Rabu, 31 Mei 2017

KHAZANAH PITUTUR SESPUH GILIY
SEJARAH PERJUANGAN MASYARAKAT GILI IYANG PADA MASA PENJAJAHAN HINDIA BELANDA.
Apa kabar Sahabat Pitutur
Baik kan..
Hemmmm…
Kali ini sahabat pitutur akan diajak untuk mengenal sejarah perjuangan masyarakat Gili Iyang pada masa pemerintah Hindia Belanda.
Seperti apa sich sejarahnya!!!
Udah pada penasaran nich yaach hehehehe!!!
Awal Pergerakan di Gili Iyang
Tidak banyak cacatan yang dapat mengurai secara utuh sejak kapan tumbuh pergerakan di Gili Iyang. Menurut tradisi lisan masyarakat Gili, pergerakan tu SAHABAT, mulai nampak semenjak kedatangan Kraeng Masalleh yang kemudian hari disebut sebut oleh masyarakat sebagai salah satu pembabat pulau Sere Elang (wuihh pulau apa tu yach hehehe).
Ada tiga cacatan penting yang berkaitan dengan sejarah pergerakan di Gili Iyang. Pertama sejarah pergerakan masyarakat Gili Iyang malawan Lanon dan Jhu’ur. Kedua sejarah pergerakan pada masa pemerintahan VOC sampai kerajaan Protestan Hindia Belanda. Dan keempat sejarah pergerakan pada masa pemerintah Sinto Jepang. Hemmm ternyata sejarah pergerakan di Gili Iyang panjang dan berliku juga yachhh sahabat.
Kalau gitu kapan yach dimulai !!!
Seperti yang telah disebutkan perlawanan Karaeng Masalleh tercatat sebagai salah seorang tokoh yang amt getol terhadap kekejaman imprealis barat. Gerakan ini, termasuk gerakan yang berumur panjang sahabat. Sebab gerakan tersebut terus berlanjut dari generasi-kegenerasi, yaitu mulai abad ke-16 sampai dengan kemerdekaan Republik Indonesia.1945. Perlawanan yang sangat dasyat itu sahabat, tercatat dalam sejarah dan ingatan masyarakat Gili iyang.
Nah yang manarik untuk dikaji, pemberontaan Karaeng Masalleh terhadap imprelisme barat yang saat itu diwakili oleh VOC sampai dengan berdirinya kerajaan Hindia Belanda tahun. Padahal di satu sisi antara kerajaan Sumenep dengan VOC-Kerajaan Hindia Belanda sangatlah dekat sahabat pitutur. Apalagi penghujung abad XVII wilayah Sumenep-Pamekasan resmi merada di bawah VOC. Kendatipun Kerajaan Sumenep diberi kebebasan untuk mengelola kerajaan secara otonom (baca: pemerintahan tidak langsung), tetapi VOC melalui kebijakan dan kontrak politiknya memang otoritas dibalik layar terhadap kebijakan pemerintah Sumenep. Ini dapat dibaca dari kontrak yang disepakati dengan kompeni tertulis sebagai berikut:
Menjamin bahwa tidak ada suatu peristiwa di Sumenep yang mengganggu kegiatan perdagangan di kepulaun Indonesia.
Rute perdagangan ke Maluku melalui sepanjang pantai utara dan selatan pulau ini, harus di lindungi.
Mengumpulkan barang-barang yang secara ekonomis penting dari daerah itu dalam bentuk upeti.
Tiga pokok diatas, jelas memaksa pemerintah Sumenep untuk tunduk pada VOC dalam bidang ekonomi, politik dan kekuasaan. Ragen (raja) Sumenep menjadi tidak berdaya di bawah cengkraman kekuasaan VOC, kondisi ini, bagi Ragen (raja) Sumenep menjadi serta delematis. Memberontak terhadap VOC jelas akan menimbulkan persoalan yang sangat serius, iapun harus berhadapan dengan dua cengkraman raksasa sekaligus. VOC dan Mataram. Tiada pilihan lain, kecuali menuruti apa yang tertulis dan termaktub dalam perjanjian.
Politik hegemoni kaum penjajah ini, tidak hanya menimbulkan kerugian bagi kerajaan tetapi rakyatlah yang banyak menjadi korban. Mereka harus menuruti apa yang dikehendaki oleh VOC, berupa menyerahkan kontengen yang sangat memberatkan dan menyengsarakan. Pasalnya pemberian upeti yang  disebut kontengen tidak hanya berupa hasil bumi sahabat, melainkan berupa kontingen hidup yang kemudian dinamakan ‘’Barisan ‘’ yaitu semacam wajib meliter yang harus dikenakan kepada petani jika VOC membutuhkan bantuan tentara ( pasukan perang) wihhh ngeri banget ya sahabat. Meletuslah gerakan perlawan buruh Tani dan Nelayan melawan pemerintah setempat. Orang-orang Makasar, Bugis, dan Madura yang tinggal di pulau-pulau Kangean, Sepudi termasuk juga Giliyang yang saat itu di motori oleh Karaeng Masalleh mengadakan perlawanan yang sangat dasyat. Dari pulau-pulau ini kapal-kapal Kompeni yang berlayar ke Maluku sering dirampas dan tempat-tempat lain di pantai Sumenep diserang. Disamping itu, ada motif lain, membangkitkan semangat perlawanan Karaeng Masalleh, yaitu adanya Politik kaum kafirin yang mempunyai misi yang amat jahat, memadamkan cahaya Islam di bumi Nusantara. Sebagai seorang pemimpin ummat, Karaeng Masalleh menangkap realitas yang ada di sekitarnya sebagai bentuk alarm, tanda bahaya. Peta politik kolonial ternyata tidak hanya menginginkan keuntungan materi, melainkan juga keuntungan dalam menjalankan misi suci ( mission secre)  mereka, yaitu mengkristenkan penduduk pribumi. Strategi politik kristenisasi ini, diungkapkan oleh J.P.G. Westhoff.
‘’ Menurut pendapat kami untuk memiliki jajahan-jajahan kita, sebagian besar di tentukan oleh keberhasilan pengkristenan rakyat yang sebagian besar sebelum beragama atau yang telah beragama islam.’’
Menurut Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, dalam bukunya,’’ Sejarah Perkebunan Di Indonesia Kajian Ekonomi,’’ ada tiga prinsip dasar kolonialisme barat yaitu dominasi, eksploitasi, diskriminasi, dan dependensi. Prinsip dominasi timbul dari proses ekspansi kekuasaan imprealisme kolonialisme suatu bangsa ke bangsa yang lain. Berpangkal pada doktrin pengejaran (glory), kekayaan (gold) dan penyebaran ajaran baru penguasa (gospel), gerakan kolonialisme barat (eropa) pada tahap awal telah melancarkan kegiatan ekspansi kekuasaan teritorial di dunia baru, untuk membangun kekuasaan kolonial. Karaeng Masalleh mengerti betul, sepak terjang Kolonialisme Barat. Gerakan-gerakan yang dilancarkan penjajah barat di berbagai wilayah di Nusantara selalu melakukan upaya nista, yakni mematahkan gerakan pendidikan yang berupaya mencerdaskan anak bangsa atau umat Islam oleh ulama’. Dari berbagai macam kebijakan politik penjajah, dapat dibaca melalui mengkondisian pribumi sebagai bangsa terjajah tetaplah bodoh. Dengan target hilangnya kesadaran sebagai bangsa yang miskin dan bodoh serta terjajah menjadi merasa tidak perlu melakukan perlawanan terhadap kebodohannya menjadikan penderitanya, tidak menyadari bahwa kemiskinan dan kebodohannya sebagai produk stategi penjajah, the real truth is that the Ducth desired and still desire to establish their suporiority on a basis of native iqnorance’’ tutur Bousquet dalam, ‘’A French View of the Nederlends Indies’’.
Maka langkah yang diambil oleh Karaeng Masalleh di Gili Iyang dalam menghadapi Imprealisme barat cukup jitu. Tantangan yang dalam menghadapi penjajah menurutnya adalah kebodohon, kejahilan masyarakat akan dimanfaatkan oleh penjajah untuk menipu, mengeksploitasi mereka. Kerena itu, jihad dengan ilmu dan intelektual harus digalakkan selain jihad dalam arti qital (perang fisik). Dapatkah kita lihat bagaimana bentuk perjuangannya yang begetu membara dalam mendidik ummat. Seakan tiada kata henti baginya untuk menjadikan ummat paham terhadap agama, sadar akan tanggungjawabnya sebagai seorang manusia (al-insan), memiliki kesadaran sebagai seorang hamba ( mengabdi, beribadah dengan ikhlas kepada-Nya), juga sebagai makhluk sosial yang berarti mempunyai tanggungjawab jama’i (sosial) untuk membela dan memperjuangkan kemakmuran dan keadilan terhadap kemanusiaan. Mengajarkan tafsir, fiqih, hadist, dan cabang ilmu agama lainnya adalah pondasi yang di bangun oleh Karaeng Masalleh agar ummat tidak mudah terpedaya oleh politik-picik kaum penjajah. Hingga terbangun kesadaran bersama untuk melawan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang di plopori oleh penjajah barat.
Setelah Kraeng Masalle wafat, perjuangan selanjutnya diemban oleh para tokoh dan ulama’ di Gili Iyang. Termasuk diantara tokoh yang getol berjuang melawan Imprealis barat adalah Kyai Muhammad Husein (Daeng Sora Difa), Kyai Kyai Konyong Baneteng, Kyai Abdul Hamid Sora Laksana dll. Sebelum kedatangan Jepang tahun 1942 M. Sudah banyak orang-orang Belanda yang datang ke Gili Iyang. Kedatangan mereka memiliki tujuan dan maksud tertentu yang terselubung dapat dicaba oleh para ulama’ Gili Iyang sebagai alarm tanda bahaya bagi masyarakat Gili Iyang. Pertempuranpun tidak dapat dihindari. Dalam pertempuran tersebut banyak menelan korban dari kedua belah pihak. Pasukan Belanda yang tewas, mayatnya banyak yang dipanggal lalu dibuang ke laut. Menurut persaksian masyarakat Gili Iyang. Mayat-mayat tersebut banyak yang terdampar di Gili Iyang dengan kepala terpisah dari Badan. Kepada-kepada mayat tersebut ditusuk dengan bambu dengan pandangan yang sangat mengerikan. Tidak kurang dari 9 hingga puluan mayat Belanda setiap harinya yang terdampar di Gili Iyang dengan kondisi yang mulai membusuk.
Menurut persaksikan Abdu (makna Mahrumo), pertempuran yang terjadi saat itu cukup sengit. Orang-orang Komedi membabat habis laki-laki dan perempuan kaum kolonial yang saat itu telah banyak membunuh ulama’ dan santri. Alasan mereka membunuh kaum kolonial karena perbuatan mereka yang telah menyiksa rakyat, membunuh para ulama’ serta mewariskan budaya kolonialisme yang sangat membahayakan bagi kelangsungan masyarakat Nusantara. Perjuangan melawan kekejaman Belanda terus berlangsung hingga bangsa tersebut terusir dari Nusantara di tahun 1942 M.
Nah begitulah sejarah seingkat perjuangan ulama’ dan masyarakat Gili Iyang sahabat pitutur. Semuga kita bisa meneladani semangat perjuangan mereka. amin

KHAZANAH PITUTUR SESPUH GILIY SEJARAH PERJUANGAN MASYARAKAT GILI IYANG PADA MASA PENJAJAHAN HINDIA BELANDA. Apa kabar Sahabat Pitutur Bai...