknya serta bagaimana kondisi di dalamnya?. Rasa penasaran tersebut sedikit demi sedikit mulai terobati ketika para pengembara palaut Mandar, Bugis, Bajhu menjelaskan banyak hal kepada mereka ikwal keberadaan pulau tersebut. Karena itu, amatlah wajar dan tidak aneh jika orang tua Kraeng Masalle memerintahnya untuk berjalan ke arah barat, karena berdasarkan pengalaman dari para pelaut suku-suku dari Sulawesi Selatan itu, pulau tersebut berada di arah barat (tepat di arah barat daya dari kesultanan Goa).
Sebelum berangkat ke negeri rantau Karaeng Masalleh ia pergi ke pantai Losari, Sulawesi Selatan. Konon, ia tinggal disina selama 40 hari 40 malam. Di tempat tersebut ia banyak menghabiskan waktunya untuk berpuasa, berdzikir dan berdoa. Malamnya harinya, ia tenggelam dalam lautan ibadah kepada Rab-Nya. Riyadhah ini, terus ia jalani secara konsisten selama tinggal di daerah pantai tersebut. Bagi seorang Salik (orang yang berjalan menuju ma’rifatullah) latihan-latihan rohaniyah (riyadhah) merupakan suatu hal yang amat penting baginya. Berdzikir bermujahadah, berjihad melawan keangkuhan hawa nafsu, dan keaKuan yang dapat menghalangi dirinya sampai (al-ushul) pada-Nya. Latihan-latihan tersebut membutuhkan konsitensi dan keikhlasan hati dalam mengamalkannya. Dengan latihan yang konstensi dengan semangat perjuangan yang menggelora dalam hati, seorang hamba bisa sampai ke hadirat-Nya. Begitulah tradisi yang dianut oleh para sufi. Setelah selesai riyadhah tersebut ia kembali lagi ke Goa untuk bermaitan kepada kedua orang tuanya. Sebagain sumber menyatakan sebaliknya, Kraeng Masalle langsung berangkat tanpa kembali lagi untuk paminan keorang tuanya.
Sebelum memutuskan berangkat Kraeng Masalle selalu mengingat pesan ayah-bundanya untuk berjuang semata-mata hanya untuk mendapatkan ridha Allah. hidup sebagai mujahid sejati, menebarkan kebaikan, menegakkan keadilan, memberantas segala bentuk kezaliman. Satu Nasehat yang mewarnai dalam hidupnya, nantinya membangun karakter sufismenya sang Karaeng. Menyebarkan Tasawwuf-Islam dengan prinsip keteladanan (al-uswah).
Setelah mendapatkan restu sang ayah-bunda itu. Sang Karaeng pun memutuskan untuk berangkat untuk mencari letak pulau yang ia tujuh, ia berjalan ke arah barat menyusuri semenanjung Sulawesi hingga selat Madura. Kami belum memperoleh secara utuh rekam jejak perjalanan Karaeng Masalle dari Pantai Losari (saat ini kota Makasar) menuju tempat tujuan (Giliyang sekarang). Cerita tutur yang berkembang di masyarakat Giliyang hanya mengungkap perjalanannya ke tempat tujuan (baca: Giliyang) yang menurut cerita itu ia di antar oleh ikan besar. ( BERSAMBUNG)
Sabtu, 18 Maret 2017
Khazah Pitutur Sesepuh Gili
Sejarah Pemerintahan di Bancamara
Para Pemimpinan di Desa Bancamara
Sejarah pemerintahan di Bancamara seperti yang telah disebutkan, berawal dari satu sistem pemerintahan tunggal. Dalam artian belum ada pemisahan wilayah kekuasaan (Bancamara dan Banra’as). Sistem pemerintahan tunggal ini bertahan hanya sampai dua preode, yaitu preode pertama (masa kepemimpinna Kyai Abdul Hamid Sora Laksana) dan preode ke dua (masa kemepimpinan Kyai Abd. Syahid bin Kyai AbdUL Hamid). Seiring dengan perkembangan masyarakat di Gili Iyang maka berdasarkan hasil kesepakatan bersama terbentuklah pemisahan dua wilayah. Gagasan ini menjadi cikal-bakal lahirnya dua wilayah baru di Gili Iyang yang kita kenal sekarang dengan desa Banra’as dan desa Bancamara.
Berakhirnya masa kepemimpinan Kyai Abd. Syahid sekitar penghujung akhir abad XIX menjadi babak baru dalam sejarah pemerintahan di Gili Iyang. Sebab pasca kepemimpinan putra dari Kyai Hamid itu, Gili Iyang terbagi dalam dua wilayah (Banra’as dan Bancamara). Sekitar tahun 1931 M, Thaha bin Kyai Abd. Syahid naik tahta menjadi Kalebun pertama desa Bancamara.
Gung Thaha memimpin Bancamara pada masa-masa pergerakan ketika bangsa Indonesia berebut kemerdekaan yaitu mulai sekitar tahun 1931 M sampai dengan tahun 1947 M. Pada masa kepemimpinannya marupakan masa-masa sulit butuh kinerja yang ekstra untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai harapan. Pada masa itu, Gili Iyang berada dalam dua peralihan cengkraman penjajah asing, yaitu kerajaan protestan Hindia Belanda (1702-1942) serta kerajaan Sinto Jepang(1942-1945). Tragedi memilikukan banyak terjadi pada masa ini, seperti kelaparan (akibat tindakan penguasa Jepang) serta teror oleh pemerintah kerajaan Belanda dll.
Setelah 16 tahun Gung Thaha memimpin desa Bancamara, kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh putranya, Daeng Maulana Ishaq. Ia menjadi Kalebun Gili Iyang sewaktu usianya masih muda, 28 tahun. 6 tahun Daeng Ishaq memimpinan Bancamara yaitu mulai dari tahun 1947-1953 M. Setelah 6 tahun menjadi Kalebun, Daeng Ishaq diganti oleh Abdus. Kalebun Abdus hanya memimpin selama 2 tahun yaitu dari tahun 1953-1955 M. Lalu Busyairi. Dalam sejarah pemerintahan di Gili Iyang, khususnya desa Bancamara, Busyairi termasuk Kalabun paling singkat karena ia menjabat sebagai kepada desa Bancamara hanya dalam jangka waktu sebulan saja.
Pasca Busyairi, kepemimpinan di desa Bancamara dilanjutkan oleh Ra’ub (menjabat sebagai kepala desa selama 2 tahun, 1955-1957). lalu Saleh (menjabat sebagai kepala desa selama dua tahun, 1957-1959) lalu diganti oleh Muntaha alias pak emmon. Dibanding Kelebun/kader/lurah sebelumnya, pak emmon termasuk kalebun yang paling (32 tahun) yaitu 1959-1991. Setelah pak emmon turun dari jabatannya, ia diganti oleh Massakup (kalebun sakuk). Cucu dari kalebun Ra’ub menjabat kepala desa selama selama dua preode, preode I : 1991-1999 selama delapan tahun dan dilanjutkan preode II: 1999-2007) selama delapan tahun, jadi kalebun sakuk menjadi kades bancamara selama 16 tahun, emmm lumayan juga. Pasca kalebun sakuk, Rasyidi naik menjadi kades Bancamara selama 6 tahun yaitu mulai dari 2007-2013. Lalu pada tahun 2013 lalu diganti oleh Muhammad Alwi S.pd.I ( 2013-hingga sekarang).
Nah begitulah ulasan singkat sejarah pemerintahan di desa Bancamara sahabat, sudah pada tahu kan...
Sejarah Pemerintahan di Bancamara
Para Pemimpinan di Desa Bancamara
Sejarah pemerintahan di Bancamara seperti yang telah disebutkan, berawal dari satu sistem pemerintahan tunggal. Dalam artian belum ada pemisahan wilayah kekuasaan (Bancamara dan Banra’as). Sistem pemerintahan tunggal ini bertahan hanya sampai dua preode, yaitu preode pertama (masa kepemimpinna Kyai Abdul Hamid Sora Laksana) dan preode ke dua (masa kemepimpinan Kyai Abd. Syahid bin Kyai AbdUL Hamid). Seiring dengan perkembangan masyarakat di Gili Iyang maka berdasarkan hasil kesepakatan bersama terbentuklah pemisahan dua wilayah. Gagasan ini menjadi cikal-bakal lahirnya dua wilayah baru di Gili Iyang yang kita kenal sekarang dengan desa Banra’as dan desa Bancamara.
Berakhirnya masa kepemimpinan Kyai Abd. Syahid sekitar penghujung akhir abad XIX menjadi babak baru dalam sejarah pemerintahan di Gili Iyang. Sebab pasca kepemimpinan putra dari Kyai Hamid itu, Gili Iyang terbagi dalam dua wilayah (Banra’as dan Bancamara). Sekitar tahun 1931 M, Thaha bin Kyai Abd. Syahid naik tahta menjadi Kalebun pertama desa Bancamara.
Gung Thaha memimpin Bancamara pada masa-masa pergerakan ketika bangsa Indonesia berebut kemerdekaan yaitu mulai sekitar tahun 1931 M sampai dengan tahun 1947 M. Pada masa kepemimpinannya marupakan masa-masa sulit butuh kinerja yang ekstra untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai harapan. Pada masa itu, Gili Iyang berada dalam dua peralihan cengkraman penjajah asing, yaitu kerajaan protestan Hindia Belanda (1702-1942) serta kerajaan Sinto Jepang(1942-1945). Tragedi memilikukan banyak terjadi pada masa ini, seperti kelaparan (akibat tindakan penguasa Jepang) serta teror oleh pemerintah kerajaan Belanda dll.
Setelah 16 tahun Gung Thaha memimpin desa Bancamara, kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh putranya, Daeng Maulana Ishaq. Ia menjadi Kalebun Gili Iyang sewaktu usianya masih muda, 28 tahun. 6 tahun Daeng Ishaq memimpinan Bancamara yaitu mulai dari tahun 1947-1953 M. Setelah 6 tahun menjadi Kalebun, Daeng Ishaq diganti oleh Abdus. Kalebun Abdus hanya memimpin selama 2 tahun yaitu dari tahun 1953-1955 M. Lalu Busyairi. Dalam sejarah pemerintahan di Gili Iyang, khususnya desa Bancamara, Busyairi termasuk Kalabun paling singkat karena ia menjabat sebagai kepada desa Bancamara hanya dalam jangka waktu sebulan saja.
Pasca Busyairi, kepemimpinan di desa Bancamara dilanjutkan oleh Ra’ub (menjabat sebagai kepala desa selama 2 tahun, 1955-1957). lalu Saleh (menjabat sebagai kepala desa selama dua tahun, 1957-1959) lalu diganti oleh Muntaha alias pak emmon. Dibanding Kelebun/kader/lurah sebelumnya, pak emmon termasuk kalebun yang paling (32 tahun) yaitu 1959-1991. Setelah pak emmon turun dari jabatannya, ia diganti oleh Massakup (kalebun sakuk). Cucu dari kalebun Ra’ub menjabat kepala desa selama selama dua preode, preode I : 1991-1999 selama delapan tahun dan dilanjutkan preode II: 1999-2007) selama delapan tahun, jadi kalebun sakuk menjadi kades bancamara selama 16 tahun, emmm lumayan juga. Pasca kalebun sakuk, Rasyidi naik menjadi kades Bancamara selama 6 tahun yaitu mulai dari 2007-2013. Lalu pada tahun 2013 lalu diganti oleh Muhammad Alwi S.pd.I ( 2013-hingga sekarang).
Nah begitulah ulasan singkat sejarah pemerintahan di desa Bancamara sahabat, sudah pada tahu kan...
Jumat, 17 Maret 2017
ZIKIR JHU’ TARONA (ANDANG TARUNA) KETIKA MEMBABAT GILI IYANG
Ya Rahman, Ya Rahem
Se Rahem Jhelenna Iman
Se Rahen Jhelenna Orep
Rahman Mora, Rahem Ase
Kaasean Malaekat
Konkonanna Nabi-Rasul
Berengghewe-Berengghewe
Gusthe Allah Abellesan
Berengghewe-Berengghewe
Gusthe Allah Apertolongan
...Lailaha Illallah Muhammadurrasulullah
Patapaan Ghunung Agung
Patobetan Gunung Ajher
Penyeppean Gunung Rawung
Panyonthengan Kapaccarrun
Panyatheren Polo Kancana
Anembe’e Rato Mekka
Toan Allah...
Toan Allah...
Abdi Ambe Mellassaki
Allahu La Ilahaillallah
Ya Allah Rabbul ‘Alamin
... La Ilahaillalah muhamdurrasulullah
Sar-Sar Sambhe Sira
Singghe-e Rambe Sira
Kapeperan, Neneperan
Potona Rato Bujehel
Kakase Rato Bujemin
Mon Errohna Setan Bellis
Yele-Yulu, Hailan-Hailun
Merra, Merre Singghe Sumingghe
Iye Mundur-Iye Mundur
Sumundura Ka Gunung Ra-Ara
... La Ilahaillallah Muhammadurrasulullah
La Yudri Li Abshara
Wahuwa waLi Absharu
Wa Wuhawa Li Urkabi
Dudukenna Koneng Rabi
Berkat Koat Sina Mora
Allah Yuhal
Kabirullah Sawhelie Segunkabi
...La Ilahaillallah Muhammadurrasulullah
Rabban, Rabbana, Dzalamna Anfusana Arbainna Takbir Lana Lanakunna Binal-Kasirin
Du Katep Tondu
La Katep Tolak
Panulagus Kajhejheren
Olar Cendhi Atolale
Tolale Jeksa-ebu
Asta Beli Belengbengan
Kapal Jennit Paperrangan
Kamoddhi Sepat Dupolo
Mon Lajerre Sepat Iman
Pul Ompul Aperang Saruse
MASRE GUNUNG
Masre Gunung...
Turun-turun Masre Gunung
Tumurun Ka Mareng Bumi Masre Gunung
Abdhi Ambe Bellassaki Masre Gunung
Wawuwa
Wasika
Waslika
... Masre Gunung
Cur Ngalucur Masre Gunung
Ngalucur Ka Mareng Bumi Masre Gunung
Abdhi Ambe Mellassaki Masre Gunung
Wawuha
Wasika
Waslika
Ya Rahman, Ya Rahem
Se Rahem Jhelenna Iman
Se Rahen Jhelenna Orep
Rahman Mora, Rahem Ase
Kaasean Malaekat
Konkonanna Nabi-Rasul
Berengghewe-Berengghewe
Gusthe Allah Abellesan
Berengghewe-Berengghewe
Gusthe Allah Apertolongan
...Lailaha Illallah Muhammadurrasulullah
Patapaan Ghunung Agung
Patobetan Gunung Ajher
Penyeppean Gunung Rawung
Panyonthengan Kapaccarrun
Panyatheren Polo Kancana
Anembe’e Rato Mekka
Toan Allah...
Toan Allah...
Abdi Ambe Mellassaki
Allahu La Ilahaillallah
Ya Allah Rabbul ‘Alamin
... La Ilahaillalah muhamdurrasulullah
Sar-Sar Sambhe Sira
Singghe-e Rambe Sira
Kapeperan, Neneperan
Potona Rato Bujehel
Kakase Rato Bujemin
Mon Errohna Setan Bellis
Yele-Yulu, Hailan-Hailun
Merra, Merre Singghe Sumingghe
Iye Mundur-Iye Mundur
Sumundura Ka Gunung Ra-Ara
... La Ilahaillallah Muhammadurrasulullah
La Yudri Li Abshara
Wahuwa waLi Absharu
Wa Wuhawa Li Urkabi
Dudukenna Koneng Rabi
Berkat Koat Sina Mora
Allah Yuhal
Kabirullah Sawhelie Segunkabi
...La Ilahaillallah Muhammadurrasulullah
Rabban, Rabbana, Dzalamna Anfusana Arbainna Takbir Lana Lanakunna Binal-Kasirin
Du Katep Tondu
La Katep Tolak
Panulagus Kajhejheren
Olar Cendhi Atolale
Tolale Jeksa-ebu
Asta Beli Belengbengan
Kapal Jennit Paperrangan
Mon Lajerre Sepat Iman
Pul Ompul Aperang Saruse
MASRE GUNUNG
Masre Gunung...
Turun-turun Masre Gunung
Tumurun Ka Mareng Bumi Masre Gunung
Abdhi Ambe Bellassaki Masre Gunung
Wawuwa
Wasika
Waslika
... Masre Gunung
Cur Ngalucur Masre Gunung
Ngalucur Ka Mareng Bumi Masre Gunung
Abdhi Ambe Mellassaki Masre Gunung
Wawuha
Wasika
Waslika
Rabu, 15 Maret 2017
KHAZANAH PITUTUR SESEPUH GILI
Gili Labek dan Kyai Asy’ari
Kalau sahabat pitutur bertanya kepada Nelayan pemancing Gili (Madura : Pamanceng Gili), ‘’berapa jumlah pulau yang ada di Madura Timur (baca: Sumenep)’’, maka sahabat akan takjub mendengarnya. Seribu kurang satu, bigitulah makna Rubahbi (alm) menuturkan.
Wah banyak sekali ya sahabat..
Masing-masing pulau tersebut memiliki keunikan tersendiri lho sahabat. Airnya yang membiru dengan pemandangan indah binti unik bin menakjubkan. Sebagian besar dari pulau-pulau yang indah itu dapat sahabat pitutur jumpai di sebelah Timur pulau Kangean. Gili Labek termasuk satu diantara 998 pulau yang ada di Madura. Airnya yang membiru dihiyasi dengan terumbu karang yang amat indah dan menakjubkan.
Nah... sekarang redaksi pitutur akan berbagi ilmu bin cerita tentang asal usul Gili Labek dan hubungannya dengan Gili Iyang. Ude pada penasaran nich ya..
Asal Usul Gili Labek
Gili Labek berasal dari dua kata, Gili dan Labek. Gili secara harfiyah berarti tempat/daerah atau pulau, sedangkan Labek dalam bahasa Madura berarti pertolongan (maunah). Konon katanya, kata Labek berasal dari ungkapan Kyai Abdul Hamid Sora Laksana lawat sebuah peristiwa yang terjadi pada cucunya, Kyai Asy’ari bin Kyai Abd. Syahid. Mau tau ceritanya!!!
Simak ulasan berikut ini:
Suatu ketika Kyai Abdul Hamid Sora Laksana berniat mengunjungi salah satu kerabatnya dari Tanah Maksar yang tinggal di tanah Jawa. Berangkatlah beliau seorang diri ketanah Jawa untuk menemui Sora Cakraningrat. Lama tak kunjung tiba kembali membuat resah sanak fimilinya di Gili Iyang. Akhirnya Abd-syahid, Asy’ari, Muhammad Thahir, Abd- Karim berangkat menyusul Kyai Sora Laksana di tanah Jawa. Ketika mereka sampai di sebuah pulau kecil selatan pulau Poteran, angin kencang disertai gelombang yang amat besar datang secara tiba-tiba. Naas, dalam pristiwa itu Asy’ari terpental jauh dari perahu mereka. Abd-syahid, Muhammad Thahir, Abd- karim yang meilihat kejadian itu sangat kaget. Mereka tidak menyangka bahwa peristiwa tersebut menjadi akan bencana bagi mereka. Namun mereka tak mau terlelap dalam kesedian, mereka terus berusaha mencari Asy’ari sekuat tenaga, namun putra dari kyai Abd. Syahid itu tak kunjung jua mereka temukan.
Pencarian itu telah banyak memakan waktu, dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan menemui ayahanda mereka, Kyai Abdul Hamid di tanah Jawa. Ketika sudah sampai di kediaman sang ayah, ketiga saudara itu menceritakan semua musibah yang menempa Asy’ari dengan perasaan sedih dan luka, ‘’Wak waktu kami berangkat kesini, kami berempat deterjang badai, dalam kejadian itu Asy’ari terpentang jauh entah kemana, kami telah berusaha mencarinya, namun Asy’ari tidak kunjung jua kami temukan’’ melihat kegelisahan ketiga putranya itu, Kyai Sora Laksana menjawab dengan tenang, kalian tenang Asy’ari baik baik saja, di ada disuatu tempat tidak kemana-mana, udah kalian pulang duluan wak akan susul kalian (dengan mahasa Madura).
Setelah itu mereka bertigapun pamitan pulang. Di tengah perjalanan keanehan terjadi pada mereka, perahu yang mereka naiki tiba-tiba berhenti, seakan ada sesuatu yang menghalang jalan mereka. Dan ketika dilihat mereka sangat takjub, mereka menemukan Asy’ari sedang duduk bersila ditengah laut (pesisir Gili Labek sekarang) dalam keadaan berzikir. Tak lama kemudian, Kyai Hamid menyusul dengan kendaraan karocok. Ketika nyempek ditempat itu (Gili Labek sekarang), Kyai Hamid berkata ‘’MON KENG TA’ KARENA LABEKKHE ALLAH, ASY’ARI TAK KERA BISA SALAMET’’ (kalau tidak karena pertolongan Allah Asy’ari tidak akan selamat). Semenjak saat itu tempat tersebut disebut GILI LABEK-yang artinya tempat/daerah/pulau pertolongan.
Gili Labek dan Kyai Asy’ari
Kalau sahabat pitutur bertanya kepada Nelayan pemancing Gili (Madura : Pamanceng Gili), ‘’berapa jumlah pulau yang ada di Madura Timur (baca: Sumenep)’’, maka sahabat akan takjub mendengarnya. Seribu kurang satu, bigitulah makna Rubahbi (alm) menuturkan.
Wah banyak sekali ya sahabat..
Masing-masing pulau tersebut memiliki keunikan tersendiri lho sahabat. Airnya yang membiru dengan pemandangan indah binti unik bin menakjubkan. Sebagian besar dari pulau-pulau yang indah itu dapat sahabat pitutur jumpai di sebelah Timur pulau Kangean. Gili Labek termasuk satu diantara 998 pulau yang ada di Madura. Airnya yang membiru dihiyasi dengan terumbu karang yang amat indah dan menakjubkan.
Nah... sekarang redaksi pitutur akan berbagi ilmu bin cerita tentang asal usul Gili Labek dan hubungannya dengan Gili Iyang. Ude pada penasaran nich ya..
Asal Usul Gili Labek
Gili Labek berasal dari dua kata, Gili dan Labek. Gili secara harfiyah berarti tempat/daerah atau pulau, sedangkan Labek dalam bahasa Madura berarti pertolongan (maunah). Konon katanya, kata Labek berasal dari ungkapan Kyai Abdul Hamid Sora Laksana lawat sebuah peristiwa yang terjadi pada cucunya, Kyai Asy’ari bin Kyai Abd. Syahid. Mau tau ceritanya!!!
Simak ulasan berikut ini:
Suatu ketika Kyai Abdul Hamid Sora Laksana berniat mengunjungi salah satu kerabatnya dari Tanah Maksar yang tinggal di tanah Jawa. Berangkatlah beliau seorang diri ketanah Jawa untuk menemui Sora Cakraningrat. Lama tak kunjung tiba kembali membuat resah sanak fimilinya di Gili Iyang. Akhirnya Abd-syahid, Asy’ari, Muhammad Thahir, Abd- Karim berangkat menyusul Kyai Sora Laksana di tanah Jawa. Ketika mereka sampai di sebuah pulau kecil selatan pulau Poteran, angin kencang disertai gelombang yang amat besar datang secara tiba-tiba. Naas, dalam pristiwa itu Asy’ari terpental jauh dari perahu mereka. Abd-syahid, Muhammad Thahir, Abd- karim yang meilihat kejadian itu sangat kaget. Mereka tidak menyangka bahwa peristiwa tersebut menjadi akan bencana bagi mereka. Namun mereka tak mau terlelap dalam kesedian, mereka terus berusaha mencari Asy’ari sekuat tenaga, namun putra dari kyai Abd. Syahid itu tak kunjung jua mereka temukan.
Pencarian itu telah banyak memakan waktu, dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan menemui ayahanda mereka, Kyai Abdul Hamid di tanah Jawa. Ketika sudah sampai di kediaman sang ayah, ketiga saudara itu menceritakan semua musibah yang menempa Asy’ari dengan perasaan sedih dan luka, ‘’Wak waktu kami berangkat kesini, kami berempat deterjang badai, dalam kejadian itu Asy’ari terpentang jauh entah kemana, kami telah berusaha mencarinya, namun Asy’ari tidak kunjung jua kami temukan’’ melihat kegelisahan ketiga putranya itu, Kyai Sora Laksana menjawab dengan tenang, kalian tenang Asy’ari baik baik saja, di ada disuatu tempat tidak kemana-mana, udah kalian pulang duluan wak akan susul kalian (dengan mahasa Madura).
Setelah itu mereka bertigapun pamitan pulang. Di tengah perjalanan keanehan terjadi pada mereka, perahu yang mereka naiki tiba-tiba berhenti, seakan ada sesuatu yang menghalang jalan mereka. Dan ketika dilihat mereka sangat takjub, mereka menemukan Asy’ari sedang duduk bersila ditengah laut (pesisir Gili Labek sekarang) dalam keadaan berzikir. Tak lama kemudian, Kyai Hamid menyusul dengan kendaraan karocok. Ketika nyempek ditempat itu (Gili Labek sekarang), Kyai Hamid berkata ‘’MON KENG TA’ KARENA LABEKKHE ALLAH, ASY’ARI TAK KERA BISA SALAMET’’ (kalau tidak karena pertolongan Allah Asy’ari tidak akan selamat). Semenjak saat itu tempat tersebut disebut GILI LABEK-yang artinya tempat/daerah/pulau pertolongan.
Selasa, 14 Maret 2017
BreakingNews – Sempat Dibius, Dua Anak di Sumenep Nyaris Jadi Korban Penculikan
Informasi yang berkembang tentang penculikan anak yang beredar di Sumenep, Jawa Timur ternyata benar. Selasa (14/3/2017) dua anak tepatnya di Desa Banuaju Timur, Kecamatan Batang-batang nyaris jadi korban penculikan.
Mereka adalah, Baisuni (12) dan Qadi Ilyas (8). Keduanya yang masih duduk dibangku Sekolah Dasar Negeri (SDN) desa setempat, nyris diculik saat menjaga padi yang dimakan burung di sawah milik orang tuanya.
Berawal dari sekitar pukul 12.00 Wib, korban menjaga burung yang makan padi di sawahnya. Saat itu kemudian ada seorang perempuan turun dari atas sepeda motor merk beat dan menghampiri kedua korban.
Khoidir rahman selaku ketua HMPG Himpunan mahasiswa peduli giliyang menghimbau kepada seluruh masyarakat masyarakat Giliyng Bancamara dan Banraas agar berhati dan bisa mengawasi anaknya 24 jam.
Kasus ini sudah ditangani pihak Kepolisian untuk mengungkap kejahatan anak. Karena isu itu cukup meresahkan masyarakat khususnya Kabupaten paling timur madura.
Senin, 13 Maret 2017
SITUS-SITUS BERSEJARAH DI GILI IYANG
Situs Masjid Pertama Gili Iyang
Kalau sahabat pitutur berkeliling Gili, lalu bertanya kepada para sesepuh maka sahabat pitutur akan temukan beragam situs dan peninggalan bersejarah di Gili Iyang dengan kadar yang tak sedikit. Manuskrip kuno, makam, peninggalan purba, senjata dan situs bersejarah lainnya semua ada di dalamnya. Nah sahabat pitutur, redaksi pitutur kali ini akan menyuguhkan satu informasi penting seputar situs masegit pertama di Gili Iyang.
Emmm… apa itu Masegit ya..penasaran!!!
Masegit itu sahabat merupakan istilah khusus sesepuh Gili untuk menyebut masjid. Kata tersebut berasal dari bahasa arab masajid (jamak dari kata masjid) yang berarti tempat sujud alias tempat bermunajat kepada Allah. Kata itu pertamakali dipakai untuk menyebut MASJID pertama Gili Iyang yang pertamakali dibangun oleh Kraeng Masalle di pesisir pantai panggung. Konon, katika Kraeng Masalle ketika datang yang kedua kalinya bersama keluarganya (pertengahan abad-18) selain membangun rumah Panggung (rumah adat Sulawesi Selatan) beliau juga membangun rumah ibadah-yang dikemudian hari disebut Masegit. Saat itu Masegit yang dibangun masih sangat sederhana sahabat. Masegit yang dibangun oleh Kraeng Masalle tersebut menjadi sentral pendidikan Islam di Gili Iyang. Bahkan tidak hanya masyarakat Gili Iyang saja, banyak masyarakat luar Gili yang datang ke Gili Iyang untuk berguru kepada beliau. 2 diantaranya berkebangsaan Cina sahabat, wah jauh banget ya.!!
Konon katanya, Kraeng Masalle dizamannya mengajarkan beragam cabang ilmu agama, seperti tafsir, fiqih dan tasawwuf kepada santri-santri ditempat tersebut sahabat. Pada masa Kyai Abdul Hamid sora Laksana, Masegit tersebut diperbaharui sehingga menambah keasrian masjid itu. Beberapa lama kemudian Masegit yang berada di pesisir pantai (desa Bancamara sekarang) dipindah ke pinggir jalan di desa Bancamara yang kita kenal sekarang, Masjid Babussalam…
Situs tersebut sampai sekarang tetap ada di pesisir pantai panggung dan hanya tinggal pondasinya saja sabahat.
Nah begitulah riwayat singkat seputar situs Masegit partama Gili Iyang sahabat..ude pada tahu kan!!
Semua bermanfaat dan menginspirasi..amin
Situs Masjid Pertama Gili Iyang
Kalau sahabat pitutur berkeliling Gili, lalu bertanya kepada para sesepuh maka sahabat pitutur akan temukan beragam situs dan peninggalan bersejarah di Gili Iyang dengan kadar yang tak sedikit. Manuskrip kuno, makam, peninggalan purba, senjata dan situs bersejarah lainnya semua ada di dalamnya. Nah sahabat pitutur, redaksi pitutur kali ini akan menyuguhkan satu informasi penting seputar situs masegit pertama di Gili Iyang.
Emmm… apa itu Masegit ya..penasaran!!!
Masegit itu sahabat merupakan istilah khusus sesepuh Gili untuk menyebut masjid. Kata tersebut berasal dari bahasa arab masajid (jamak dari kata masjid) yang berarti tempat sujud alias tempat bermunajat kepada Allah. Kata itu pertamakali dipakai untuk menyebut MASJID pertama Gili Iyang yang pertamakali dibangun oleh Kraeng Masalle di pesisir pantai panggung. Konon, katika Kraeng Masalle ketika datang yang kedua kalinya bersama keluarganya (pertengahan abad-18) selain membangun rumah Panggung (rumah adat Sulawesi Selatan) beliau juga membangun rumah ibadah-yang dikemudian hari disebut Masegit. Saat itu Masegit yang dibangun masih sangat sederhana sahabat. Masegit yang dibangun oleh Kraeng Masalle tersebut menjadi sentral pendidikan Islam di Gili Iyang. Bahkan tidak hanya masyarakat Gili Iyang saja, banyak masyarakat luar Gili yang datang ke Gili Iyang untuk berguru kepada beliau. 2 diantaranya berkebangsaan Cina sahabat, wah jauh banget ya.!!
Konon katanya, Kraeng Masalle dizamannya mengajarkan beragam cabang ilmu agama, seperti tafsir, fiqih dan tasawwuf kepada santri-santri ditempat tersebut sahabat. Pada masa Kyai Abdul Hamid sora Laksana, Masegit tersebut diperbaharui sehingga menambah keasrian masjid itu. Beberapa lama kemudian Masegit yang berada di pesisir pantai (desa Bancamara sekarang) dipindah ke pinggir jalan di desa Bancamara yang kita kenal sekarang, Masjid Babussalam…
Situs tersebut sampai sekarang tetap ada di pesisir pantai panggung dan hanya tinggal pondasinya saja sabahat.
Nah begitulah riwayat singkat seputar situs Masegit partama Gili Iyang sahabat..ude pada tahu kan!!
Semua bermanfaat dan menginspirasi..amin
KHAZANAH PITUTUR SESEPUH GILI
Tragedi Nestapa Gili Iyang di Era Jepang
Membaca judulnya, sahabat pitutur pasti dapat menebak kearah mana tulisan ini akan dibawa. Emmmm so pasti didalamnya terdapat baaanyak cerita-cerita sedih yang memilikun bukan!. Sippp, Cerdas.
Kali ini sahabat Pitutur akan diajak bertamasya ke masa lampau, dimana di dalamnya akan kita temukan tetesan air mata yang tak pernah kering akibat desakan kesedihan dan kepedihan yang terus menerus mengalir tanpa henti. Taukah anda, kapan pristiwa itu terjadi? Ude pada penasaran nich ya!!
Narik nafas, keluarkan secara pelan-pelan, lalu simaklah ulasan berikut ini..
Pada tahun 1363 H/1944 M, begitulah ahli sejarah mencatat, masyarakat Nusantara menghadapi tantangan yang saangat berat. Bala tentara Jepang mencoba menggenggam seluruh wilayah Asia Timur Raya dengan personel militer yang sangat kecil jumlahnya dan mesin perang darat, laut dan udara yang tidak memadai untuk mempertahankannya. Dampak dari kelemahan pertahanan ini, satu persatu wilayah yang akan dijadikan lebensraum-Lahan kehidupan Baru, Guam, Saipan, Tinian, dari Kepulauan Karoin, mulai terlepas dan kembali ketangan Sekutu. Terputuslah hubungan Indonesia dengan Tokio pada juni, juli dan Agustus 1944. Dampaknya, terpukullah beban yang sangat berat bagi seluruh masyarakat Nusantara, khususnya ulama dalam menjadi tumpuan Balatentara Jepang dalam upaya memenangkan perangnya.
Perang membutuhkan pangan atau beras serta logistik lainnya. Ulama’ desa diwajibkan menyerahkan pada miliknya. Perang membutuhkan dana untuk pembangunan kembali mesin perang yang rusak. Umat Islam diwajibkan harta emas intannya. Perang membutuhkan tenaga kerja pembangunan. Dampaknya, rakyat dijadikan obyek kerja paksa atau ROMUSHA.
Selain itu, perang menyebabkan terputusnya hubungan niaga antar negara. Dalam pengadaan beras sebagai makanan pokok, pada masa penjajahan pemerintah kolonial Belanda, masih perlu impor beras dari Thailand. Bagaimana dampaknya bila hubungan niaga dengan Thailand dalam masalah pangan putus ? Bahaya kelaparan mewabah di tanah Jawa dan Madura. Tercatat sebanyak 20.000 orang di Madura mati kelaparan secara mengenaskan. Wah-wah kasian banget ya sahabat..
Masyarakat Gili Iyang termasuk diantara yang menerima kenyataan pahit itu. Mereka dipaksa tunduk, mengikuti kemauan Jepang tanpa kompromi. Kesaksian mesyarakat Gili Iyang tentang tindakan kebiadaban Rumosa dalam memaksakan kehendak mereka kepada masyarakat Gili Iyang dapat kita lihat dari tindakan-tindakan kejam mereka. Mereka memaksa masyarakat Gili bekerja keras dengan satu konsekwensi yang sangat berat, tidak dikasih makan hingga mati kelapan.
Wah-wah benar-benar kejam ya...
Muajjer berserta kawan-kawannya memberikan kesaksian, bahwa pada masa itu, banyak masyarakat Gili Iyang yang dibawa tentara Nippon -yang pada akhirnya tidak kembali lagi ke Gili Iyang. Dan yang paling menyedihkan, hadirnya Romusha di Gili Iyang dijadikan kesempatan oleh mereka yang tidak memiliki belas kasihan untuk meraup keuntungan, dengan menjual masyarakat Gili Iyang kepada balatentara Jepang untuk dipekerjakan.
Tidak hanya berhenti sampai di sini, tetapi mereka balatentara Jepang memberhentikan penyuplaian makanan untuk masyarakat Gili Iyang sehingga mereka hidup kelaparan. Mahyu, saksi sejarah yang benar-benar menyaksikan kejadian pahit tersebut menggambarkan kondisi masyarakat Gili Iyang yang sangat memprihatinkan. Mereka tidak diperbolehkan membeli beras dan jagung. Bahkan mereka tidak diperkenankan untuk memiliki makanan yang layak. Siapa saja yang memiliki bibit yang pontensial untuk ditanam, baik berupa jagung ataupun beras, maka akan segera dirampas secara paksa oleh Balatentara Jepang.
Alam Gili Iyang kala itu benar-benar diselimuti kewatiran dan ketakutan yang kian mencekam, bahkan diantara masyarakat Gili Iyang yang mungkin tidak tahan melihat kepiluan hidup yang kian mencekik itu berkata, ‘’lebih baik mati dari pada harus hidup dengan seribu penderitaan. Terus bagaimana sikap tindakan masyarakat Gili Iyang ketika ada Balatentara Jepang?
Katika ada bala tentara Jepang datang, orang yang melihat akan segara lari kecar kacir. Goa adalah salah satu tempat persembunyian yang dianggap lebih aman dari kejaran bangsa mata sipit itu, meskipun ia harus melawan rasa takut yang lain karena pasa masa itu, di dalam Goa Gili Iyang terdapat banyak ular-ular besar yang ukurannya sebesar pohon palem.
Sementara untuk malam harinya, mereka harus bersempunyi di rimbunan pepohonan (karena takut menjadi korban). Demikian jerit derita masyarakat Gili di era Jepang yang akan terus dikenang sepanjang zaman. Pada akhirnya tragedi diatas semoga bisa menjadi pemompa semangat juang untuk generasi mudanya. Aminn
Tragedi Nestapa Gili Iyang di Era Jepang
Membaca judulnya, sahabat pitutur pasti dapat menebak kearah mana tulisan ini akan dibawa. Emmmm so pasti didalamnya terdapat baaanyak cerita-cerita sedih yang memilikun bukan!. Sippp, Cerdas.
Kali ini sahabat Pitutur akan diajak bertamasya ke masa lampau, dimana di dalamnya akan kita temukan tetesan air mata yang tak pernah kering akibat desakan kesedihan dan kepedihan yang terus menerus mengalir tanpa henti. Taukah anda, kapan pristiwa itu terjadi? Ude pada penasaran nich ya!!
Narik nafas, keluarkan secara pelan-pelan, lalu simaklah ulasan berikut ini..
Pada tahun 1363 H/1944 M, begitulah ahli sejarah mencatat, masyarakat Nusantara menghadapi tantangan yang saangat berat. Bala tentara Jepang mencoba menggenggam seluruh wilayah Asia Timur Raya dengan personel militer yang sangat kecil jumlahnya dan mesin perang darat, laut dan udara yang tidak memadai untuk mempertahankannya. Dampak dari kelemahan pertahanan ini, satu persatu wilayah yang akan dijadikan lebensraum-Lahan kehidupan Baru, Guam, Saipan, Tinian, dari Kepulauan Karoin, mulai terlepas dan kembali ketangan Sekutu. Terputuslah hubungan Indonesia dengan Tokio pada juni, juli dan Agustus 1944. Dampaknya, terpukullah beban yang sangat berat bagi seluruh masyarakat Nusantara, khususnya ulama dalam menjadi tumpuan Balatentara Jepang dalam upaya memenangkan perangnya.
Perang membutuhkan pangan atau beras serta logistik lainnya. Ulama’ desa diwajibkan menyerahkan pada miliknya. Perang membutuhkan dana untuk pembangunan kembali mesin perang yang rusak. Umat Islam diwajibkan harta emas intannya. Perang membutuhkan tenaga kerja pembangunan. Dampaknya, rakyat dijadikan obyek kerja paksa atau ROMUSHA.
Selain itu, perang menyebabkan terputusnya hubungan niaga antar negara. Dalam pengadaan beras sebagai makanan pokok, pada masa penjajahan pemerintah kolonial Belanda, masih perlu impor beras dari Thailand. Bagaimana dampaknya bila hubungan niaga dengan Thailand dalam masalah pangan putus ? Bahaya kelaparan mewabah di tanah Jawa dan Madura. Tercatat sebanyak 20.000 orang di Madura mati kelaparan secara mengenaskan. Wah-wah kasian banget ya sahabat..
Masyarakat Gili Iyang termasuk diantara yang menerima kenyataan pahit itu. Mereka dipaksa tunduk, mengikuti kemauan Jepang tanpa kompromi. Kesaksian mesyarakat Gili Iyang tentang tindakan kebiadaban Rumosa dalam memaksakan kehendak mereka kepada masyarakat Gili Iyang dapat kita lihat dari tindakan-tindakan kejam mereka. Mereka memaksa masyarakat Gili bekerja keras dengan satu konsekwensi yang sangat berat, tidak dikasih makan hingga mati kelapan.
Wah-wah benar-benar kejam ya...
Muajjer berserta kawan-kawannya memberikan kesaksian, bahwa pada masa itu, banyak masyarakat Gili Iyang yang dibawa tentara Nippon -yang pada akhirnya tidak kembali lagi ke Gili Iyang. Dan yang paling menyedihkan, hadirnya Romusha di Gili Iyang dijadikan kesempatan oleh mereka yang tidak memiliki belas kasihan untuk meraup keuntungan, dengan menjual masyarakat Gili Iyang kepada balatentara Jepang untuk dipekerjakan.
Tidak hanya berhenti sampai di sini, tetapi mereka balatentara Jepang memberhentikan penyuplaian makanan untuk masyarakat Gili Iyang sehingga mereka hidup kelaparan. Mahyu, saksi sejarah yang benar-benar menyaksikan kejadian pahit tersebut menggambarkan kondisi masyarakat Gili Iyang yang sangat memprihatinkan. Mereka tidak diperbolehkan membeli beras dan jagung. Bahkan mereka tidak diperkenankan untuk memiliki makanan yang layak. Siapa saja yang memiliki bibit yang pontensial untuk ditanam, baik berupa jagung ataupun beras, maka akan segera dirampas secara paksa oleh Balatentara Jepang.
Alam Gili Iyang kala itu benar-benar diselimuti kewatiran dan ketakutan yang kian mencekam, bahkan diantara masyarakat Gili Iyang yang mungkin tidak tahan melihat kepiluan hidup yang kian mencekik itu berkata, ‘’lebih baik mati dari pada harus hidup dengan seribu penderitaan. Terus bagaimana sikap tindakan masyarakat Gili Iyang ketika ada Balatentara Jepang?
Katika ada bala tentara Jepang datang, orang yang melihat akan segara lari kecar kacir. Goa adalah salah satu tempat persembunyian yang dianggap lebih aman dari kejaran bangsa mata sipit itu, meskipun ia harus melawan rasa takut yang lain karena pasa masa itu, di dalam Goa Gili Iyang terdapat banyak ular-ular besar yang ukurannya sebesar pohon palem.
Sementara untuk malam harinya, mereka harus bersempunyi di rimbunan pepohonan (karena takut menjadi korban). Demikian jerit derita masyarakat Gili di era Jepang yang akan terus dikenang sepanjang zaman. Pada akhirnya tragedi diatas semoga bisa menjadi pemompa semangat juang untuk generasi mudanya. Aminn
KHAZANAH PITUTUR SESEPUH GILI
SEJARAH PEMERINTAHAN DI GILI IYANG
Cikal Bakal Terbentuknya struktur Pemerintahan Di Gili Iyang
Sejarah pemerintahan di Gili Iyang telah dimulai pada preode awal pembabatan (sekitar abad XVIII) saat para pembabat Gili Iyang menjalin hubungan yang sangat akrap dengan kadipaten Sumenep kala itu. Daeng Karaeng Masalle tercatat sebagai orang pertama yang menghubungkan Gili Iyang dengan pemerintah Sumenep. Persahabatan yang terjalin antara Karaeng Masalle dengan kota Sumekar mulanya diawali adanya hubungan kerjasama dalam hal pembabatan. Pada perkembangan berikutnya hubungan yang terjalin antara dua tokoh mulai meluas, menyangkut kebijakan-kebijakan politik kadipaten Sumenep waktu itu.
Adapun bentuk kebijakan politik pemerintah kedipaten Sumenep kala itu adalah menjadikan Gili Iyang sebagai tempat bagi para narapida yang telah menjelani proses kurungan di Sumenep. Panggung menjadi markaz utama para napidana di Gili Iyang dibawah pengawasan langsung dari Daeng Karaeng Masalle.
Keberhasilan Daeng Masalle dalam mendidik para pelaku kriminal telah manarik perhatian pemerintah Sumenep terhadap Gili Iyang hingga iapun dianggkat menjadi penasehat Kadipaten Sumenep di zamannya. Sepeninggal Daeng Karaeng Masalle tonggak kepemimpinan dipegang oleh putranya, Daeng Ahmad Bati, lalu dilanjutkan oleh cucunya Muhammad Husen alias Daeng Macura (Sora Difa) bin Daeng Ahmad Bati bin Daeng Masalle. Pada masa kepemimpinan Muhammad Husein, hubungan yang terjalin dengan pemerintah Sumenep tidak hanya sebatas penasehat, melainkan telah naik pada taraf yang lebih tinggi yaitu sebagai pengambil kebijakan di bidang meliter. Sultan Abdurahman Pakunataningrat menganggatnya sebagai punggawa kadipaten Sumenep yang saat itu berada dibawah kekuasaan kerajaan protestan Hindia Belanda.
Kendatipun Gili Iyang telah memiliki nama dalam pandangan Sultan Abdurrahman. Tetapi struktur pemerintahan di Gili Iyang belum diatur secara tertip. Hal tersebut disebabkan pengaruh dari sistem yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang sifatnya sentralistik. Baru pada pertengahan abad ke-19 terjadi perubahan penerapan sistem pemerintahan yang nantinya melahirkan sistem rasidensil (pemerintahan desa).
Pembantukan Struktur Pemerintahan di Gili Iyang
Kebijakan kerajaan protestan Hindia Belanda dalam merubah penerapan sistem yang sentral menjadi residensil telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap Gili Iyang. Implikasi dari perubahan kebijakan pemerintah Hindia Belanda tersebut melahirkan sistem pemerintahan baru di Gili Iyang (residensil). Pembentukan sistem baru tersebut diorentasikan untuk kepentingan penertipan administrasi pemerintahan kerajaan protenstan Hindia Belanda. Munculnya Kyai Abdul Hamid sora Laksana sebagai pemimpinan pertama menjadi babak baru yang dalam sejarah pemerintahan di Gili Iyang. Pada masa kepemimpinannya, Gili Iyang masih ada dalam satu kesatuan wilayah. Belum ada pemisahan garis toritorial batas wilayah pemerintahan antara dua desa (Banra’as dan Bancamara). Pada saat itu, Kyai Abdul Hamid Sora Laksana disebut Kalebun Gili Iyang yang sacara legal-formal menjadi pemimpin pulau tersebut. Sistem pemerintahan tunggal ini bertahan hanya sampai dua preode, yaitu pada masa kemimpinan Kyai Abdul Hamid Sora Laksana hingga masa kepemimpinan putranya, Abd. Syahid bin Kyai Abdul Hamid Sora Laksana.
Pada masa kepemimpinan selanjutnya (awal abad XX), baru terjadi pembagian kekuasaan yang kita kenal sekarang sebagai Kalebun Benra’as dan Bancamara. Thaha bin Abd. Syahid adalah pemimpinan pertama desa Bancamara, sedangkan untuk desa Banra’as dipemimpin oleh Pak Limbeng. Pengangkatan Kalebun pertama Bancamara dan Banra’as terjadi masa akhir pada penjajahan Kerajaan protestan Hindia Belanda hingga masa penjajahan Sinto Jepang (1942). Dan pada perkembangan selanjutnya terus menyalami penyempurnaan baik dari sistem maupun pola penerapannya. Dusun-dusun di masing-masing desa mulai terbantuk dengan pengelolaan yang mulai rapi.
Nah....begitulah sejarah singkat pemerintahan di Gili Iyang sahabat...sudah pade tahu kan...
SEJARAH PEMERINTAHAN DI GILI IYANG
Cikal Bakal Terbentuknya struktur Pemerintahan Di Gili Iyang
Sejarah pemerintahan di Gili Iyang telah dimulai pada preode awal pembabatan (sekitar abad XVIII) saat para pembabat Gili Iyang menjalin hubungan yang sangat akrap dengan kadipaten Sumenep kala itu. Daeng Karaeng Masalle tercatat sebagai orang pertama yang menghubungkan Gili Iyang dengan pemerintah Sumenep. Persahabatan yang terjalin antara Karaeng Masalle dengan kota Sumekar mulanya diawali adanya hubungan kerjasama dalam hal pembabatan. Pada perkembangan berikutnya hubungan yang terjalin antara dua tokoh mulai meluas, menyangkut kebijakan-kebijakan politik kadipaten Sumenep waktu itu.
Adapun bentuk kebijakan politik pemerintah kedipaten Sumenep kala itu adalah menjadikan Gili Iyang sebagai tempat bagi para narapida yang telah menjelani proses kurungan di Sumenep. Panggung menjadi markaz utama para napidana di Gili Iyang dibawah pengawasan langsung dari Daeng Karaeng Masalle.
Keberhasilan Daeng Masalle dalam mendidik para pelaku kriminal telah manarik perhatian pemerintah Sumenep terhadap Gili Iyang hingga iapun dianggkat menjadi penasehat Kadipaten Sumenep di zamannya. Sepeninggal Daeng Karaeng Masalle tonggak kepemimpinan dipegang oleh putranya, Daeng Ahmad Bati, lalu dilanjutkan oleh cucunya Muhammad Husen alias Daeng Macura (Sora Difa) bin Daeng Ahmad Bati bin Daeng Masalle. Pada masa kepemimpinan Muhammad Husein, hubungan yang terjalin dengan pemerintah Sumenep tidak hanya sebatas penasehat, melainkan telah naik pada taraf yang lebih tinggi yaitu sebagai pengambil kebijakan di bidang meliter. Sultan Abdurahman Pakunataningrat menganggatnya sebagai punggawa kadipaten Sumenep yang saat itu berada dibawah kekuasaan kerajaan protestan Hindia Belanda.
Kendatipun Gili Iyang telah memiliki nama dalam pandangan Sultan Abdurrahman. Tetapi struktur pemerintahan di Gili Iyang belum diatur secara tertip. Hal tersebut disebabkan pengaruh dari sistem yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang sifatnya sentralistik. Baru pada pertengahan abad ke-19 terjadi perubahan penerapan sistem pemerintahan yang nantinya melahirkan sistem rasidensil (pemerintahan desa).
Pembantukan Struktur Pemerintahan di Gili Iyang
Kebijakan kerajaan protestan Hindia Belanda dalam merubah penerapan sistem yang sentral menjadi residensil telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap Gili Iyang. Implikasi dari perubahan kebijakan pemerintah Hindia Belanda tersebut melahirkan sistem pemerintahan baru di Gili Iyang (residensil). Pembentukan sistem baru tersebut diorentasikan untuk kepentingan penertipan administrasi pemerintahan kerajaan protenstan Hindia Belanda. Munculnya Kyai Abdul Hamid sora Laksana sebagai pemimpinan pertama menjadi babak baru yang dalam sejarah pemerintahan di Gili Iyang. Pada masa kepemimpinannya, Gili Iyang masih ada dalam satu kesatuan wilayah. Belum ada pemisahan garis toritorial batas wilayah pemerintahan antara dua desa (Banra’as dan Bancamara). Pada saat itu, Kyai Abdul Hamid Sora Laksana disebut Kalebun Gili Iyang yang sacara legal-formal menjadi pemimpin pulau tersebut. Sistem pemerintahan tunggal ini bertahan hanya sampai dua preode, yaitu pada masa kemimpinan Kyai Abdul Hamid Sora Laksana hingga masa kepemimpinan putranya, Abd. Syahid bin Kyai Abdul Hamid Sora Laksana.
Pada masa kepemimpinan selanjutnya (awal abad XX), baru terjadi pembagian kekuasaan yang kita kenal sekarang sebagai Kalebun Benra’as dan Bancamara. Thaha bin Abd. Syahid adalah pemimpinan pertama desa Bancamara, sedangkan untuk desa Banra’as dipemimpin oleh Pak Limbeng. Pengangkatan Kalebun pertama Bancamara dan Banra’as terjadi masa akhir pada penjajahan Kerajaan protestan Hindia Belanda hingga masa penjajahan Sinto Jepang (1942). Dan pada perkembangan selanjutnya terus menyalami penyempurnaan baik dari sistem maupun pola penerapannya. Dusun-dusun di masing-masing desa mulai terbantuk dengan pengelolaan yang mulai rapi.
Nah....begitulah sejarah singkat pemerintahan di Gili Iyang sahabat...sudah pade tahu kan...
Minggu, 12 Maret 2017
KHAZAH PITUTUR SESEPUH GILI
Asal Usul Desa Banra’as
Dahulu kala, Gili Iyang termasuk diantara pula yang sunyi dan sepi. Di pulau yang kelak dikenal memilik kadar oksigen tertinggi di dunia itu banyak tumbuh pepohonan yang amat besar dan unik. Pohon baru dan pohon ra’as termasuk diantara pepohon yang dominan tumbuh di pesisir pantai (baca: desa Banra’as sekarang). Konon katanya, pohon-pohon tersebut banyak dihuni oleh makhluk astral, diantaranya jin dan kuntilanak serta makluk yang serem-serem lainnya. Sementara penduduknya masih sedikit dan berkelompok-kelompok terutama bermukim disekitar pelabuhan. Pelabuhan pada saat itu yang sering disinggahi perahu adalah pelabuhan Banbaru, Pelabuhan kecil yang digunakan masyarakat nelayan untuk berlabuh, sedangkan pelabuhan Legun merupakan pelabuhan besar yang sering disinggahi perahu layar dari Sulawesi dan Bugis, terbukti disekitar pelabuhan Legun banyak makam-makam Daeng (baca: pendatang baru dari Sulawesi Selatan).
Sekitar awal abad ke-19 pemerintah kerajaan protestan Hindia Belanda-yang saat itu menjadi penguasa di Madura-Sumenep- menerapkan satu sistem baru yang dikenal dengan pemerintahan desa. Pengaruhnya sangat besar terhadap Gili Iyang. Pada masa ini tercatat sebagai masa awal terbetuknya sistem pemerintahan di Gili Iyang. Di mulai dari Kyai Abdul Hamid Sora Laksana, lalu dilanjutkan oleh putranya, Kyai Abd. Syahid. Seiring dengan perkembangan zaman, penduduk Gili Iyang bertambah banyak. Maka berdasarkan hasil kesepakan wilayah Gili Iyang dibagi menjadi dua, Desa Bancamara dan Desa Banra’as. Demikian ini terjadi pasca kepemimpinan Kyai Abd. Syahid bin Kyai Abdul Hamid Sora Laksana sekitar tahun 1889 M. Sejak saat itulah di Gili Iyang terbagi menjadi dua wilayah, Bancamara dan Banra’as. Nama dua desa tersebut diambil dari peristiwa/sesuatu yang menonjol di dua desa itu, termasuk Desa Banraas.
Asal Usul Nama Banra’as
Desa Banra’as diambil dari dua kata nama yaitu BAN (Madura : ben) dan RAAS. Ban adalah daerah/tempat, Raas adalah sebuah pohon ra’as besar yang banyak tumbuh disekitar desa tersebut yang ditebang dijadikan tanah/lahan yang biasa ditempati rumah-rumah masyarakat dan lahan pertanian. Di kemudian hari nama-nama pepohonan tersebut dikokohkan menjadi nama Desa Banra’as.
Di sebelah utara Banraas ada pohon besar yang namanya pohon Kalompang dan bentuknya bongkok, selain sebagai tanda bagi seorang melaut , dibawah pohon itu ada gua tempat bertapa seorang Wali. Sekarang tempat itu dianggap keramat oleh masyarakat. Dengan adanya pohon yang luar biasa beda dengan pohon lain maka pohon itu dijadikan nama sebuah kampung yaitu kampung Kalompang Bongkok. Pada masa pemerintahan Bukaha, Kampung atau dusun kalompang Bongkok dirubah namanya menjadi Dusun Bongkok. Di sebelah selatan Banraas yaitu dusun Asem juga diambil dari nama pelabuhan, dipelabuhan tersebut banyak terdapat pohon asem sehingga dijadikan nama dusun yaitu Dusun Asem.
Di sebelah barat Banra’as ada pelabuhan yang disebut pelabuhan Banra’as. Nama pelabuhan itu diambil dari nama pohon yaitu Ra’as. Konon dikampung tersebut paling banyak terdapat pohon ra’as, maka tempat itu dinamakan dusun Ra’as. Di lihat dari keramaian dan perkembangan pelabuhan yang ada, Banra’as paling menonjol dibandingkan dengan yang lainnya, maka nama pelabuhan itu dijadikan nama salah satu desa di pulau Gili Iyang.
Nah..begitulah riwayat mengenai asal muasal desa Banra’as sahabat pitutur.
Semoga bermanfaat dan menginspirasi..Amin
Asal Usul Desa Banra’as
Dahulu kala, Gili Iyang termasuk diantara pula yang sunyi dan sepi. Di pulau yang kelak dikenal memilik kadar oksigen tertinggi di dunia itu banyak tumbuh pepohonan yang amat besar dan unik. Pohon baru dan pohon ra’as termasuk diantara pepohon yang dominan tumbuh di pesisir pantai (baca: desa Banra’as sekarang). Konon katanya, pohon-pohon tersebut banyak dihuni oleh makhluk astral, diantaranya jin dan kuntilanak serta makluk yang serem-serem lainnya. Sementara penduduknya masih sedikit dan berkelompok-kelompok terutama bermukim disekitar pelabuhan. Pelabuhan pada saat itu yang sering disinggahi perahu adalah pelabuhan Banbaru, Pelabuhan kecil yang digunakan masyarakat nelayan untuk berlabuh, sedangkan pelabuhan Legun merupakan pelabuhan besar yang sering disinggahi perahu layar dari Sulawesi dan Bugis, terbukti disekitar pelabuhan Legun banyak makam-makam Daeng (baca: pendatang baru dari Sulawesi Selatan).
Sekitar awal abad ke-19 pemerintah kerajaan protestan Hindia Belanda-yang saat itu menjadi penguasa di Madura-Sumenep- menerapkan satu sistem baru yang dikenal dengan pemerintahan desa. Pengaruhnya sangat besar terhadap Gili Iyang. Pada masa ini tercatat sebagai masa awal terbetuknya sistem pemerintahan di Gili Iyang. Di mulai dari Kyai Abdul Hamid Sora Laksana, lalu dilanjutkan oleh putranya, Kyai Abd. Syahid. Seiring dengan perkembangan zaman, penduduk Gili Iyang bertambah banyak. Maka berdasarkan hasil kesepakan wilayah Gili Iyang dibagi menjadi dua, Desa Bancamara dan Desa Banra’as. Demikian ini terjadi pasca kepemimpinan Kyai Abd. Syahid bin Kyai Abdul Hamid Sora Laksana sekitar tahun 1889 M. Sejak saat itulah di Gili Iyang terbagi menjadi dua wilayah, Bancamara dan Banra’as. Nama dua desa tersebut diambil dari peristiwa/sesuatu yang menonjol di dua desa itu, termasuk Desa Banraas.
Asal Usul Nama Banra’as
Desa Banra’as diambil dari dua kata nama yaitu BAN (Madura : ben) dan RAAS. Ban adalah daerah/tempat, Raas adalah sebuah pohon ra’as besar yang banyak tumbuh disekitar desa tersebut yang ditebang dijadikan tanah/lahan yang biasa ditempati rumah-rumah masyarakat dan lahan pertanian. Di kemudian hari nama-nama pepohonan tersebut dikokohkan menjadi nama Desa Banra’as.
Di sebelah utara Banraas ada pohon besar yang namanya pohon Kalompang dan bentuknya bongkok, selain sebagai tanda bagi seorang melaut , dibawah pohon itu ada gua tempat bertapa seorang Wali. Sekarang tempat itu dianggap keramat oleh masyarakat. Dengan adanya pohon yang luar biasa beda dengan pohon lain maka pohon itu dijadikan nama sebuah kampung yaitu kampung Kalompang Bongkok. Pada masa pemerintahan Bukaha, Kampung atau dusun kalompang Bongkok dirubah namanya menjadi Dusun Bongkok. Di sebelah selatan Banraas yaitu dusun Asem juga diambil dari nama pelabuhan, dipelabuhan tersebut banyak terdapat pohon asem sehingga dijadikan nama dusun yaitu Dusun Asem.
Di sebelah barat Banra’as ada pelabuhan yang disebut pelabuhan Banra’as. Nama pelabuhan itu diambil dari nama pohon yaitu Ra’as. Konon dikampung tersebut paling banyak terdapat pohon ra’as, maka tempat itu dinamakan dusun Ra’as. Di lihat dari keramaian dan perkembangan pelabuhan yang ada, Banra’as paling menonjol dibandingkan dengan yang lainnya, maka nama pelabuhan itu dijadikan nama salah satu desa di pulau Gili Iyang.
Nah..begitulah riwayat mengenai asal muasal desa Banra’as sahabat pitutur.
Semoga bermanfaat dan menginspirasi..Amin
Sabtu, 11 Maret 2017
KHAZANAH PITUTUR SESEPUH GILI
Asal usul Desa Bancamara
Kalau sahabat pitutur berkeliling di seluruh daerah Nusantara, dari sabang sampai Merauke, sahabat pitutur akan bertemu dengan tempat-tempat unik dengan nama yang variatif. Ada yang namanya panjang, ada juga yang pendek. Masing-masing diantara nama-nama tersebut memiliki latar belakang tersendiri.
Sekarang kita akan berbagi ilmu seputar asal usul desa Bancamara serta nama-nama dusun yang ada di desa itu. Kira-kira dari mana ya asal mula desa Bancamara itu!!!
Ude pada penasaran!!!
Bancamara itu merupakan satu dari dua desa di Gili Iyang. Desa tersebut terdiri dari 7 dusun, yaitu dusun Bancamara Timur, Bancamara Barat, Lembana, Baniteng Daya, Baneteng Laok, Peape dan Malengen. Kata Bancamara itu sahabat, terformulasi dari dua suku kata, Ban (dalam bahasa Madura ben) secara harfiyah berarti tempat atau daerah. Dan Camara yang berarti pohon Cemara. Sehingga kata tersebut dapat diartikan sebagai tempatnya pohon Cemara. Kata Bancamara sendiri merupakan sebutan yang telah familier ditengah-tengah masyarakat di desa tersebut sejak zaman dahulu sampai sekarang. Sebutan tersebut diberikan, karena di pesisir pantai desa dahulu kala terdapat banyak pohon Cemara.
Penamaan tempat dengan nama-nama pohon yang tumbuh ditempat tersebut merupakan hal yang biasa dalam tradisi masyarakat Gili Iyang kuno. mereka biasanya memberi nama-nama khusus tempat-tempat tertentu didasarkan pada tiga hal:
Pertama : peristiwa bersejarah
Kedua : nama-nama pepohonan
Ketiga : letak geografis
Yang termasuk dalam katagori pertama (baca: peristiwa bersejarah) misalnya dusun Baneteng yang berasal dari dua kata, Bene dan Teng. Bene (bahasa Madura) berarti umpan, atau sesuatu yang digunakan untuk memikat/menangkap binatang. Teng (Madura : singkatan dari tetteng) berarti pincang/timpang. Nama tersebut diambil dari pristiwa bersejarah pada masa Lonon. Lonon adalah gerombongan manusia sadis yang pekerjaannya mengincar manusia lain untuk dijual atau dimakan. Pekerjaan Lonon yang kejam itu benar-benar membuat takut semua orang. Siapapun yang melihatnya, niscaya ia akan lari terpingkal-pingkal (karena takut menjadi korban). Syahdan, ketika masyarakat ditempat tersebut (baca:beneteng sekarang) sedang berkerja membabat hutan belantara dipesisir pantai. Tiba-tiba lanon datang. Kedatangan Lonon membuat geger semua orang yang ada ditempat itu. Merekapun berembuk mengatur strategi yang jitu untuk mengecoh si Lonon. Dari kebiasaan Lanon mereka dapat mengetahui, bahwa bangsa berkulit hitam legam tersebut (baca: Lanon) tidak menyukai orang-orang cacat, karena mereka menganggapnya tidak potensial dibarter maupun dijual untuk dijadikan budak. Dari musyawarah tersebut melahirkan satu keputusan untuk menjadikan si pincang (Madura : se Tetteng) sebagai bene (baca:umpan) untuk si Lanon. Karena yang Lanon temukan adalah orang cacat (baca: pincang) akhirnya mereka tidak jadi membawa si pincang tersebut, hingga akhirnya Lanonpun pulang dengan perasaan putus asa. Selamatlah semua orang yang ada ditempat itu dari kejaran Lonon. Dari peristiwa itu, tempat tersebut disebut Beneteng, yang artinya umpan si Pincang.
Menurut cerita angin (meminjam bahasa Kuntowijoyo) penamaan dusun Malengen –yang berasal dari kata Pettengen-juga berangkat dari pristiwa bersejarah di tempat tersebut. Diceritakan bahwa ketika Kyai Abdul Hamid Sora Laksana ingin memerangi Lanon yang telah berada di tenggara Gili Iyang. Kyai Hamid merasa kepettengen (ada rasa pening dan nyeri di kepalanya). Hingga iapun memutuskan untuk beristirahat. Masyarakat yang melihat kejadian tersebut berkata: Kyai Lora Pettengen-yang dikemudian hari berubah menjadi Malengen.
Sedangkan menurut sumber yang lain, kata Malengen dimasukkan pada katogeri yang kedua (baca: nama pepohonan) yang ada pesisir pantai dusun. Dengan demikian penamaan dusun Malengen sama dengan dusun Peape yang juga didasarkan pada nama pohon unik yang tumbuh ditempat tersebut (baca: pohon peape).
Sementara penamaan dusun lembena didasarkan pada letak geografis dusun tersebut, yaitu berada di dataran rendah. Karena dusun Lembena dilihat dari posisinya terletak setelah dusun Baneteng yang berada didataran tinggi (baca: perbukitan). Ini dapat dipahami percakapan harian masyarakat Gili Iyang dimana mereka menyabut dusun Bateneng sebagai Ghunung ( baca: bukit). Misalnya, ketika salah satu diantara mereka ditanya, ‘’ demma’a (mau kemana)?. Ia akan menjawab ‘’engkok entara ka Ghunung (artinya, saya mau pergi ke dusun Baneteng yang berada di daerah perbukitan).
Begitulah asal muasal desa Bancamara serta nama-nama dusun ditempat tersebut sahabat.
Asal usul Desa Bancamara
Kalau sahabat pitutur berkeliling di seluruh daerah Nusantara, dari sabang sampai Merauke, sahabat pitutur akan bertemu dengan tempat-tempat unik dengan nama yang variatif. Ada yang namanya panjang, ada juga yang pendek. Masing-masing diantara nama-nama tersebut memiliki latar belakang tersendiri.
Sekarang kita akan berbagi ilmu seputar asal usul desa Bancamara serta nama-nama dusun yang ada di desa itu. Kira-kira dari mana ya asal mula desa Bancamara itu!!!
Ude pada penasaran!!!
Bancamara itu merupakan satu dari dua desa di Gili Iyang. Desa tersebut terdiri dari 7 dusun, yaitu dusun Bancamara Timur, Bancamara Barat, Lembana, Baniteng Daya, Baneteng Laok, Peape dan Malengen. Kata Bancamara itu sahabat, terformulasi dari dua suku kata, Ban (dalam bahasa Madura ben) secara harfiyah berarti tempat atau daerah. Dan Camara yang berarti pohon Cemara. Sehingga kata tersebut dapat diartikan sebagai tempatnya pohon Cemara. Kata Bancamara sendiri merupakan sebutan yang telah familier ditengah-tengah masyarakat di desa tersebut sejak zaman dahulu sampai sekarang. Sebutan tersebut diberikan, karena di pesisir pantai desa dahulu kala terdapat banyak pohon Cemara.
Penamaan tempat dengan nama-nama pohon yang tumbuh ditempat tersebut merupakan hal yang biasa dalam tradisi masyarakat Gili Iyang kuno. mereka biasanya memberi nama-nama khusus tempat-tempat tertentu didasarkan pada tiga hal:
Pertama : peristiwa bersejarah
Kedua : nama-nama pepohonan
Ketiga : letak geografis
Yang termasuk dalam katagori pertama (baca: peristiwa bersejarah) misalnya dusun Baneteng yang berasal dari dua kata, Bene dan Teng. Bene (bahasa Madura) berarti umpan, atau sesuatu yang digunakan untuk memikat/menangkap binatang. Teng (Madura : singkatan dari tetteng) berarti pincang/timpang. Nama tersebut diambil dari pristiwa bersejarah pada masa Lonon. Lonon adalah gerombongan manusia sadis yang pekerjaannya mengincar manusia lain untuk dijual atau dimakan. Pekerjaan Lonon yang kejam itu benar-benar membuat takut semua orang. Siapapun yang melihatnya, niscaya ia akan lari terpingkal-pingkal (karena takut menjadi korban). Syahdan, ketika masyarakat ditempat tersebut (baca:beneteng sekarang) sedang berkerja membabat hutan belantara dipesisir pantai. Tiba-tiba lanon datang. Kedatangan Lonon membuat geger semua orang yang ada ditempat itu. Merekapun berembuk mengatur strategi yang jitu untuk mengecoh si Lonon. Dari kebiasaan Lanon mereka dapat mengetahui, bahwa bangsa berkulit hitam legam tersebut (baca: Lanon) tidak menyukai orang-orang cacat, karena mereka menganggapnya tidak potensial dibarter maupun dijual untuk dijadikan budak. Dari musyawarah tersebut melahirkan satu keputusan untuk menjadikan si pincang (Madura : se Tetteng) sebagai bene (baca:umpan) untuk si Lanon. Karena yang Lanon temukan adalah orang cacat (baca: pincang) akhirnya mereka tidak jadi membawa si pincang tersebut, hingga akhirnya Lanonpun pulang dengan perasaan putus asa. Selamatlah semua orang yang ada ditempat itu dari kejaran Lonon. Dari peristiwa itu, tempat tersebut disebut Beneteng, yang artinya umpan si Pincang.
Menurut cerita angin (meminjam bahasa Kuntowijoyo) penamaan dusun Malengen –yang berasal dari kata Pettengen-juga berangkat dari pristiwa bersejarah di tempat tersebut. Diceritakan bahwa ketika Kyai Abdul Hamid Sora Laksana ingin memerangi Lanon yang telah berada di tenggara Gili Iyang. Kyai Hamid merasa kepettengen (ada rasa pening dan nyeri di kepalanya). Hingga iapun memutuskan untuk beristirahat. Masyarakat yang melihat kejadian tersebut berkata: Kyai Lora Pettengen-yang dikemudian hari berubah menjadi Malengen.
Sedangkan menurut sumber yang lain, kata Malengen dimasukkan pada katogeri yang kedua (baca: nama pepohonan) yang ada pesisir pantai dusun. Dengan demikian penamaan dusun Malengen sama dengan dusun Peape yang juga didasarkan pada nama pohon unik yang tumbuh ditempat tersebut (baca: pohon peape).
Sementara penamaan dusun lembena didasarkan pada letak geografis dusun tersebut, yaitu berada di dataran rendah. Karena dusun Lembena dilihat dari posisinya terletak setelah dusun Baneteng yang berada didataran tinggi (baca: perbukitan). Ini dapat dipahami percakapan harian masyarakat Gili Iyang dimana mereka menyabut dusun Bateneng sebagai Ghunung ( baca: bukit). Misalnya, ketika salah satu diantara mereka ditanya, ‘’ demma’a (mau kemana)?. Ia akan menjawab ‘’engkok entara ka Ghunung (artinya, saya mau pergi ke dusun Baneteng yang berada di daerah perbukitan).
Begitulah asal muasal desa Bancamara serta nama-nama dusun ditempat tersebut sahabat.
KHAZANAH PITUTUR SESEPUH GILI
Keris Situasik Dan Kisah Tobatnya Raja Maling
Percikan Hikmah dari Perjalan Hidup Kyai Abdul Hamid Sora Laksana.
Keris Situasik termasuk dari sekian ribu peninggalan bersejarah di Gili Iyang yang memiliki keunikan tersendiri. Cerita tentang kekuatan supranatural keris itu seakan telah menjadi hiyasan dalam tradisi lisan masyarakat polo Sere Elang. Konon, keris tersebut sering kali digunakan sebagai senjata dalam perjuangan ulama’ Gili melawan kekejaman orang-orang Belanda dan Lanon. Nah sahabat pitutur, kita akan berbagi cerita unik seputar keris situasik yang memungkinkan untuk dapat kita ambil hikmahnya. Ude pada penasaran bukan!!!
Simak ulasan berikut ini:
Pada zaman Kyai Abdul Hamid Sora Laksana, terdapatlah seorang raja maling yang amat sakti. Sebagai seorang raja maling, merampok, merampas harta orang lain dengan berbagai cara, bahkan membunuh sekalipun baginya tidak menjadi soal, asal apa yang diinginkan bisa tercapai. Tengah malam merupakan waktu yang paling tepat baginya untuk beraksi. Sebab pada malam hari, obyek sasaran biasanya terlelap tidur. Dengan demikian tengah malam adalah waktu yang paling aman untuk mencuri. Pada suatu malam, si raja pencuri itu bermaksud mengambil barang yang ada di sebuah rumah. Aksi itupun segara dimulai. Namun belum sempat barang itu diambil, tiba-tiba si pemiliki rumah bangun. Ia sangat keget melihat maling berada dirumahnya. Iapun langsung memburu dan menyerang si raja maling dengan ganas. Naas, si raja maling tersebut lebih dulu melayangkan kerisnya ke tubuh korban, dan si pemilik rumahpun langsung mati terkapar.
Melihat kejadian itu, si pencuri sangat kaget. Tanpa basa-basi ia langsung lari meninggalkan lokasi kejadian. Ia kawatir kalau perbuatannya itu sampai diketahui orang, maka malapetakalah yang akan menimpanya. Ia terus lari sekuat tenaga seraya membawa seribu penyesalan yang terpendam di dalam batinnya. Entalah mengapa, baru kali ini ia merasa takut dan kawatir. Pergolakan di dalam batinnya itu terus-menerus menghantui hidupnya. Karena itulah ia mencoba mencari solusi bagaimana cara menghilangkan beban hidup yang mendera batinnya itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk mendatangi rumah Kyai Abdul Hamid Sora Laksana di panggung (Bancamara sekarang). Dengan raut wajah yang amat sedih penuh penyesalan, Ia menceritakan semua kejadian yang menimpa hidupnya serta apa yang telah ia perbuat selama ini (baca: menjadi maling).
Mendengar cerita itu, Dengan halus Kyai Abdul Hamid memberikan nasehat padanya. Untaian nasehat Kyai Abdul Hamid itu begitu membekas dalam hatinya. Si Pencuri itu iapun akhirnya berjanji akan bertobat, kembali pada jalan yang benar seraya menyerahkan keris miliknya, dan pada akhirnya ia menjadi murid setia dari cicit Daeng Kraeng Masalle itu. Di kemudian hari Kyai Abdul Hamid melihat secara seksama bentuk keris itu, dan ternyata keris tersebut memiliki hubungan dengannya (konon keris tersebut dibuat oleh Daeng Kraeng Masalle). Karena itulah keris tersebut diberi nama SITUASIK.
Nah begitulah ceritanya sahabat pitutur...
Semoga bermanfaat dan menginspirasi...amin
Keris Situasik Dan Kisah Tobatnya Raja Maling
Percikan Hikmah dari Perjalan Hidup Kyai Abdul Hamid Sora Laksana.
Keris Situasik termasuk dari sekian ribu peninggalan bersejarah di Gili Iyang yang memiliki keunikan tersendiri. Cerita tentang kekuatan supranatural keris itu seakan telah menjadi hiyasan dalam tradisi lisan masyarakat polo Sere Elang. Konon, keris tersebut sering kali digunakan sebagai senjata dalam perjuangan ulama’ Gili melawan kekejaman orang-orang Belanda dan Lanon. Nah sahabat pitutur, kita akan berbagi cerita unik seputar keris situasik yang memungkinkan untuk dapat kita ambil hikmahnya. Ude pada penasaran bukan!!!
Simak ulasan berikut ini:
Pada zaman Kyai Abdul Hamid Sora Laksana, terdapatlah seorang raja maling yang amat sakti. Sebagai seorang raja maling, merampok, merampas harta orang lain dengan berbagai cara, bahkan membunuh sekalipun baginya tidak menjadi soal, asal apa yang diinginkan bisa tercapai. Tengah malam merupakan waktu yang paling tepat baginya untuk beraksi. Sebab pada malam hari, obyek sasaran biasanya terlelap tidur. Dengan demikian tengah malam adalah waktu yang paling aman untuk mencuri. Pada suatu malam, si raja pencuri itu bermaksud mengambil barang yang ada di sebuah rumah. Aksi itupun segara dimulai. Namun belum sempat barang itu diambil, tiba-tiba si pemiliki rumah bangun. Ia sangat keget melihat maling berada dirumahnya. Iapun langsung memburu dan menyerang si raja maling dengan ganas. Naas, si raja maling tersebut lebih dulu melayangkan kerisnya ke tubuh korban, dan si pemilik rumahpun langsung mati terkapar.
Melihat kejadian itu, si pencuri sangat kaget. Tanpa basa-basi ia langsung lari meninggalkan lokasi kejadian. Ia kawatir kalau perbuatannya itu sampai diketahui orang, maka malapetakalah yang akan menimpanya. Ia terus lari sekuat tenaga seraya membawa seribu penyesalan yang terpendam di dalam batinnya. Entalah mengapa, baru kali ini ia merasa takut dan kawatir. Pergolakan di dalam batinnya itu terus-menerus menghantui hidupnya. Karena itulah ia mencoba mencari solusi bagaimana cara menghilangkan beban hidup yang mendera batinnya itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk mendatangi rumah Kyai Abdul Hamid Sora Laksana di panggung (Bancamara sekarang). Dengan raut wajah yang amat sedih penuh penyesalan, Ia menceritakan semua kejadian yang menimpa hidupnya serta apa yang telah ia perbuat selama ini (baca: menjadi maling).
Mendengar cerita itu, Dengan halus Kyai Abdul Hamid memberikan nasehat padanya. Untaian nasehat Kyai Abdul Hamid itu begitu membekas dalam hatinya. Si Pencuri itu iapun akhirnya berjanji akan bertobat, kembali pada jalan yang benar seraya menyerahkan keris miliknya, dan pada akhirnya ia menjadi murid setia dari cicit Daeng Kraeng Masalle itu. Di kemudian hari Kyai Abdul Hamid melihat secara seksama bentuk keris itu, dan ternyata keris tersebut memiliki hubungan dengannya (konon keris tersebut dibuat oleh Daeng Kraeng Masalle). Karena itulah keris tersebut diberi nama SITUASIK.
Nah begitulah ceritanya sahabat pitutur...
Semoga bermanfaat dan menginspirasi...amin
HMPG
[11/3 19:41] Hoidir: GIIYANG DARI ZAMAN WILWATIKTA SAMPAI ZAMAN KEMERDEKAAN Oleh : Ibnu Mu’arif El-Giliy Dalam sejarah terdapat mauidhah-pelajaran dan haq-kebenaran,rahman, dan huna-petunjuk bagi orang-orang yang mengerti dan beriman ( QS 12: 11). Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghat Perhatikan sejarahmu untuk hari esokmu. (QS 59: 18) Pendahuluan Sejarah merupakapan pengalaman hidup manusia pada masa lalu dan akan berlangsung terus menerus sepanjang usia manusia. Mempelajari sejarah, antara lain bertujuan agar pengalaman manusia, baik manusia lain atau dirinya sendiri pada masa lampau dapat menjadi pelajaran, pengingat, inspirasi, sekaligus motivasi dalam menjalani kehidupan di masa sekarang dan mendatang. Mempelajari sejarah meripakan perwujudan dari tanggungjawab manusia akan hal-hal yang telah dilakukannya serta keinginan untuk dapat hidup lebih mulia di masa selanjutnya. Rasa tanggungjawab ini antara lain, terhadap dirinya sendiri, masyarakat serta bangsanya dan juga yang lebih intin, yaitu kepada sang Pencipta. Dari inilah dapat kita melihat urgensitas sejarah dalam berbagai demensi, entah politik, ekonomi, kultur-budaya, sistem sosial dll. Memahami sejarah berarti memahi jati diri, masyarakat dan bangsanya. Ia tahu dari mana ia harus memulai dan kearah batas mana perjuangan itu ia arahkan, sehingga iapun akan mampu menjadi peloporinspiratif yang bergerak dengan visi-misi yang jelas dan revolusioner. Demikian juga sebaloknya, sebuah pergerakan yang tidak disertai dengan kesadaran sejarah, akan mudah goyah terombang-ambing oleh misikan-misikan yang mematahkan semangat juang. Giliyang satu diantara ribuan pulau yang terbentang di bumi Asia Tenggara yang memilik kekayaan sejarah yang sangat luar biasa, tokoh-tokoh inspiratif visioner lahir dari bumi oksigen ini. Lalu bagaimana sebenarnya sejarah dari bumi berkah itu!!! berikut ini, ulasan sekilas historia Giliyang. Selamat membaca semuga bermanfaat
[11/3 19:42] Hoidir: Kilasan Sejarah Awal Para Leluhur Pada kurun antara 4000-2000 SM, terjadi perpindahan bangsa besar-besaran dari Asia Tenggara. Perpindahan itu terjadi, kerena semakin pesatnya perkembangan kebudayaan mereka, sehingga memperluas wilayah kekuasaannya menuju ke arah selatan. Mengalirnya migrasi bangsa Cina itu, mengakibatkan bangsa Burma, Thai dan Vietnam terpakasa menyingkir ke arah selatan1. Perpindahan mereka melahirkan cikal bakal bangsa-bangsa Protomelayu yang pada saat itu bermukim di wilayah Burma, Siam dan Indochina. Perpindahan kelompok bangsa-bangsa tersebut menyebar keberbagai wilayah, sebagian dari mereka terpaksa pindah di daerah pantai. Namun tidak sedikit diantara mereka yang terus menuju ke arah selatan, mengarungi lautan melewati Semenanjung Malaya, kemudian menyeberangi laut hinggamencapai pulau-pulau yang ada di Nusantara2. Proses perpindahan melintas lautan tersebut berlangsung secara bertahap. Umumnya dari mereka berangkat secara berkelompok.Para ahli mencatat, bahwa dalam proses transmigrasi tersebut membutuhkan waktu tang cukup lama, lebih dari 2000 tahun. Mereka meninggalkan tanah asalnya secara bersamaan, maka kelompok-kelompok tersebut tiba diberbagai pulau yang berbeda di kepulauan Nusantara. Pada mulanya mereka serumpun bangsa dan bahasanya, namun kemudian akibat dari perbedaan geografis menyebabkan terjadinya perbedaan yang semakin kentara. Pembauran dengan kelompok-kelompok berbeda (bangsa Deuteromelayu) yang datang belakangan, semakin memperkuat adanya perbedaan-perbedaan bahasa dan dialek3. Namun demikian, diantara perbedaan yang terbentuk masih dapat disaksikan adanya persamaan mendasar diantara mereka. misalnya kesamaan dalam cara menanamkan benda-benda yang ada disekitarnya, padi, pandan, ubi, udang, hujan, batu disekilingnya, atau bentuk penyebutan nama seseorang berdasarkan anama amnak sulungnya. Kesaman itu dapat dijumpai batu penggunaan kata bantu (ekor, batang, lembar, buah) dalam menghitung sesuatu. Kemudian mereka memiliki kesamaan dalam kesukaannya dalam mengkonsumsi ikan kering yang diasinkan dan dibusukkan (terasi, petis) atau makanan yang diragi. Mereka juga sama-sama senang mengadu ayam. Begitu pula warna kulit, bentuk muka, perawakan badan, serta sifat fisik 1 Sejarah sumenep hal: 21 2 Ibid hal: 21 3 Ibid hal: 21-22
[11/3 19:43] Hoidir: lainnya menunjukkan, bahwa orang-orang Nusantara itu berasal dari rumpun bangsa yang sama. Salah satu dari kelompok bangsa yang berpindah dengan mengarungi laut itu terdampar kesuatu pulau kecil yang terletak di utara, ujung timur pulau jawa. Para pendatang itu lalu menetap disana untuk kemudian menjadi nenek moyang bangsa Madura. Seperti bangsa Piah, Campa, dan Jai di Kocincina 4 . Jika dongeng yang berkembang dapat dipercaya, seorang dintara pendatang itu rupanya di lahirkan diatas rakit yang ditumpangi ibunya saat melintasi laut lepas. Sebagai akibatnya berkembanglah legenda bahwa putra laut yang dinamakan Sang Segara inilah yang merupakan penghuni pertama pulau Madura 5 . Giliyang, Sebuah Tinjauan Historis Sekalipun penelitian dan penulisan sejarah Giliyang belum banyak dilakukan orang 6 . Namun berdasarkan eksplorasi data dan informasi yang dapat direkonstruksi suatu lintasan masa lampau sejarah pulau oksigen itu ternyata telah dimulai dari ratusan tahun silam. Berdasarkan cacatan sejarah perkembangan masyarakat daerah kepualaun Madura timur dapat kita ketahui, bahwa Giliyang telah dikenal pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha tempo dulu, jauh sebelum agama Islam berkembang di Sumenep. Pertanyaannya adalah dari manakah mereka mengenal pulau sere elang itu. Siapa yang memperkenalkan kepada mereka. Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita harus melacak lintasan sejarah Madura-Sumenep khususnya. Karena bagaimanapun Giliyang sebagai bagian dari Sumenep tidak dapat dipisahkan dari sejarah kota Sumekar itu. Dari catatan sejarah Madura-Sumenep yang terekam dalam tulisan-tulisan para ahli itu disebutkan bahwa interaksi dan perkenalan itu dimulai saat para saudagar dan wirausahawan bangsa-bangsa asing yang melintasi selat Madura untuk kepentingan bisnis mereka. Para saudagar yang terdiri dari bangsa India, Cina, dan Arab kemudian suku Bugis, Makasar, Mandar dan Bajhu dari Sulawesi Selatan. Mereka sering melintasi selat Madura ketika mereka mengadakan kontak niaga dengan beragam suku bangsa di Nusantara. Bangsa India adalah yang 4Ibid hal: 22 5Tentang kisah Raden Segara bisa dibaca dalam buku sejarah Madura selayang Pandang, ditulis oleh Drs. Abdurrahman, juga dapat dibaca dalam buku The Histori of Madura, Sejarah Panjang Madura Dari Kerajaan Kolonialisem Dampai Kemerdekaan, hak: 19-20). ( lihat: Abdurrahman, cetakan kedua, terbit tahun 1971. Hal: 2-4 ) 6Penelitian seputar sejarah Giliyang masih jauh dari kata sempurna, hal tersebut disebabkan tidak adanya sumber yang memadai, sebagian sumber yang ada terbatas pada sejarah lisan (oral histori) dan tradisi lisan yang diwariskan dari generasi kegenerasi yang seiring usia zaman perhatian terhadap sejarah mulai memudar di kalangan generasi muda
[11/3 19:44] Hoidir: oleh sejarawan disebut sebagai bangsa pertama yang mengadakan interaksi dengan Nusantara dengan misi yang spektakuler. Datangnya bangsa India telah membawa satu perubahan yang cukup mendasar dalam tatanan kehidupan sosial-kemasyarakat maupun dalam aspek kepercayaan. Hindu dan Budha lahir yang menggantikan kepercayaan animis yang memucatkan perhatian pada pemujaan roh nenek moyang dan benda-benda magis yang dianggap superior dari dirinya. Di susul bangsa Cina, Arab dan bangsa-bangsa lain di dunia yang membawa semangat perubahan dalam gerakan-gerakan sosial. Dari peninggalan purbakala, berupa kapak dan perunggu (sebagai ujud peradaban Dongson) yang ditemukan di Madura oleh para arkeolog-arkeolog terkemuka ternyata memiliki tipe yang sama dengan yang ada di daratan Cina Selatan dan Asia Tenggara. Dan bukti tersebut menjadi dalil penguat terjalinnya hubungan masyarakat Madura dengan daratan Asia. Bangsa Madura dengan bekal keberanian dan kepiayawan mereka dalam seni berlayar telah sampai kedaratan Cina, India, dan Arab untuk melakukan proses niaga. Dalam buku ‘’Sejarah Sumenep’’ disebutkan bahwa para pelaut-pelaut Madura menyediakan parahunya untuk membawa pedagang dari bangsa lain mengarungi lautan lepas7. Sejak saat itulah Madura mulai dikenal oleh suku bangsa di dunia, yang akhirnya mendorong mereka untuk melakukan kontrak niaga lebih inten dengan bangsa yang berada di ujung timur pulau Jawa itu. Pada sekitar tahun 1017 M, Kegiatan perdagangan luar Negeri dengan Cina dan Negara Asia lainnya pada masa pemerintahan raja Erlangga kembali ramai. Dampaknyapun sangat serius terhadap perkembangan kebudayaan dan peradaban bangsa Madura. Pengalaman yang luas dalam dunia laut menjadi jalan utama bangsa Madura mengenal bangsa-bangsa lain di di dunia. Ketika interaksi semakin inten, bangsa-bangsa lain mulai ramai mendatangi Madura. Puncaknya terjadi sekitar abad 12 sampai abad ke-13 M, ketika Madura-Sumenp dipimpin oleh Aria Wira Raja (1269-1292 M), Sumenep telah menjadi satu pelabuhan penting yang banyak disinggahi perahu-perahu dan kapal-kapal baik dalam maupun luar negeri. Pelabuhan Sumenep saat itu termasuk pelabuhan translit, bagi kapal yang berlayar dari segala jurusan, misalnya India, Cina, dan negeri-negeri lainnya8. Penting untuk dicatat bahwa untuk menuju pelabuhan wilayah Sumenep (saat itu di Kaleanget dan Kertasada (tepatnya di muara sungai Kali Marengan) jalan yang biasa ditempuh adalah selat pulau Poteran dan Giliyang9. Dari arah Selatan selat yang 7 Sejarah Sumenep Hal: 23 8 Sejarah Sumenep Hal: 43, Lihat Juga The Histori Of Madura Hal: 53-56 9 Lihat Sejarah Sumenep Hal: 35
[11/3 19:46] Hoidir: ditempuh adalah selat Poteran sementara kalau dari arah utara, melewati selat Giliyang. Letaknya yang stategis tersebut Giliyang salah satu pulau yang banyak dilihat oleh para saudar ataupu pelaut yang ingin berlabuh di pelabuhan Kalenget dan Kertasada. Interaksi mereka dengan daearah kepulauan Sumeneppun cukup inten, apalagi ketika ada gelombang besar dan cuaca yang tidak bersahabat, mereka lebih memilih singgah dikepulauan daripada melanjutkan perjalanan yang beresiko dan berbahaya itu, sehingga lama-kelamaan mereka tambah akrap dengan suasana yang ada di daratan kepulauan Madura khususnya Sumenep. Dari sekian banyak bangsa asing yang berlayar melintasi selat Gili Iyang dan yang sering singgah dipulau tersebut dan berhasil tercatat dalam ingataan para sesepuh Giliyang adalah suku Bugis dan Mandar. Suku Mandar dengan rahu layarnya yang khas, mampu berlayar dan mengarungi ganasnya lautan sampai mancanegara. Ketika mereka berlayar, mereka seringkali singgah di Giliyang. Menurut Dawiyah bersumber dari Kyai Mahrean 10 dan Kyai Asy’ari 11, suku Mandar dahulu kala menyebut giliyang ‘’Sutawil’’. Dan merekapun menyakini, bahwa Giliyang memiliki tanah yang berkah lagi keramat. Karenanya, setiap orang Mandar makan tiga suapan, maka salah satu suapan tadi ia berikan ketanah Giliyang yang mereka yakini keberkahannya 12 Suku Bugis dan suku Mandar termasuk dua suku di Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai pelaut ulung yang tangguh. Orang Mandar dan Bugis sejak dahulu kala dengan perahu layarnya telah sampai kedaratan mancanegara. Ketangguhan dan keberanian mereka dalam mengarungi lautan lepas dapat disejajarkan dengan bangsa Cina dan Melayu. yang disebut oleh Raffles dalam bukunya ‘’The History of Java’’ sebagai ‘’ the life and soul of the commerce of the country (nyawa dan jiwa dari perdagangan negara). Mereka adalah ‘’..... maritime and commercial, devoted to speculations of gain, animeted by spirit of adventure, and accustomed to distand and hazardous enterprizes’’ (maritim yang komersial, tekun dalam spekulasi keuntungan, digerakkan oleh semangat petualangan, dan terbiasa pada usaha yang jauh dan berbahaya). Tak ketinggalan sastrawan dan ulama’ besar Indonesia, Buya Hamka ikut memuji 10 Kyai Mahrean adalah tokoh Gili Iyang yang berada di di desa Banra’as. Ia termasuk murid dari Kyai Asy’ari panggung. 11 Kyai Asy’ari adalah salah satu Ulama’ Gili Iyang yang gemar berdakwah dari satu daerah-kedaerah lain. Ia merupakan Putra dari Kyai Abdul Hamid Sora Laksana, seorang tokoh, ulama’ dan pejuang pulau Gili Iyang. 12 Kalau kita hubungkan kisah cerita mutawatir tersebut dengan doktrin Animisme dan dinamisme maka akan tampak bagi kita bahwa orang-orang pertama singgah di Giliyang terjadi pada kepercayaan animisme dan dinamisme masih melekat ditengah-tengah masyarakat, kalau fakta ini dapat dibenarkan maka kita dapat mengimpulkan bahwa Giliyang yang kita kenal sekarang telah dikenal sebelum berkembangnya kepercayaan Hindu-Budha di Indonesia
[11/3 19:47] Hoidir: suku Bugis. Ia menyebutnya sebagai kaum petualang yang gagah berani mengadu nasib diatas ganasnya ombak dan gelombang tegas penulis buku ‘’Tenggelamnya kapal Vanderwi’’j itu dalam ‘’Perbendaharaan Lama’’. Riwayat perjalanan suku Bugis, dan Mandar dapat kita ketahui melalui penelusuran sejarah migrasi suku Bugis, Makasar dan Mandar ke kepulauan Madura. Menurut Mien Ahmad Rifa’i dalam ‘’Manusia Madura’’, penduduk yang menempati daerah kepulauan terdiri dari ragam suku bangsa seperti Bugis, Banjar, Cina, Arab, dan Jawa 13. Perpindahan mereka dari daerah asalnya telah dimulai ratusan tahun yang lalu. Proses mingrasi ini dilatar belakangi adanya berbagai macam kebutuhan, seperti kebutuhan dalam sektor prekonomian, sosial-kemasyarakatan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. H. Daeng Sultani menuturkan bahwa orang-orang Bugis Sulawesi pindah dari tanah asalnya kerena beberapa hal, seperti desakan kebutuhan hidup, mencari wilayah pertanahan dan pertanian yang lebih luas, atau mungkin juga wilayah bahari yang dianggap lebih menjanjikan dibanding daerah asalnya. Mereka pindah dengan bergelombang dan berkelompok diantara mereka adalah yang berjumlah 40 orang lalu menyebar satu persatu didaerah Pepulauan. Jejak orang Bugis di kepulauan Sumenep sampai sekarang tetap ada, seperti adanya kampung Bugis di daerah Cellong Kangean. Dari segi bahasa, walaupun mereka telah berbahasa Madura, tetapi dialek dan intonasi tetap memakai intonasi yang sama (Sulawesi) seperti di daerah Bentelan dan Cellong Kengean. Perpindahan masyarakat Bugis dan Makasar itu semakin besar pasca jatuhnya benteng Sumba Opu dan ditandatangi perjanjian Bongaya di tahun 1667 oleh Sultan Hasanudin. Temuan yang menarik yang patut dikaji dan diteliti adalah kuburan-kuburan Cina yang ada dusun Malengen desa Bancamara. Di salah satu pemakaman terluas dan tertua di Giliyang itu ditemukan makam-makam Cina dengan jumlah yang tidak sedikit. Salah satu kuburan yang belum jelas identitasnya, bertarikh tahun 1500-an. Dari temuan tersebut mengisyaratkan, bahwa yang singgah di Giliyang tidak hanya orang Mandar atau Bugis saja, melainkan terdiri berbagai macam ragam suku bangsa, seperti bangsa Cina, Arab atau mungkin juga India. Kalau melihat pada bukti nisan tersebut, sangat mungkin pada masa ini Giliyang telah dihuni dan ditempati, tetapi mungkin dengan jumlah yang sangat terbatas. Sebab, kendatipun dalam batu nisan tersebut tidak tertulis secara jelas, tetapi jenis batu nisan yang memiliki corak dan bentuk yang sama dengan yang bertarikh 1500-an ternyata sukup banyak ditempat tersebut. Di daerah pinggir 13 Lihat Manusia Madura hal: 30
[11/3 19:49] Hoidir: pantai tajungan desa Bancamara, juga terdapat pemakaman yang besar, seperti di dusun Malengan. Di pemakanan yang berada di pinggir pantai berpasir putih itu juga ditemukan beberapa batu nisan yang bentuknya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Malengen. Satu batu nisan lagi mirip dengan kuburan Cina dengan tarikh dan identitas yang belum jelas. Selain itu, berdasarkan keterangan para sesepuh bahwa orang-orang Arab terdiri dari para sayyid seringkali singgah di kepulaun Sumenep, mereka juga sering singgah dipulau Giliyang. Barangkali selain tujuan perniagaan mereka juga bertujuan untuk berdakwah, mensyiarkan agama Islam. Seorang sayyid keturunan Arab bersama rombongannya berlayar dari semenanjung laut Jawa menuju Madura hingga sampai ke Giliyang, menurut Aqil 14 namanya adalah sayyid Sulaiman sekarang kuburannya di kenal sebagai Asta Keramat. Diri pantai dusun raas ada makam seorang sayyid, masyarakat Giliyang menyebutnya dengan Se Toan. Toan adalah terjemahan dari sayyid dalam Bahasa arab. Gelar sayyid sendiri merupakan gelar khusus yang diberikan kepada orang yang memiliki hubungan nasab dengan baginda Nabi. Dalam tradisi masyarakat Madura-Giliyang gelar tersebut biasanya diberikan kepada orang yang dituakan atau orang yang dijadikan sebagai tokoh pembimbing masyarakat. Sedangkan nama aslinya adalah Sayyid Ali. Makamnya sekarang ada di desa Banra’as. Perkembangan masyarakat semakin pesat pasca abad ke-15. Bukti empiris, berupa batu nisan berbentuk seperti tombak dan ukiran kembang telah tersebar di berbagai titik di Giliyang. Di daerah pantai sendiri banyak kuburan- kuburan kuno yang menggunakan batu nisan yang sama, hanya kerena tidak terawat akhirnya banyak yang di telan ombak dan badai, Seperti daerah Leggun, Raas, Benassem, Melengen, Somor Taman, Coet, Beneteng, dan sejumlah titik lain di Giliyang. Bertolak dari batu nisan pemakaman umum daerah pantai. Diduga kuat, era awal masyarakat Giliyang menetap di pinggiran pantai, pulau oksigen. Mereka berbentuk kelompokkelompok dengan jumlah yang masih sangat terbatas. Tahap awal kehidupan masyarakat Giliyang kuno bergantung pada penghasilan laut dan sebagian dari alam dengan kadar yang masih terbatas. Ini dapat kita lihat dari penghuni pertama pulau tersebut di dominasi oleh mereka yang hidupnya malang melintang dilautan. Suku Bugis dan Mandar begitu juga Bajhu sebagaimana telah disebutkan di awal merupakan masyarakat pelaut yang tangguh yang 14 Yang dimaksud Aqil adalah Raden Muhammad Aqil, masyarakat Giliyang memanggilnya Agung atau Gung Aqil, ia termasuk salah satu sesepuh Giliyang yang berpengaruh serta memiliki kedalaman ilmu Tasawwuf
[11/3 19:50] Hoidir: kehidupannya di daerah rantau khususnya di Madura-Sumenep. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mereka banyak bergantung pada kekayaan laut. Kehidupan masyarakat awal Giliyang cukup terjal dengan berliku. Tantangan baru berupa kebutuhan-kebutuhan hidup yang semakin kompleks mengharuskan mereka untuk berfikir lebih jauh dalam melakukan upaya-upaya yang strategis guna mempertahankan hidupnya. Maka langkah yang mereka lakukan adalah melakukawan perluasan wilayah tempat tinggal, yang mulanya hanya terbatas di pinggiran pantai Giliyang, kemudian mereka perluas hingga sampai kedaratan perbukitan 15. Proses permindahan mereka dari daerah pinggir pantai tampaknya tidak hanya didesak oleh kebutuhan akan tempat tinggal, tetapi kebutuhan-kebutuhan lain seperti kebutuhan akan lahan pertanian, peternakan dan kebutuhan hidup mereka sendiri. Pembabatan Giliyang, Awal Perkembangan Pulau Oksigen Di awal saya telah menyebutkan, bahwa perkenalan bangsa-bangsa asing terhadap Giliyang yang waktu masih belum ditempati orang (untuk berdomisi) telah di mulai ratusan tahun yang lalu. Para sudagar asing dan pelaut yang mengadu nasib diantara ganasnya ombak dan gelombang seringkali melintasi selat Giliyang. Giliyang yang oleh orang Mandar disebut sutawil mulai dikenal orang timur (masyarakat Sulawesi), sebagai pulau yang posisinya tegak lurus dengan garis katulistiwa (malang eare). Tanahnya mengandung berkah, keramat serta angker. Melalui mereka, para saudagar dan pelaut Bugis, Mandar, Makasar, Baju dari Sulawesi Selatan, serta para pengembara dari Pulau Binongko, Sulawesi Tenggara. Pulau yang ada di sebelah timur kecamatan dungkek itu, mulai akrap dalam pembicaraan mereka. Mungkin karena sering disinggung dan di bicarakan tentang adanya pulau berkah dan keramat tersebut oleh mereka yang pernah singgah di Giliyang, membuat mereka tergugah untuk segara sampai di pulau yang kelak memiliki kadar oksigen tertinggi di dunia itu. Sekitar abad ke 12 sampai abad 14, Giliyang hanya di jadikan sebagai tempat singgah mereka sedang melakukan perniagaan melalui jalur laut di daerah Madura. Memang tujuan mereka adalah hanya singgah dan berlabuh di daratan pulau Giliyang apabila terjadi gelombang besar yang tidak memungkin untuk melanjutkan perjalanan. Ini menjadi awal perkenalan mereka terhadap Giliyang sekaligus menjadikan pulau tersebut, dikenal oleh Masyarakat pelaut Nusantara. Penting untuk dicatat bahwa abad ke 12 sampai abad ke 14 belum ada orang yang 15 Masyarakat Giliyang menyebut perbukitan itu sama dengan Gunung dalam pemahaman banyak orang
[11/3 19:51] Hoidir: secara serius menggarap Giliyang untuk dijadikan sebagai pemikiman penduduk. Baru sekitar abad ke 15 mulai pembukaan lahan sebagai wahana tempat tinggal nenek moyang masyarakat Giliyang. Bukti-bukti empiris berupa batu nisan bertarih 15 di dusun Benmalengan menjadi salah satu bukti bahwa proses pembabatan Giliyang berjalan dengan rentan waktu yang cukup lama. Proses pembatatan Giliyang itu tidak mulus, banyak tantangan-tantangan yang harsu dihadapi oleh mereka, para insprirator pembabat Giliyang. Kondisi geografis alamnya yan belumnya banyak terjamah manusia menjadi tantangan tersendiri bagi mereka. proses yang rumit itu Namun dari sekian dari tokoh-tokoh yang dikenal sebagai pembabat Giliyang terbatas pada tiga tokoh saja. Tiga tokoh tersebut adalah Daeng Kareng Masalle, Jhu’ sanga’ , dan Jhu’ Tarona ( Andang Taruna). Ke tiga tokoh tersebut berasal dari latar belakang yang berbeda. Menurut cerita tutur yang dianggap valid, jhu’ sanga’ sendiri berasal dari barat ( mungkin dari Sumenep). Ia datang ke Giliyang dengan naik sebatang kayu besar. Ia membawa gentong ( Madura: pelteng) , lenggis (Madura: Rajheng), dekko semacam Lesung. Alat-alat yang di ia bawa itu kemudian dijadikan sebagai sarana untuk membabat hutan belantara Giliyang yang penuh dengan misteri dan angker itu. tidak ada catatan yang pasti pada tahun berapa Jhu’ Sanga’ datang untuk pembabat Giliyang. Tetapi, dari alat-alat tradisional itu kita dapat memahaminya bahwa zaman di mana Ju’ sanga’ membuka jalan pembabatan Giliyang, termasuk zaman dimana teknologi dan peralatan yang mapan belum lahir. Dari pembatan yang digagas oleh jhu’ sanga’ ini, terbentuklah satu pemukiman kecil di Giliyang dan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Tokoh kedua yaitu Ju’ Tarona (Andang Taruna) yang dikenal masyarakat adalah berasal dari pulau Binongko (sekarang termasuk kebupaten Wakatobi) Sulawesi Tenggara. Semenjak berada di tanah kelahirannya (baca : pulau Binongko) Ju’ Tarona sering berfikir untuk bisa sampai ke pulau yang menempati posisi tegak lurus dengan garis Katulis tiwa ( Madura: malang Eare). Rasa ingin tahu akan terhadap pulau keramat itu terus bergejolak dalam hatinya. Sangat mungkin rasa perasaan yang terlukis dialam batinnya dibentuk oleh informasi terus bergulir tentang adanya pulau yang unik di kepualauan Madura timur. Setelah melalui perjuangan yang cukup terjal dari daerah asalnya, akhirnya ia sampai di tempat yang menjadi berbincangan para pengembara waktu itu. Datang ke Giliyang bersama dua orang lainnya, yang
[11/3 19:52] Hoidir: satu adalah mendiang istrinya dan satu lagi sosok yang tak dikenal 16. Disusul adiknya Jejhep Prana, dan dibantu para pengikut dan kerabatnya yang datang dari pulau Binongko. Dan tidak absen pula, murid Jhu’ Tarona yang awalnya berasal dari orang-orang yang gila yang ia obati, ikut serta membantu sang guru dalam menjalankan misi pembabatan tersebut. M isi Ju’ Tarona dalam membabat Giliyang tidak sampai selesai. Kerena tiga tahun setelah proses pembabatan berjalan, Jhu’ Taronapun akhirnya wafat. Makamnya sekarang ada di Buchel Giliyang Banra’as. Tokoh ketiga pembabat Giliyang adalah Daeng Karaeng Masalle, yang lebih akrap disapa Datu’ Daeng. Daeng Masalle adalah seorang ulama’ yang masih memiliki pertalian darah dengan kasultanan Goa-Tallo dan masih termasuk keponakan dari Sultan Alauddin. Latar belakang kehijrahan Karaeng Masalle ke Giliyang, diawali oleh adanya sebuah tugas mulya dari ke dua orang tuanya, mengemban dakwah, menyabarkan agama Islam di bumi seberang, serta mencari sebuah pulau yang posisinya tegak lurus dengan garis katulistiwa (Madura: malang eare). Tita mulya itupun ia laksanakan sebuah hati, seraya penuh harap semuga apa yang ia jalani menjadi jalan untuk menggapai ridha Ilahi. Karaeng Masalle datang dua kali ke Giliyang. Kedatangannya yang pertama dalam rangka survei tempat, sedangkan yang kedua kalinya bertujuan untuk berdomisili bersama keluarganya di Giliyang. Dalam proses pembabatan Giliyang Karaeng Masalle mendapat dukungan penuh dari Adipati Sumenep. Dalam proses pembabatan tersebut , Karaeng Masalle banyak mendapat bantuan dari Kadipaten Sumenep. Bantuan tersebut, dikirim langsung oleh sang Adipati guna ikut serta membantu menyukseskan pembabatan Giliyang. Kalau sebelumnya hanya terbatas pada beberapa titik saja tetapi pada masa Karaeng Masalle telah digarap secara serius sehingga hasilnyapun sangat maksimal. Upaya maksimalisasi pembabatan pada tahapan berikutnya tidak hanya pada perluasan wilayah tetapi juga pengisian penduduk yang berasal dari berbagai macam tempat dengan latar belakang yang berbeda. Asimilasi penduduk Giliyang melalui perkawinan terus berlangsung dan berkembang dengan cepat.(bersambung). 16 Bagaimana proses an perjalanan Andang Taruna dalam membabat Giliyang, akan diuraikan dalam bab selanjutkan
[11/3 19:42] Hoidir: Kilasan Sejarah Awal Para Leluhur Pada kurun antara 4000-2000 SM, terjadi perpindahan bangsa besar-besaran dari Asia Tenggara. Perpindahan itu terjadi, kerena semakin pesatnya perkembangan kebudayaan mereka, sehingga memperluas wilayah kekuasaannya menuju ke arah selatan. Mengalirnya migrasi bangsa Cina itu, mengakibatkan bangsa Burma, Thai dan Vietnam terpakasa menyingkir ke arah selatan1. Perpindahan mereka melahirkan cikal bakal bangsa-bangsa Protomelayu yang pada saat itu bermukim di wilayah Burma, Siam dan Indochina. Perpindahan kelompok bangsa-bangsa tersebut menyebar keberbagai wilayah, sebagian dari mereka terpaksa pindah di daerah pantai. Namun tidak sedikit diantara mereka yang terus menuju ke arah selatan, mengarungi lautan melewati Semenanjung Malaya, kemudian menyeberangi laut hinggamencapai pulau-pulau yang ada di Nusantara2. Proses perpindahan melintas lautan tersebut berlangsung secara bertahap. Umumnya dari mereka berangkat secara berkelompok.Para ahli mencatat, bahwa dalam proses transmigrasi tersebut membutuhkan waktu tang cukup lama, lebih dari 2000 tahun. Mereka meninggalkan tanah asalnya secara bersamaan, maka kelompok-kelompok tersebut tiba diberbagai pulau yang berbeda di kepulauan Nusantara. Pada mulanya mereka serumpun bangsa dan bahasanya, namun kemudian akibat dari perbedaan geografis menyebabkan terjadinya perbedaan yang semakin kentara. Pembauran dengan kelompok-kelompok berbeda (bangsa Deuteromelayu) yang datang belakangan, semakin memperkuat adanya perbedaan-perbedaan bahasa dan dialek3. Namun demikian, diantara perbedaan yang terbentuk masih dapat disaksikan adanya persamaan mendasar diantara mereka. misalnya kesamaan dalam cara menanamkan benda-benda yang ada disekitarnya, padi, pandan, ubi, udang, hujan, batu disekilingnya, atau bentuk penyebutan nama seseorang berdasarkan anama amnak sulungnya. Kesaman itu dapat dijumpai batu penggunaan kata bantu (ekor, batang, lembar, buah) dalam menghitung sesuatu. Kemudian mereka memiliki kesamaan dalam kesukaannya dalam mengkonsumsi ikan kering yang diasinkan dan dibusukkan (terasi, petis) atau makanan yang diragi. Mereka juga sama-sama senang mengadu ayam. Begitu pula warna kulit, bentuk muka, perawakan badan, serta sifat fisik 1 Sejarah sumenep hal: 21 2 Ibid hal: 21 3 Ibid hal: 21-22
[11/3 19:43] Hoidir: lainnya menunjukkan, bahwa orang-orang Nusantara itu berasal dari rumpun bangsa yang sama. Salah satu dari kelompok bangsa yang berpindah dengan mengarungi laut itu terdampar kesuatu pulau kecil yang terletak di utara, ujung timur pulau jawa. Para pendatang itu lalu menetap disana untuk kemudian menjadi nenek moyang bangsa Madura. Seperti bangsa Piah, Campa, dan Jai di Kocincina 4 . Jika dongeng yang berkembang dapat dipercaya, seorang dintara pendatang itu rupanya di lahirkan diatas rakit yang ditumpangi ibunya saat melintasi laut lepas. Sebagai akibatnya berkembanglah legenda bahwa putra laut yang dinamakan Sang Segara inilah yang merupakan penghuni pertama pulau Madura 5 . Giliyang, Sebuah Tinjauan Historis Sekalipun penelitian dan penulisan sejarah Giliyang belum banyak dilakukan orang 6 . Namun berdasarkan eksplorasi data dan informasi yang dapat direkonstruksi suatu lintasan masa lampau sejarah pulau oksigen itu ternyata telah dimulai dari ratusan tahun silam. Berdasarkan cacatan sejarah perkembangan masyarakat daerah kepualaun Madura timur dapat kita ketahui, bahwa Giliyang telah dikenal pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha tempo dulu, jauh sebelum agama Islam berkembang di Sumenep. Pertanyaannya adalah dari manakah mereka mengenal pulau sere elang itu. Siapa yang memperkenalkan kepada mereka. Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita harus melacak lintasan sejarah Madura-Sumenep khususnya. Karena bagaimanapun Giliyang sebagai bagian dari Sumenep tidak dapat dipisahkan dari sejarah kota Sumekar itu. Dari catatan sejarah Madura-Sumenep yang terekam dalam tulisan-tulisan para ahli itu disebutkan bahwa interaksi dan perkenalan itu dimulai saat para saudagar dan wirausahawan bangsa-bangsa asing yang melintasi selat Madura untuk kepentingan bisnis mereka. Para saudagar yang terdiri dari bangsa India, Cina, dan Arab kemudian suku Bugis, Makasar, Mandar dan Bajhu dari Sulawesi Selatan. Mereka sering melintasi selat Madura ketika mereka mengadakan kontak niaga dengan beragam suku bangsa di Nusantara. Bangsa India adalah yang 4Ibid hal: 22 5Tentang kisah Raden Segara bisa dibaca dalam buku sejarah Madura selayang Pandang, ditulis oleh Drs. Abdurrahman, juga dapat dibaca dalam buku The Histori of Madura, Sejarah Panjang Madura Dari Kerajaan Kolonialisem Dampai Kemerdekaan, hak: 19-20). ( lihat: Abdurrahman, cetakan kedua, terbit tahun 1971. Hal: 2-4 ) 6Penelitian seputar sejarah Giliyang masih jauh dari kata sempurna, hal tersebut disebabkan tidak adanya sumber yang memadai, sebagian sumber yang ada terbatas pada sejarah lisan (oral histori) dan tradisi lisan yang diwariskan dari generasi kegenerasi yang seiring usia zaman perhatian terhadap sejarah mulai memudar di kalangan generasi muda
[11/3 19:44] Hoidir: oleh sejarawan disebut sebagai bangsa pertama yang mengadakan interaksi dengan Nusantara dengan misi yang spektakuler. Datangnya bangsa India telah membawa satu perubahan yang cukup mendasar dalam tatanan kehidupan sosial-kemasyarakat maupun dalam aspek kepercayaan. Hindu dan Budha lahir yang menggantikan kepercayaan animis yang memucatkan perhatian pada pemujaan roh nenek moyang dan benda-benda magis yang dianggap superior dari dirinya. Di susul bangsa Cina, Arab dan bangsa-bangsa lain di dunia yang membawa semangat perubahan dalam gerakan-gerakan sosial. Dari peninggalan purbakala, berupa kapak dan perunggu (sebagai ujud peradaban Dongson) yang ditemukan di Madura oleh para arkeolog-arkeolog terkemuka ternyata memiliki tipe yang sama dengan yang ada di daratan Cina Selatan dan Asia Tenggara. Dan bukti tersebut menjadi dalil penguat terjalinnya hubungan masyarakat Madura dengan daratan Asia. Bangsa Madura dengan bekal keberanian dan kepiayawan mereka dalam seni berlayar telah sampai kedaratan Cina, India, dan Arab untuk melakukan proses niaga. Dalam buku ‘’Sejarah Sumenep’’ disebutkan bahwa para pelaut-pelaut Madura menyediakan parahunya untuk membawa pedagang dari bangsa lain mengarungi lautan lepas7. Sejak saat itulah Madura mulai dikenal oleh suku bangsa di dunia, yang akhirnya mendorong mereka untuk melakukan kontrak niaga lebih inten dengan bangsa yang berada di ujung timur pulau Jawa itu. Pada sekitar tahun 1017 M, Kegiatan perdagangan luar Negeri dengan Cina dan Negara Asia lainnya pada masa pemerintahan raja Erlangga kembali ramai. Dampaknyapun sangat serius terhadap perkembangan kebudayaan dan peradaban bangsa Madura. Pengalaman yang luas dalam dunia laut menjadi jalan utama bangsa Madura mengenal bangsa-bangsa lain di di dunia. Ketika interaksi semakin inten, bangsa-bangsa lain mulai ramai mendatangi Madura. Puncaknya terjadi sekitar abad 12 sampai abad ke-13 M, ketika Madura-Sumenp dipimpin oleh Aria Wira Raja (1269-1292 M), Sumenep telah menjadi satu pelabuhan penting yang banyak disinggahi perahu-perahu dan kapal-kapal baik dalam maupun luar negeri. Pelabuhan Sumenep saat itu termasuk pelabuhan translit, bagi kapal yang berlayar dari segala jurusan, misalnya India, Cina, dan negeri-negeri lainnya8. Penting untuk dicatat bahwa untuk menuju pelabuhan wilayah Sumenep (saat itu di Kaleanget dan Kertasada (tepatnya di muara sungai Kali Marengan) jalan yang biasa ditempuh adalah selat pulau Poteran dan Giliyang9. Dari arah Selatan selat yang 7 Sejarah Sumenep Hal: 23 8 Sejarah Sumenep Hal: 43, Lihat Juga The Histori Of Madura Hal: 53-56 9 Lihat Sejarah Sumenep Hal: 35
[11/3 19:46] Hoidir: ditempuh adalah selat Poteran sementara kalau dari arah utara, melewati selat Giliyang. Letaknya yang stategis tersebut Giliyang salah satu pulau yang banyak dilihat oleh para saudar ataupu pelaut yang ingin berlabuh di pelabuhan Kalenget dan Kertasada. Interaksi mereka dengan daearah kepulauan Sumeneppun cukup inten, apalagi ketika ada gelombang besar dan cuaca yang tidak bersahabat, mereka lebih memilih singgah dikepulauan daripada melanjutkan perjalanan yang beresiko dan berbahaya itu, sehingga lama-kelamaan mereka tambah akrap dengan suasana yang ada di daratan kepulauan Madura khususnya Sumenep. Dari sekian banyak bangsa asing yang berlayar melintasi selat Gili Iyang dan yang sering singgah dipulau tersebut dan berhasil tercatat dalam ingataan para sesepuh Giliyang adalah suku Bugis dan Mandar. Suku Mandar dengan rahu layarnya yang khas, mampu berlayar dan mengarungi ganasnya lautan sampai mancanegara. Ketika mereka berlayar, mereka seringkali singgah di Giliyang. Menurut Dawiyah bersumber dari Kyai Mahrean 10 dan Kyai Asy’ari 11, suku Mandar dahulu kala menyebut giliyang ‘’Sutawil’’. Dan merekapun menyakini, bahwa Giliyang memiliki tanah yang berkah lagi keramat. Karenanya, setiap orang Mandar makan tiga suapan, maka salah satu suapan tadi ia berikan ketanah Giliyang yang mereka yakini keberkahannya 12 Suku Bugis dan suku Mandar termasuk dua suku di Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai pelaut ulung yang tangguh. Orang Mandar dan Bugis sejak dahulu kala dengan perahu layarnya telah sampai kedaratan mancanegara. Ketangguhan dan keberanian mereka dalam mengarungi lautan lepas dapat disejajarkan dengan bangsa Cina dan Melayu. yang disebut oleh Raffles dalam bukunya ‘’The History of Java’’ sebagai ‘’ the life and soul of the commerce of the country (nyawa dan jiwa dari perdagangan negara). Mereka adalah ‘’..... maritime and commercial, devoted to speculations of gain, animeted by spirit of adventure, and accustomed to distand and hazardous enterprizes’’ (maritim yang komersial, tekun dalam spekulasi keuntungan, digerakkan oleh semangat petualangan, dan terbiasa pada usaha yang jauh dan berbahaya). Tak ketinggalan sastrawan dan ulama’ besar Indonesia, Buya Hamka ikut memuji 10 Kyai Mahrean adalah tokoh Gili Iyang yang berada di di desa Banra’as. Ia termasuk murid dari Kyai Asy’ari panggung. 11 Kyai Asy’ari adalah salah satu Ulama’ Gili Iyang yang gemar berdakwah dari satu daerah-kedaerah lain. Ia merupakan Putra dari Kyai Abdul Hamid Sora Laksana, seorang tokoh, ulama’ dan pejuang pulau Gili Iyang. 12 Kalau kita hubungkan kisah cerita mutawatir tersebut dengan doktrin Animisme dan dinamisme maka akan tampak bagi kita bahwa orang-orang pertama singgah di Giliyang terjadi pada kepercayaan animisme dan dinamisme masih melekat ditengah-tengah masyarakat, kalau fakta ini dapat dibenarkan maka kita dapat mengimpulkan bahwa Giliyang yang kita kenal sekarang telah dikenal sebelum berkembangnya kepercayaan Hindu-Budha di Indonesia
[11/3 19:47] Hoidir: suku Bugis. Ia menyebutnya sebagai kaum petualang yang gagah berani mengadu nasib diatas ganasnya ombak dan gelombang tegas penulis buku ‘’Tenggelamnya kapal Vanderwi’’j itu dalam ‘’Perbendaharaan Lama’’. Riwayat perjalanan suku Bugis, dan Mandar dapat kita ketahui melalui penelusuran sejarah migrasi suku Bugis, Makasar dan Mandar ke kepulauan Madura. Menurut Mien Ahmad Rifa’i dalam ‘’Manusia Madura’’, penduduk yang menempati daerah kepulauan terdiri dari ragam suku bangsa seperti Bugis, Banjar, Cina, Arab, dan Jawa 13. Perpindahan mereka dari daerah asalnya telah dimulai ratusan tahun yang lalu. Proses mingrasi ini dilatar belakangi adanya berbagai macam kebutuhan, seperti kebutuhan dalam sektor prekonomian, sosial-kemasyarakatan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. H. Daeng Sultani menuturkan bahwa orang-orang Bugis Sulawesi pindah dari tanah asalnya kerena beberapa hal, seperti desakan kebutuhan hidup, mencari wilayah pertanahan dan pertanian yang lebih luas, atau mungkin juga wilayah bahari yang dianggap lebih menjanjikan dibanding daerah asalnya. Mereka pindah dengan bergelombang dan berkelompok diantara mereka adalah yang berjumlah 40 orang lalu menyebar satu persatu didaerah Pepulauan. Jejak orang Bugis di kepulauan Sumenep sampai sekarang tetap ada, seperti adanya kampung Bugis di daerah Cellong Kangean. Dari segi bahasa, walaupun mereka telah berbahasa Madura, tetapi dialek dan intonasi tetap memakai intonasi yang sama (Sulawesi) seperti di daerah Bentelan dan Cellong Kengean. Perpindahan masyarakat Bugis dan Makasar itu semakin besar pasca jatuhnya benteng Sumba Opu dan ditandatangi perjanjian Bongaya di tahun 1667 oleh Sultan Hasanudin. Temuan yang menarik yang patut dikaji dan diteliti adalah kuburan-kuburan Cina yang ada dusun Malengen desa Bancamara. Di salah satu pemakaman terluas dan tertua di Giliyang itu ditemukan makam-makam Cina dengan jumlah yang tidak sedikit. Salah satu kuburan yang belum jelas identitasnya, bertarikh tahun 1500-an. Dari temuan tersebut mengisyaratkan, bahwa yang singgah di Giliyang tidak hanya orang Mandar atau Bugis saja, melainkan terdiri berbagai macam ragam suku bangsa, seperti bangsa Cina, Arab atau mungkin juga India. Kalau melihat pada bukti nisan tersebut, sangat mungkin pada masa ini Giliyang telah dihuni dan ditempati, tetapi mungkin dengan jumlah yang sangat terbatas. Sebab, kendatipun dalam batu nisan tersebut tidak tertulis secara jelas, tetapi jenis batu nisan yang memiliki corak dan bentuk yang sama dengan yang bertarikh 1500-an ternyata sukup banyak ditempat tersebut. Di daerah pinggir 13 Lihat Manusia Madura hal: 30
[11/3 19:49] Hoidir: pantai tajungan desa Bancamara, juga terdapat pemakaman yang besar, seperti di dusun Malengan. Di pemakanan yang berada di pinggir pantai berpasir putih itu juga ditemukan beberapa batu nisan yang bentuknya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Malengen. Satu batu nisan lagi mirip dengan kuburan Cina dengan tarikh dan identitas yang belum jelas. Selain itu, berdasarkan keterangan para sesepuh bahwa orang-orang Arab terdiri dari para sayyid seringkali singgah di kepulaun Sumenep, mereka juga sering singgah dipulau Giliyang. Barangkali selain tujuan perniagaan mereka juga bertujuan untuk berdakwah, mensyiarkan agama Islam. Seorang sayyid keturunan Arab bersama rombongannya berlayar dari semenanjung laut Jawa menuju Madura hingga sampai ke Giliyang, menurut Aqil 14 namanya adalah sayyid Sulaiman sekarang kuburannya di kenal sebagai Asta Keramat. Diri pantai dusun raas ada makam seorang sayyid, masyarakat Giliyang menyebutnya dengan Se Toan. Toan adalah terjemahan dari sayyid dalam Bahasa arab. Gelar sayyid sendiri merupakan gelar khusus yang diberikan kepada orang yang memiliki hubungan nasab dengan baginda Nabi. Dalam tradisi masyarakat Madura-Giliyang gelar tersebut biasanya diberikan kepada orang yang dituakan atau orang yang dijadikan sebagai tokoh pembimbing masyarakat. Sedangkan nama aslinya adalah Sayyid Ali. Makamnya sekarang ada di desa Banra’as. Perkembangan masyarakat semakin pesat pasca abad ke-15. Bukti empiris, berupa batu nisan berbentuk seperti tombak dan ukiran kembang telah tersebar di berbagai titik di Giliyang. Di daerah pantai sendiri banyak kuburan- kuburan kuno yang menggunakan batu nisan yang sama, hanya kerena tidak terawat akhirnya banyak yang di telan ombak dan badai, Seperti daerah Leggun, Raas, Benassem, Melengen, Somor Taman, Coet, Beneteng, dan sejumlah titik lain di Giliyang. Bertolak dari batu nisan pemakaman umum daerah pantai. Diduga kuat, era awal masyarakat Giliyang menetap di pinggiran pantai, pulau oksigen. Mereka berbentuk kelompokkelompok dengan jumlah yang masih sangat terbatas. Tahap awal kehidupan masyarakat Giliyang kuno bergantung pada penghasilan laut dan sebagian dari alam dengan kadar yang masih terbatas. Ini dapat kita lihat dari penghuni pertama pulau tersebut di dominasi oleh mereka yang hidupnya malang melintang dilautan. Suku Bugis dan Mandar begitu juga Bajhu sebagaimana telah disebutkan di awal merupakan masyarakat pelaut yang tangguh yang 14 Yang dimaksud Aqil adalah Raden Muhammad Aqil, masyarakat Giliyang memanggilnya Agung atau Gung Aqil, ia termasuk salah satu sesepuh Giliyang yang berpengaruh serta memiliki kedalaman ilmu Tasawwuf
[11/3 19:50] Hoidir: kehidupannya di daerah rantau khususnya di Madura-Sumenep. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mereka banyak bergantung pada kekayaan laut. Kehidupan masyarakat awal Giliyang cukup terjal dengan berliku. Tantangan baru berupa kebutuhan-kebutuhan hidup yang semakin kompleks mengharuskan mereka untuk berfikir lebih jauh dalam melakukan upaya-upaya yang strategis guna mempertahankan hidupnya. Maka langkah yang mereka lakukan adalah melakukawan perluasan wilayah tempat tinggal, yang mulanya hanya terbatas di pinggiran pantai Giliyang, kemudian mereka perluas hingga sampai kedaratan perbukitan 15. Proses permindahan mereka dari daerah pinggir pantai tampaknya tidak hanya didesak oleh kebutuhan akan tempat tinggal, tetapi kebutuhan-kebutuhan lain seperti kebutuhan akan lahan pertanian, peternakan dan kebutuhan hidup mereka sendiri. Pembabatan Giliyang, Awal Perkembangan Pulau Oksigen Di awal saya telah menyebutkan, bahwa perkenalan bangsa-bangsa asing terhadap Giliyang yang waktu masih belum ditempati orang (untuk berdomisi) telah di mulai ratusan tahun yang lalu. Para sudagar asing dan pelaut yang mengadu nasib diantara ganasnya ombak dan gelombang seringkali melintasi selat Giliyang. Giliyang yang oleh orang Mandar disebut sutawil mulai dikenal orang timur (masyarakat Sulawesi), sebagai pulau yang posisinya tegak lurus dengan garis katulistiwa (malang eare). Tanahnya mengandung berkah, keramat serta angker. Melalui mereka, para saudagar dan pelaut Bugis, Mandar, Makasar, Baju dari Sulawesi Selatan, serta para pengembara dari Pulau Binongko, Sulawesi Tenggara. Pulau yang ada di sebelah timur kecamatan dungkek itu, mulai akrap dalam pembicaraan mereka. Mungkin karena sering disinggung dan di bicarakan tentang adanya pulau berkah dan keramat tersebut oleh mereka yang pernah singgah di Giliyang, membuat mereka tergugah untuk segara sampai di pulau yang kelak memiliki kadar oksigen tertinggi di dunia itu. Sekitar abad ke 12 sampai abad 14, Giliyang hanya di jadikan sebagai tempat singgah mereka sedang melakukan perniagaan melalui jalur laut di daerah Madura. Memang tujuan mereka adalah hanya singgah dan berlabuh di daratan pulau Giliyang apabila terjadi gelombang besar yang tidak memungkin untuk melanjutkan perjalanan. Ini menjadi awal perkenalan mereka terhadap Giliyang sekaligus menjadikan pulau tersebut, dikenal oleh Masyarakat pelaut Nusantara. Penting untuk dicatat bahwa abad ke 12 sampai abad ke 14 belum ada orang yang 15 Masyarakat Giliyang menyebut perbukitan itu sama dengan Gunung dalam pemahaman banyak orang
[11/3 19:51] Hoidir: secara serius menggarap Giliyang untuk dijadikan sebagai pemikiman penduduk. Baru sekitar abad ke 15 mulai pembukaan lahan sebagai wahana tempat tinggal nenek moyang masyarakat Giliyang. Bukti-bukti empiris berupa batu nisan bertarih 15 di dusun Benmalengan menjadi salah satu bukti bahwa proses pembabatan Giliyang berjalan dengan rentan waktu yang cukup lama. Proses pembatatan Giliyang itu tidak mulus, banyak tantangan-tantangan yang harsu dihadapi oleh mereka, para insprirator pembabat Giliyang. Kondisi geografis alamnya yan belumnya banyak terjamah manusia menjadi tantangan tersendiri bagi mereka. proses yang rumit itu Namun dari sekian dari tokoh-tokoh yang dikenal sebagai pembabat Giliyang terbatas pada tiga tokoh saja. Tiga tokoh tersebut adalah Daeng Kareng Masalle, Jhu’ sanga’ , dan Jhu’ Tarona ( Andang Taruna). Ke tiga tokoh tersebut berasal dari latar belakang yang berbeda. Menurut cerita tutur yang dianggap valid, jhu’ sanga’ sendiri berasal dari barat ( mungkin dari Sumenep). Ia datang ke Giliyang dengan naik sebatang kayu besar. Ia membawa gentong ( Madura: pelteng) , lenggis (Madura: Rajheng), dekko semacam Lesung. Alat-alat yang di ia bawa itu kemudian dijadikan sebagai sarana untuk membabat hutan belantara Giliyang yang penuh dengan misteri dan angker itu. tidak ada catatan yang pasti pada tahun berapa Jhu’ Sanga’ datang untuk pembabat Giliyang. Tetapi, dari alat-alat tradisional itu kita dapat memahaminya bahwa zaman di mana Ju’ sanga’ membuka jalan pembabatan Giliyang, termasuk zaman dimana teknologi dan peralatan yang mapan belum lahir. Dari pembatan yang digagas oleh jhu’ sanga’ ini, terbentuklah satu pemukiman kecil di Giliyang dan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Tokoh kedua yaitu Ju’ Tarona (Andang Taruna) yang dikenal masyarakat adalah berasal dari pulau Binongko (sekarang termasuk kebupaten Wakatobi) Sulawesi Tenggara. Semenjak berada di tanah kelahirannya (baca : pulau Binongko) Ju’ Tarona sering berfikir untuk bisa sampai ke pulau yang menempati posisi tegak lurus dengan garis Katulis tiwa ( Madura: malang Eare). Rasa ingin tahu akan terhadap pulau keramat itu terus bergejolak dalam hatinya. Sangat mungkin rasa perasaan yang terlukis dialam batinnya dibentuk oleh informasi terus bergulir tentang adanya pulau yang unik di kepualauan Madura timur. Setelah melalui perjuangan yang cukup terjal dari daerah asalnya, akhirnya ia sampai di tempat yang menjadi berbincangan para pengembara waktu itu. Datang ke Giliyang bersama dua orang lainnya, yang
[11/3 19:52] Hoidir: satu adalah mendiang istrinya dan satu lagi sosok yang tak dikenal 16. Disusul adiknya Jejhep Prana, dan dibantu para pengikut dan kerabatnya yang datang dari pulau Binongko. Dan tidak absen pula, murid Jhu’ Tarona yang awalnya berasal dari orang-orang yang gila yang ia obati, ikut serta membantu sang guru dalam menjalankan misi pembabatan tersebut. M isi Ju’ Tarona dalam membabat Giliyang tidak sampai selesai. Kerena tiga tahun setelah proses pembabatan berjalan, Jhu’ Taronapun akhirnya wafat. Makamnya sekarang ada di Buchel Giliyang Banra’as. Tokoh ketiga pembabat Giliyang adalah Daeng Karaeng Masalle, yang lebih akrap disapa Datu’ Daeng. Daeng Masalle adalah seorang ulama’ yang masih memiliki pertalian darah dengan kasultanan Goa-Tallo dan masih termasuk keponakan dari Sultan Alauddin. Latar belakang kehijrahan Karaeng Masalle ke Giliyang, diawali oleh adanya sebuah tugas mulya dari ke dua orang tuanya, mengemban dakwah, menyabarkan agama Islam di bumi seberang, serta mencari sebuah pulau yang posisinya tegak lurus dengan garis katulistiwa (Madura: malang eare). Tita mulya itupun ia laksanakan sebuah hati, seraya penuh harap semuga apa yang ia jalani menjadi jalan untuk menggapai ridha Ilahi. Karaeng Masalle datang dua kali ke Giliyang. Kedatangannya yang pertama dalam rangka survei tempat, sedangkan yang kedua kalinya bertujuan untuk berdomisili bersama keluarganya di Giliyang. Dalam proses pembabatan Giliyang Karaeng Masalle mendapat dukungan penuh dari Adipati Sumenep. Dalam proses pembabatan tersebut , Karaeng Masalle banyak mendapat bantuan dari Kadipaten Sumenep. Bantuan tersebut, dikirim langsung oleh sang Adipati guna ikut serta membantu menyukseskan pembabatan Giliyang. Kalau sebelumnya hanya terbatas pada beberapa titik saja tetapi pada masa Karaeng Masalle telah digarap secara serius sehingga hasilnyapun sangat maksimal. Upaya maksimalisasi pembabatan pada tahapan berikutnya tidak hanya pada perluasan wilayah tetapi juga pengisian penduduk yang berasal dari berbagai macam tempat dengan latar belakang yang berbeda. Asimilasi penduduk Giliyang melalui perkawinan terus berlangsung dan berkembang dengan cepat.(bersambung). 16 Bagaimana proses an perjalanan Andang Taruna dalam membabat Giliyang, akan diuraikan dalam bab selanjutkan
Langganan:
Postingan (Atom)
KHAZANAH PITUTUR SESPUH GILIY SEJARAH PERJUANGAN MASYARAKAT GILI IYANG PADA MASA PENJAJAHAN HINDIA BELANDA. Apa kabar Sahabat Pitutur Bai...
-
KHAZANAH PITUTUR SESEPUH GILI Para Pembabat GILI-IYANG Tahukah anda, siapa yang telah berjasa membuka hutan belantara di pulau sere Elang ...
-
NAPAK TILAS PERJUANGAN DAKWAH DAENG KARAENG MASALLE Pulau Sulawesi termasuk salah satu kepulaun yang cukup luas (191.800 km2), lebih luas...
-
KHAZANAH PITUTUR SESEPUH GILI Asal usul Desa Bancamara Kalau sahabat pitutur berkeliling di seluruh daerah Nusantara, dari sabang sampai M...